Awalnya, tak ada guru khusus yang mengajarkan saya untuk menulis. Bahkan, guru bahasa Indonesia mulai SD hingga Madrasah Aliyah hanya menyajikan teori-teori yang “menyebalkan”—yang guru-guru saya itu tak punya karya tulis sebagai kebanggaan untuk memotivasinya. Guru seperti itu menjadi persoalan, karena dari sisi kemampuan berkarya sastra tidak ada sama sekali, kecuali barangkali hanya mengajarkan intonasi saat mendeklamasikan puisi menurut versinya sendiri, tapi berkat riyadah dan doa-doanya, banyak juga murid-muridnya yang “sukses” setelah mengarungi pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Andai para guru Bahasa dan Sastra Indonesia punya prestasi karya sastra, tentu akan lebih baik terutama untuk memotivasi peserta didiknya, namun pada masa itu menjadi maklum, karena guru-guru yang menekuni bidang tertentu amat sulit, khususnya di pulau Giliraja yang kesadaran pendidikannya mulai menggeliat sekitar tahuan 90-an.

Sekarang, dengan kemampuan atau keahlian pengetahuan yang beragam, seyogyanya tak ada lagi sekolah-sekolah yang asal comot untuk mengajar mata pelajaran yang bukan bidangnya, meskipun bidang tersebut bisa diajarkan berdasarkan pentujuk buku-buku  pegangan guru. Pasalnya, guru bakal ditengarai tidak akan tahu mendalam dibanding yang memang bergelut dibidangnya. Dan, calon guru memang harus tahu diri untuk tidak sok ahli mengajarkan materi pelajaran yang misalnya di dunia kampus ditekuni sungguh-sungguh.

Cukup ironi jika ada calon guru yang bukan ahlinya, merasa lebih pintar dari orang-orang yang bersusah payah di kampus-kampus menekuni satu bidang ilmu pengetahuan. Calon guru macam itu selain tidak tahu diri, akan menciptakan kedunguan baru di sekolah-sekolah dengan kedok guru palsu yang sok tahu.

Kisah menarik saya dengar dari seorang sarjana ekonomi yang merasa tidak layak mengajar karena tak punya prestasi di bidangnya. Ia memilih berjualan ikan hias daripada menyesatkan peserta didiknya. Padahal, ia seorang sarjana yang keilmuannya sudah dianggap sah saat diwisuda. Sarjana macam itu sangat langka, karena punya rasa malu dan tanggungjawab intelektual yang besar bagi dunia pendidikan masa depan. Berbeda dengan calon guru yang hanya karena bisa membaca teks dari materi pelajaran, sudah melayakkan diri sebagai seorang guru profesional. Sungguh lucu dan tidak tahu malu.

Di pulau, saya dengar mulai berbedah dengan persoalan-persoalan profesionalisme, itu pun seiring dengan program pemerintah yang menekan sekolah untuk memilih guru yang kompeten di bidangnya, walau pun masih ada yang diam-diam menyelundupkan guru pesanan dari hasil kolusi. Sumpah, menyebalkan!

Murid yang cerdas (kata Kiai Ilyasi Siraj) adalah akibat dari gurunya yang cerdas pula. Jadi, kalau muridnya dungu (meminjam istilah Rocky Gerung) bisa jadi gurunya memang dungu, atau meminjam pribahasanya orang Madura, “mon guruna akemme manjheng, moreta akemme berkak” (kalau gurunya kencing berdiri, maka muridnya akan kencing sambil beralari). Pribahasa itu saja sudah cukup mewakili situasi intelektual siswanya. Mari, guru-guru yang dungu segera tahu diri untuk tidak sok tahu dan segera hengkang dari dunia pendidikan.

Sekolah dalam mengorganisir guru—jika mengikuti tradisi pesantren—bukan malah menungggu lamaran seseorang untuk menjadi guru. Sekolah mestinya berinisiasi untuk mencari guru-guru cerdas yang punya kompetensi di bidangnya dan sebisa mungkin punya prestasi luar biasa, sehingga kedunguan calon guru tidak menular kepada peserta didiknya. Biarlah yang dungu disuruh sekolah lagi. Keras? Terlalu idealis? Iya. Memang harus idealis dan keras, sebab jika tidak, akan menyesatkan peserta didiknya dalam kedunguan yang terus berkembang biak. Lebih baik tidak mengajar daripada hanya sok pintar. Sekolah mestinya tidak membutuhkan guru-guru yang dungu, baik dungu secara intelektual, emosioanal, maupun dungu secara spiritual.

Sekarang sudah tak zaman lagi mempertahankan guru-guru jadul yang pengetahuannya tak pernah diupgrade. Guru-guru yang enggan mengupgrade pengetahuannya adalah bentuk samar dari kesombongannya. Jadi, perlu dibuang guru macam itu, atau segera mengundurkan diri dari dunia pendidikan yang terus mengalami revolusi luar biasa dalam menyambut perubahan intelektual anak-anak pemangku masa depan.

Maksud saya, tak ada lagi anak didik yang terlunta-lunta hanya karena tak ada yang mau membimbing talentanya, seperti yang saya alami pada waktu silam. Bayangkan, jika sejak awal talenta saya ada yang mengawal, ada yang membing, pasti tidak terlambat seperti sekarang. Saya sendiri sedang merasa terlambat ketika yang lain sudah sampai ke bulan. Hal itu bisa dimaklumi oleh karena keterbatasan fasilitas guru dan pendidikan pada waktu itu. Tapi sekarang, tak ada maklum-makluman. Guru dungu segera hengkang saja. Sekolah mestinya tidak butuh mereka. Tanpa mereka sekalipun, sekalah tak akan bubar. Justru malah tenggelam.

Kasihan peserta didik yang sungguh-sungguh ingin belajar, yang justru hanya mendapati kedunguan dalam bentuk birokratis di sekolah-sekolah. Bangsa ini memang masih belajar untuk tahu diri, tapi setidaknya tulisan saya menyadarkan kedunguan Anda, Tuan! Janagan demi tunjang sertifikasi, lalu Anda enggan sadar diri.

Saya sudah mengalami kebekuan talenta saya selama bertahun-tahun oleh karena tak ada guru yang membantu menemukannya. Hal itu sebaiknya tak terjadi pada peserta didik saat ini. Guru sekarang sudah seharusnya ikut membantu menemukannya, mengingat guru saat ini memiliki kecerdasan yang lebih “sempurna”. Biarlah cerita masa lalu yang gelap, cukup dialami generasi saya pada waktu itu.

Di pulau saya, buku-buku bacaan sudah berserakan, apalagi yang punya handphone android, tentu segala pengetahuan dilahapnya. Cukup bahagia dengan guru-guru terdahulu—dengan segala keterbatasannya— yang sukses memotivasi anak didiknya hingga menjadi manusia yang semangat belajarnya luar biasa. Mereka ada yang menjadi advokad, tentara, perawat, bidan, dokter, penghulu, bahkan ada yang nekat menjadi politisi meski sampai hari ini tak dapat kuri.hihi.

Semoga tak ada lagi pembelajar yang terbengkalai, dan mohon dengan hormat agar tulisan ini tidak di copy paste. Cukup baca di website ini. Saya khawatir ada guru yang sakit kepala saat membacanya.