Mukadimah
Perkembangan
sains dan teknologi masa kini, tidak bisa dianggap sepele baik oleh individu
apalagi lembaga yang menaugi sejumlah lembaga pendidikan, karena sains dan
teknologi bagai mata uang yang saling melegitimasi eksistensinya. Sains tanpa
teknologi, hanya akan berkutat pada satu ruang, misalnya hanya berkutat pada
ruang kelas dan atau satu lingkungan, saja. Padahal, teknologi menawarkan
alternatif mengejawantahkan ilmu pengetahuan ke seluruh ruang di muka bumi.
Dahulu, ruang berbagi ilmu pengetahuan dicukupkan pada ruang tertentu seperti kelas, pesantren, kampus, dan sebagainya, tetapi sekarang sudah mengalami rekonstruksi-fundamental sebagai akibat dari tidak terbendungnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan yang dihasilkan oleh masyarakat, sehingga sains dan segala perubahan kebudayaan bisa diakses melalui perkembangan teknologi—yang hari ini anak baru lahir saja sudah bisa menggunakannya.
Hari
ini dan mungkin hari-hari berikutnya, ilmu pengetahuan yang sebelumnya hanya
dicukupkan pada ruang tertentu sudah dapat diakses oleh seluruh manusia yang punya
tekad untuk belajar. Dan, pesantren, kelas, termasuk kampus, boleh jadi terancam
bubar jika para pembelajar sudah tidak butuh lagi legitimasi dari lembaga
seperti mendapatkan selembar ijazan dan sertifikat.
Buat
apa ijazah, jika ijazah tidak menyelesai masalah-masalah yang tak terbayangkan
selama di ruang pesantern, kelas, atau kampus? Sudah tak terhitung para
pembelajar yang dilahirkan dari ruang tertentu itu, ambruk berhadapan dengan
masalah-masalah yang dihadapi di sekitarnya. Seolah pembelajar yang dilahirkan
dari ruang itu, tidak lebih bermutu daripada yang tidak sama sekali mencicip
ruang yang dimaksud.
Segala
kemungkinan tadi bisa terjadi secara tiba-tiba, jika para stakeholder lalai mendefinisikan ulang segala perubahan sains dan
teknologi kepada para pembelajar yang diasuhnya. Kira-kira apa yang tidak bisa
diakses oleh para pembelajar dari kemasan teknologi seperti google? Mungkin
nilai dan barakah yang tidak ada di sana, dan apakah guru-guru masa kini bisa menyalurkan
nilai dan barakah kepada para pembelajar yang diasuhnya? Jangan-jangan nilainya
sama saja dengan kemasan teknologi bernama google!
Aktivitas
literasi mungkin bisa menjawab anomali-anomali yang menjadi kekhawatiran
bersama (itupun jika layak dikhawatirkan) melalui kesadaran berliterasi yang
langsung dikomandani oleh para stakeholder (guru, dosen, ustaz, kiai, aktivis,
dll.) yang punya kekhawatiran, tadi. Jangan lupa, kekhawatiran adalah
kegelisahan orang-orang kreatif, cerdas, dan hidup mata batinnya.
Literasi
bukan barang baru, bahkan sebelum teknologi maju pesat seperti saat ini,
literasi sudah dirangkum secara utuh dalam pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia yang disebut Kompetensi Kemampuan Berbahasa yang melibatkan aktivitas
menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Empat kemampuan Berbahasa tersebut
saat ini dapat dikategorikan sebagai komponen literasi. Tentu saja dengan
segala perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan.
Pengertian Literasi
Konon,
secara etimologi literasi berasal dari bahasa latin Literatus, yang jika diterjemah ke dalam bahasa Indonesia punya
arti Pembelajar. Pembelajar artinya orang yang suka belajar tentang segala hal.
Secara terminologi, literasi punya pengertian sebagai aktivitas belajar tanpa
batas yang melibatkan aktivitas menyimak, membaca, berbicara, dan menulis.
