Sumenep (23/2/2015), secara mendadak saya diminta untuk memberikan motivasi menulis di hadapan santri Annuqayah daerah Nirmala. Tanpa persiapan makalah yang biasa saya berikan dalam setiap acara macam tersebut, saya langsung berbicara di hadapan mereka setelah salat Isak. Sambil berkalung serban saya tampil percaya diri.
Saya mengabarkan kepada peserta yang terdiri dari anak-anak MI. sampai perguruan tinggi itu, bahwa serban yang saya pakai bukan menunjukkan identitas diri saya sebagai seorang kiai, hal tersebut terpaksa saya sampaikan karena dalam beberapa kasus ada anak-anak santri yang berpapasan dengan saya saat memakai serban, memberi hormat layaknya menghormati pengasuhnya sendiri. Menghormati saya itu hak mereka, tapi tidak dengan cara serupa menghormati kiainya sendiri. Saya belum layak.
Pada acara itu, saya tidak sedang memberikan tausyiah layaknya kiai, meski dalam beberapa masalah saya menyelipkan ayat-ayat al-Qur'an. Kapasitas saya dalam kesempatan itu tak lain hanya memberikan motivasi untuk menulis, dan memberikan solusi kepada beberapa penanya yang mengeluhkan kesulitannya dalam menulis.
Saya katakan kepada mereka bahwa petuah Imam al-Ghazali sangat masuk akal karena saya telah mengalaminya. Apa itu? "Jika kamu bukan anak seorang raja, bukan pula anak ulama ternama, maka menulislah." Petuah klasik Imam al-Ghazali sempat membuat saya memikirkan teka-tekinya. Saya pernah berpikir, bahwa penulis derajatnya (mungkin) akan menyamai raja atau ulama. Raja dan ulama selalu di hargai orang. Mereka di dudukkan di tempat-tempat terhormat seperti diminta memberi petuah di hadapan suatu jemaah. Kira-kira begitu yang saya alami ketika saya melaksanakan petuah Imam al-Ghazali yang dikenal sebagai ilmuan Islam.
Pada kesempatan itu saya lebih menawarkan menulis fiksi, karena tulisan fiksi bisa dilakukan oleh segala lintas usia. Misal menulis cerpen, puisi, novel, dan sebagainya. Saya jelaskan beberapa keuntungan menulis fiksi yang tak semua orang intelektual bisa melakukannya. Saya jelaskan pula keuntungan-keuntungan lain, di antaranya berubah derajad seperti yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali.
Banyak santri Annuqayah yang berpotensi menjadi penulis, hanya saja masih terus membutuhkan motivasi dan bimbingan yang lebih serius. Paling tidak, mereka diberi ruang atau dicarikan fasilitas agar karya-karya mereka bisa dipublikasikan kepada khalayak.
Saya berharap, santri-santri bisa berdakwah lewat penanya untuk menyampaikan ajaran-ajaran pesantren yang fleksibel dan bisa diterima oleh semua kalangan. Lewat karya tulis, saya yakin mereka bisa mengampanyekan ilmu yang di dapat di dalam pesantren.
(Nun)
2 Comments