Ini perjalanan ke-11 saya, mengisi pelatihan menulis, seminar, dan bedah buku, sejak 2013 hingga 29 Maret 2015 di SMAI Sabilul Huda Ganding Sumenep Madura. Sejak terbitnya novel Anak-Anak Revolusi (November 2013) dan Memanjat Pesona (Januari 2014), undangan berdatangan, meski wilayah undangan itu tak jauh dari rumah, yaitu di tanah Madura sendiri. Paling jauh, undagannya pernah datang dari Kabupaten Mojokerto pada 2013 lalu.

Kemarin menjelang tutupnya bulan Maret (29/3/2015) SMAI Sabilul Huda mengadakan acara bedah buku yang dihadiri oleh seluruh santri. Menurut panitia, acara bedah buku dihadiri oleh 78 utusan dari sekolah sekitarnya.
Ketika saya sampai di ruang acara, peserta terlihat berdesakan, dan aula nyaris tidak muat. Kondisi seperti itu, tentu saja kurang efektif untuk acara bedah buku. Peserta sudah seperti massa pengajian yang akan menerima tausiyah agama dari seorang kiai. Ditambah lagi ruangan yang mendadak berubah menjadi gerah. Ini cerita satu sisi yang lain.

Sementara cerita di sisi lain, saya melihat ledakan peserta sebagai sesuatu yang lain, yaitu semangat serupa semangatnya “anak-anak revolusi’ di dalam novel yang tengah dibedah. Bahkan, dua sesi tanya jawab yang dibuka oleh moderator tidak bisa menampung gairah para peserta yang ingin bertanya.

Pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan pun kadang melenceng dari isi novel yang dibedah. Ada yang menanyakan cara menulis, proses penulisan Anak-Anak Revolusi, cara diterima penerbit, dan sebagainya. Tentu saja, porsi pertanyaan isi novel lebih mendominasi, seperti pertanyaan terhadap unsur-unsur intrinsiknya, mulai tema, penokohan, latar, alur, sudut pandang, dan amanat yang terdapat di dalam novel.

Aktivitas bedah karya sastra, kitab klasik, karya-karya ilmiah, rasanya memang perlu untuk terus diadakan, bahkan dilestarikan di sekolah-sekolah SMA/MA/Pesantren, untuk melepaskan  kejumudan dari rutinitas sekolah yang meteri, metode, dan guru-gurunya, monoton. Hemat saya, semangat belajar bisa dipertahankan jika pikiran anak didik selalu disegarkan dengan hal-hal baru. Datangkan kepada mereka sesuatu yang baru, yang mendatangkan energi lebih dahsyat dari sebelumnya.

Bedah buku yang berakhir pukul 12 siang itu, diakhiri dengan bagi-bagi buku dan sertifikat dari para panitia, juga foto bersama pembedah yang sekaligus penulisnya.
Saya berharap, masih ada sekolah-sekolah lain yang mengikuti jejak SMAI Sabilul Huda untuk mengadakan kegiatan serupa, atau kegiatan lain yang lebih menyegarkan seperti pelatihan menulis karya fiksi dan non fiksi, bukan jalan-jalan ke tempat-tempat rekreasi yang berisiko dan mengkhawatirkan keselamatan.  

(Nun)