Banyak
pengertian literasi di buku-buku atau di dalam google, tetapi menurut saya yang
paling sederhana adalah definisi sebagaimana pengertian di atas. Pengertian di
atas belum dipengaruhi oleh perkembangan sains dan teknologi seperti saat ini,
karena definisi yang demikian benar-benar disimpulkan pada jaman “kegelapan”.
Hanya saja, istilah literasi belum populer pada waktu itu, sehingga hanya
disebut sebagai keterampilan berbahasa, saja.
Kita
sudah lama sekali melek literasi, dan jika hari ini kita dianggap belum
memahami literasi, tentu saja disebabkan oleh karena tidak populernya istilah
literasi itu sendiri. Padahal, sejatinya kita sudah melakukan aktivitas
literasi sejak usia dini dan bahkan sejak dalam kandungan. Misal, beberapa
orangtua memperdengarkan bacaan ayat-ayat suci ketika masih mengandung atau mengenalkan
anak-anaknya yang masih balita dengan angka-angka atau huruf-huruf tertentu.
Contoh lain, misalnya literasi pesantren yang ketika selesai mempelajari bab thoharoh langsung dipraktikkan, dan
sudah pasti hal itu bagian dari aktivitas literasi.
Literasi
sudah lama sekali masuk ke ruang kelas melalui buku pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia sebagai kompetensi dasar menguasai bahasa melalui aktivitas menyimak,
membaca, berbicara dan menulis. Jadi, literasi tidak hanya soal baca-tulis,
tetapi juga melibatkan kemampuan berbicara dan menyimak. Literasi bukan
aktivitas asing bagi kita, hanya asing istilahnya saja.
Mengupas Ativitas
Literasi
Sebagaimana
definisi di atas, literasi meliputi aktivitas menyimak, membaca, berbicara, dan
aktivitas menulis. Aktivitas literasi tersebut bukan sesuatu yang gampang untuk
diamalkan, tetapi masih butuh proses panjang dan sungguh-sungguh untuk bisa merealisasikannya.
Namun, siapa saja bisa melakukan aktivitas tersebut, baik yang sudah usia
lanjut apalagi yang masih muda belia. Kuncinya: sungguh-sungguh, belajar.
Belajar sepanjang hidup. Jangan hanya bekerja menumpuk-numpuk harta benda dan
memamerkannya pada orang-orang miskin yang mudah tergiur untuk menyembah
dirinya. Sekarang, kita kupas sesingkat-singkatnya empat hal yang menjadi dasar
aktivitas literasi.
Menyimak
Menyimak merupakan
aktivitas yang melibatkan indera pendengaran, dan tidak semua orang bisa
konsentrasi melakukan aktivitas menyimak ini, apalagi di era milenial yang
godaannya sangat menggiurkan. Dahulu, godaan menyimak bagi seorang pembelajar
adalah asyiknya ngobrol dengan teman sebangku, atau mungkin sekadar melamunkan
kekasih dari seorang anak tuan tanah. Sekarang, godaannya malah bermesraan
dengan handphone terutama bagi
peserta seminar yang tidak dilarang membawa handphone.
Kesalahan menyimak
bisa berakibat fatal, apalagi di forum-forum penting semisal sidang yang
membahas soal nasib rakyat, atau ketika menyimak ajaran-ajaran agama, atau saat
berdiskusi dan berdebat. Tentu saja, kegagalan menyimak menjadi bagian dari
gagalnya aktivitas literasi. Butuh latihan-latihan yang kontinu agar kemampuan
menyimak lebih baik dari sebelumnya.
Bagi pejabat negara
yang gagal menyimak sidang soal rakyat, bisa salah mengambil kebijakan dan
bahkan boleh jadi kesalahannya berakhir di jeruji besi. Bagi orang yang belajar
agama boleh jadi salah memahami agama, sehingga yang halal menjadi haram dan
yang haram menjadi halal. Demikian juga ketika orang berdiskusi dan berdebat,
yang akhirnya tidak nyambung dengan konteks yang didiskusikan atau
diperdebatkan.
