Sumenep-Kiai M. Faizi atau yang beberapa tahun silam saya sebut sebagai Penyair Sadal Jepit, tengah berduka. Tidak tanggung, kali ini masuk kategori Duka Lara, karena setelah duka itu menimpanya, ia masih saja didera deritanya. Bukan tanpa alasan ia menanggung Duka Lara itu, karena musababnya adalah kepergian sang kekasih untuk selamanya.

Duka lara itu, ia tuangkan dalam sajak-sajaknya. Tepatnya, sajak-sajak cinta, serupa sajak-sajak Qois untuk Laila. Sajak-sajak cintanya yang naratif itu bisa dilacak pada laman facebooknya. Bagi pembaca yang masih level syariat, akan menyangka Kiai Faizi meratapi kepergian  kekasihnya yang dalam agama dilarang, tapi bagi level hakikat atau yang sudah maqomnya wali, sajak-saja Kiai Faizi sekadar luapan cinta belaka yang baru terasa ketika cinta itu tidak di sisinya lagi.

Entah, bagi Kiai Faizi sendiri. Apakah sajak-sajak itu ungkapan level syariat atau level hakikat, tapi paling tidak Kiai Faizi sudah punya pengetahuan tentang agama, meski cinta kadang membutakan siapa saja.

Cinta akan terasa getarannya, akan meluber ke angkasa, akan menguap kesetiap ruang ketika wujud cinta itu sudah tak di sisinya lagi. Sungguh sangat tepat menyanjung kekasihnya ketika kekasih itu sudah tiada, sebab jika ada wujudnya, romannya akan tersipu, maka malulah ia pada semesta. Tapi, jangan di kira kekasih Kiai Faizi tak mengetahui akan puja-puji untuk dirinya, setidaknya Syekh Sulaiman mengabarkan soal status facebooknya.

Kiai Faizi baru menyadari kecantikan kekasihnya, dan benar-benar terasa pesonanya. Baginya, kekasih yang pernah ia panggil Yonk atau belakangan ia panggil Nyai Makkiah binti Ashim jauh lebih segalanya dari Luna Nyata (tokoh rekaan saya dalam Novel Memanjat Pesona), atau jauh lebih mempesona dari Amanda Gabriella Manopo Lague yang membintangi sinetron Ikatan Cinta di FTV.

Ketika malam tiba, dan gandrung pada kekasihnya berkecamuk di dadanya, ia datangi makam kekasihnya. Di sana, ia kadang melafadzkan Dalailul Khoirot kesukaan kekasihnya. Kadang membisikkan sajak-sajak cintanya, kadang menyemilirkan ummul qur'an, kadang pula menyapanya dengan basuhan air mata rindu, hingga cekam di dadanya tunai malam itu.

Beberapa malaikat dan makhluk gaib yang melihat Kiai Faizi di asta kekasihnya, tak berani mengganggu. Mereka iba, sekaligus tersenyum bahagia menyaksikan sepasang kekasih bercengkerama lewat doa-doa cinta. Rupanya, (bisik beberapa makhluk gaib) di era milenial masih ada orang-orang seperti Romeo, yang gaduh hatinya ketika tak bersama kekasihnya. Bukankah biasanya, orang-orang milenial mencari bini lagi ketika istrinya telah mati? Faizi ini sepertinya bakal tetap bersetia hingga akhir hayatnya. Duka cintanya, bakal susah disembuhkan kecuali ajalnya telah tiba.

Penyair yang telah melanglang buana hingga ke negeri Hitler itu penuh kesederhanaan. Handphone-nya tidak gaul, baju apa adanya, tampilan sosoknya jauh dari kehidupan borjois, dan orang yang baru kenal tak akan menyangka kalau ia seorang kiai besar. Kiai Annuqayah yang dihormati oleh seluruh penduduk yang mengetahui kedudukannya.

Belakangan setelah kekasihnya pergi, Kiai Faizi tak langsung menulis puisi lagi. Ia duduk bersila, melanjutkan amalan kekasihnya yang didawamkan selama dua puluh tujuh tahun. Lamat lamat ia baca, lamat-lamat ia merasakan kehadiran kekasihnya. Duduk di sampingnya, menatapi Kiai Faizi yang dilanda rindu mengharu biru. Kekasihnya tersenyum, dan berbisik ke hatinya, "jangan buat aku cemburu, kekasihku. Aku akan bersetia menunggumu."

