Kemarin menjelang
tutupnya bulan Maret (29/3/2015) SMAI Sabilul Huda mengadakan acara bedah buku
yang dihadiri oleh seluruh santri. Menurut panitia, acara bedah buku dihadiri
oleh 78 utusan dari sekolah sekitarnya.
Ketika saya sampai di
ruang acara, peserta terlihat berdesakan, dan aula nyaris tidak muat. Kondisi
seperti itu, tentu saja kurang efektif untuk acara bedah buku. Peserta sudah
seperti massa pengajian yang akan menerima tausiyah agama dari seorang kiai.
Ditambah lagi ruangan yang mendadak berubah menjadi gerah. Ini cerita satu sisi
yang lain.
Sementara cerita di
sisi lain, saya melihat ledakan peserta sebagai sesuatu yang lain, yaitu
semangat serupa semangatnya “anak-anak revolusi’ di dalam novel yang tengah dibedah.
Bahkan, dua sesi tanya jawab yang dibuka oleh moderator tidak bisa menampung gairah
para peserta yang ingin bertanya.
Pertanyaan-pertanyaan
yang bermunculan pun kadang melenceng dari isi novel yang dibedah. Ada yang
menanyakan cara menulis, proses penulisan Anak-Anak Revolusi, cara diterima
penerbit, dan sebagainya. Tentu saja, porsi pertanyaan isi novel lebih
mendominasi, seperti pertanyaan terhadap unsur-unsur intrinsiknya, mulai tema,
penokohan, latar, alur, sudut pandang, dan amanat yang terdapat di dalam novel.
Aktivitas bedah karya
sastra, kitab klasik, karya-karya ilmiah, rasanya memang perlu untuk terus
diadakan, bahkan dilestarikan di sekolah-sekolah SMA/MA/Pesantren, untuk melepaskan
kejumudan dari rutinitas sekolah yang
meteri, metode, dan guru-gurunya, monoton. Hemat saya, semangat belajar bisa
dipertahankan jika pikiran anak didik selalu disegarkan dengan hal-hal baru. Datangkan
kepada mereka sesuatu yang baru, yang mendatangkan energi lebih dahsyat dari
sebelumnya.
Bedah buku yang
berakhir pukul 12 siang itu, diakhiri dengan bagi-bagi buku dan sertifikat dari
para panitia, juga foto bersama pembedah yang sekaligus penulisnya.
Saya berharap, masih
ada sekolah-sekolah lain yang mengikuti jejak SMAI Sabilul Huda untuk
mengadakan kegiatan serupa, atau kegiatan lain yang lebih menyegarkan seperti
pelatihan menulis karya fiksi dan non fiksi, bukan jalan-jalan ke tempat-tempat
rekreasi yang berisiko dan mengkhawatirkan keselamatan.
(Nun)
0 Comments