Literasi perlu diajarkan sejak usia dini, agar menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Kebiasaan yang menyanangkan akan dilakukan berulang-ulang tanpa perintah dari siapa pun, dan hasilnya akan lebih memuaskan daripada orang dewasa yang baru terjuan ke dunia literasi.
Orang dewasa yang baru terjuan ke dunia literasi, biasanya akan ruwet berhadapan dengan teks-teks yang merumitkan pikirannya yang belum terbiasa membaca dan menelaah kerja-kerja literasi. Di samping harus melahap buku-buku bacaan, mereka juga ditekan oleh tugas-tugas yang biasa dikerjakan oleh kaum tua seperti ngurus rumah tangga, dan semua tetek bengik lainnya.
Beruntung, santri-santri Nurul Islam mendapat peluang pelajaran itu dari pengasuhnya. Entah mimpi apa semalam hingga pengasuhnya chat WA saya untuk memberikan bimbingan literasi kepada mereka. Mungkin, tengah mimpi dikejar kuntilanak. Ampun Ndoro. Kwkwk.
Tak ada kata terlambat untuk melakukan kebaikan, dan saya acungi jempol untuk pengasuhnya yang mendapat mimpi dikejar kuntilanak—yang setelah ditafsir sendiri, harus memanggil diri saya yang tengah khusuk bertapa di dalam kamar bersama istri dan anak tercinta.
Memanggil saya untuk memberikan bimbingan kepada para santrinya tidaklah gampang. Syarat dan ketentuan yang cukup berat, berlaku. Apa syaratnya? Tidak boleh membayar saya, kecuali bayarannya besar, semisal sekali tatap muka senilai 1 milyar. Maaf, guyon gaes! Tapi, memang saya tak mau dibayar. Titik. Tanpa alasan apapun!
Pondok Pesantren Nurul Islam Bataal Barat menjadi tempat yang keempat, saya mengajar literasi, setelah Pondok Pesantren Hidayatul Ulum, Almuttaheda, dan Sumber Payung. Syarat dan ketentuan berlaku bagi semuanya. Tidak boleh dibayar! Ya, kalau dihindangin kopi dan rokok, pasti tak saya tolak. Soalnya, itu paket penting bagi aktivitas menulis saya.
Murid-murid literasi saya sudah bertebaran di mana-mana. Karya-karyanya mentereng, bahkan sudah ada yang jadi doktor, dosen, guru, wartawan, dan lain-lain, meski gurunya sendiri hanya menemani malam dan di gelari dukun oleh orang-orang usil. Kwkwk.
Tidak mengapalah disebut dukun, soalnya saat mereka sakit gigi masih nelepon saya untuk mengobati sakit giginya yang nyeri tujuh turunan. Karya saya sendiri banyak. Ditumpuk dan males diberikan sama penerbit yang curang ngasih royalti. Biarlah, kelak saya bikin penerbit sendiri, dijual sendiri, dan untungnya dinikmati sendiri.
Ini zaman gampang untuk memasarkannya, apalagi saya memang penjual buku yang malang-melintang dengan segala penderitaannya. Berbeda dengan zaman kegelapan yang ketika saya mulai menulis pusing tujuh keliling untuk memasarkannya. Sekarang, cukup nampang saja di beranda facebook, orang sudah pada melihatnya.
Kembali pada santri Nurul Islam yang masih unyu-unyu. Saya Tanya mereka, tentang penyair Chairil Anwar yang melegenda dalam buku pelajaran mereka, eh malah mereka tidak tahu. Saya baca puisinya, “Aku”, mereka juga belum pernah mendengarnya. Andai itu penyakit, itu sudah masuk kategori akut. Saya tahu Chairil Anwar dan hafal puisinya sejak SD, meski sekarang lamat-lamat di ingatan.
Jika demikian, saya jadi teringat guru dan dosen yang saya hajar tulisan-tulisannya. Bahkan, saya gugat kompetensinya. Rasanya, saya tak rela anak-anak yang serius mencari ilmu hanya mendapat sesuatu yang semu.
Pernah, saya membedah novel karya guru Bahasa Indonesia pasca sarjana yang amburadul dan kacau. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia masih kacau bikin kalimat. Alamaaak. Kalau saya tak berani jadi guru apalagi ngambil bayaran. Pantesan, anak-anak sekolahan sekarang banyak yang seteheng.
Saya bisa menulis hanya oleh satu maqolah dari kiai saya (Kiai Ilyasi Siraj): “Ujung Pena Lebih Tajam dari Ujung Pedang”, dan ketajaman itu pernah saya buktikan untuk menurunkan kepala sekolah yang korup hanya dengan empat lembar tulisan. Padahal, saya menulisnya dari jarak yang jauh.
Guru yang keramat, petuahnya akan menancap ke dalam jiwa anak asuhnya. Kata lainnya, kalau gurunya pintar dan cerdas, pasti muridnya pintar dan cerdas, pula. Seriuslah jadi guru. Guru: digugu dan ditiru. Kalau tak bisa bikin puisi saja, apanya yang mau ditiru?
Bimbingan pertama bagi santri Nurul Islam adalah bikin puisi, sehingga karya-karya sastra berikutnya tetap konsisten dengan bahasa-bahasa sastranya yang tak akan membuat tulisannya menjadi kerontang. Mari berkompetisi dan bertanggung jawab secara serius untuk mentransfer ilmu pengetahuan. Dan, paling penting adalah doa tulus-ikhlas dihening malam untuk kebaikan seluruh anak didiknya. Jangan-jangan, guru sekarang tak pernah mendoakan murid-muridnya!
Ganding, 11 Desember 2021
Ganding, 11 Desember 2021
0 Comments