Kiai nyentrik yang BisMania itu, terus khusuk merapal Dalailul Khorot. Hati dan pikirannya seperti dipandu menuju titik tumpu yang akan mempertemukan sukmanya dengan sukma pujaan hatinya. Tak ada hal lain yang  berkecemuk di dada Kiai Faizi bahkan Dalail yang dibacanya terlupa begitu saja, kecuali aroma kekasihnya yang makin lama kian menguat pada segala rongga sukmanya.

Pagi itu, sehabis membersihkan kamar Nyai Makkiyah, Kiai Faizi duduk di beranda kamarnya sambil menyuluti rokoknya, menatapi setiap wujud benda yang bak disulap berubah menjadi wajah yang amat dirindukannya.

Ketika para pelayat tiba, seorang tua yang masih saudaranya berkata, agar dirinya menikah lagi. Tentu saja, agar Kiai Faizi tidak larut dengan kepedihannya yang senantiasa digambarkan pada catatan beranda facebooknya.

Kiai Faizi bergming. Jiwanya sama sekali tak bergeser untuk tetap bersetia pada kekasihnya. Saran itu melayang-layang di atap rumahnya, lalu lenyap dihempas udara gaib. Kiai Faizi tidak ingin menyakiti hati yang sudah lama menyatu, meski agama membentangkan banyak kemungkinan untuk para lelaki.
 
Empat buah hatinya yang dihasilkan dari jerih keduanya, membuat hati Kiai Faizi tak sudi lagi berbagi hati. Ia telah menamatkan ritual para lelaki kebanyakan yang ketika istrinya mati mencari bini lain. Ia tak ingin menyakiti dan sudah pasti di alam sana kekasihnya akan remuk perasaannya. Jika cinta didusta, maka gelaplah seluruh alam baka, dan setiap kata akan melahirkan kutukan abadinya.

Tetaplah menjadi Kiai M. Faizi, seraya mempelajari ritual-speritual kekasihnya yang sering berdialog dengan kegaiban menjelang kepergiannya. Spiritual kekasihnya telah membuat diri Kiai Faizi menjadi kalah telak, karena ia merasa selama ini hanya berkutat dengan teks, dengan hal-hal hoyyali yang melahirkan puja-puji semu, yang gagal menembus dimensi lain seperti yang dialami kekasihnya. Begitu, ia mengakui dalam banyak catatan curhatnya di media sosial.

Telah tersiar rahasia kekasihnya dari dirinya, yang pada masa hidupnya dijaga ketat agar orang-orang tak mengetahui segala rahasia yang diperuntukkan oleh Tuhan untuk Nyai Makkiyah. Kiai Faizi telah membukanya pada halaman terakhir dari perjalanan kekasihnya, sementara lembar rahasia sebelumnya  tak banyak yang ia tahu. Tentu, kekasihnya pandai menyimpan rahasianya, karena tidak semua orang sanggup mencernanya, termasuk (mungkin) suaminya yang disibukkan dengan materi teks dan materi-materi lainnya.

Sampai kapan Kiai Faizi akan merapal bait-bait cinta untuk kekasihnya, dan kapan ia akan menjadikan cintanya sebagai madah yang cukup mendekam di dadanya saja? Tunggu, proses spiritualnya. Apa ia akan melampaui cinta, rindu, dan spirit kekasih yang telah ia akui kehebatannya. Kata lainnya, apakah M. Faizi akan mampu melakoni teks dari puisi-puisi yang ditulisnya? 

Sungguh, banyak cerita para perempuan masa kini yang melampaui kisah kekasihnya, tapi mereka meredamnya dalam dada, karena segala itu adalah rahasia Tuhan yang tak sembarang orang boleh tahu. Segala yang rahasia menyimpan cahaya dan, cahaya rahasia bukan semata kata-kata.

Beruntung, bukan dia yang menceritakannya, tapi udara pengap yang meledakkan kedapnya dada. Sirnalah duka lara pada jalan cahaya yang dibentang cinta yang sesungguhnya. Bukankah cintaku dan cintamu hanya serangkai lema-lema???



Sumenep, 11 Sepetember 2021


Penulis:
Nun Urnoto El-Banbary
Penguasa Website: Kabar Mas Nun