Bagi orang beragama,
menyimak bisa berbuah pahala. Semisal menyimak lantunan ayat-ayat suci
al-Qur’an atau menyimak pelajaran-pelajaran ilmu pengetahuan, dan hal lain yang
bernilai positif bagi kehidupan manusia. Apalagi, berhasil merekonstruksi hasil
menyimak menjadi pengetahuan baru yang bermanfaat bagi orang lain.
Ketika ilmu
pengetahuan belum dibukukan, orang-orang harus pandai menyimak untuk
mendapatkan pengetahuan baru. Mereka mendatangi orang-orang berilmu demi
mendapatkan nasihat dari lisan yang satu ke lisan yang lainnya. Mereka tak
punya kertas dan pena, karena dahulu kemajuan peradaban tidak secanggih saat
ini. Jika pun terpaksa ditulis, maka batu-batu dan daun lontar menjadi
alternatifnya. Kuping pada masa itu, menjadi andalan utama untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan.
Membaca
Membaca menjadi cikal
bakal lahirnya ilmu pengetahuan, termasuk yang ditulis dangan metode ilmiah
sebagaimana yang termaktub dalam karya-karya kaum sarjana di berbagai perguruan
tinggi dan tempat-tempat lainnya. Teks yang mereka baca direkonstruksi
sedemikian rupa untuk melahirkan pengetahuan baru yang berdaya guna bagi
kehidupan umat manusia.
Membaca menjadi
aktivitas literasi yang membuat manusia menjadi pembelajar yang mencerahkan
bagi diri dan orang lain. Tanpa membaca, orang tidak layak disebut sebagai
pembelajar, apalagi disebut sebagai orang yang melek literasi.
Aktivitas membaca
akan membuat manusia kaya pengetahuan, kosa kata, informasi, dan tentu saja
bakal lebih selamat dari berbagai ketersesatan yang disebabkan oleh meledaknya
pengetahuan baru dibanding mereka yang malas membaca. Saat ini, bahan bacaan
sudah menjamur, terutama di media sosial yang siapa pun bisa mengaksesnya tanpa
batas.
Mereka membaca apa
saja, mulai dari buku-buku cetak, e-book, artikel online, status facebook, kitab kuning, hingga membaca berbagai
gejala di sekitarnya. Pembelajar pasti melakukan aktivitas membaca, setidaknya
membaca buku-buku pelajaran mereka di sekolah atau membaca diktat yang dijual
oleh para dosen di kampus-kampus.
Sukses tidaknya
aktivitas belajar bisa ditentukan oleh kesadaran membaca para pembelajar tadi,
baik pembelajar di sekolah-sekolah formal atau pembelajar yang luntang-luntung
di dunia bebas. Banyak ilmu pengetahuan yang ditulis, dan itu membutuhkan satu
semangat literasi yang sungguh-sungguh, yaitu membaca.
Membaca tidak melulu
soal membaca teks dan angka-angka, namun juga fenomena yang mengitari
sekeliling manusia. Biasanya, fenomena hanya bisa dibaca oleh para pembelajar
yang sudah “kenyang” membaca teks-teks pengetahuan yang tertuang di dalam
buku-buku dan kitab-kitab klasik.
Saking pentingnya
membaca, Tuhan pun “perlu turun tangan” melalui firman-Nya di surah al- ‘alaq
yang secara implisit diperintahkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad saw., melalui
aktivitas bimbingan Malaikat Jibril, hingga akhirnya Kanjeng Nabi pun bisa
membaca dengan fasih. Secara eksplisit, perintah membaca itu diperuntukkan
kepada seluruh umat manusia tanpa terkecuali.
Mula-mula kita
membaca huruf, angka, kata, kalimat, kitab dan buku-buku tebal, hingga membaca
berbagai fenomena yang terjadi di sekitar kehidupan manusia. Tujuannya tidak
lain untuk mendapatkan pengetahuan baru yang mungkin bisa diakses hingga ke
negeri akhirat. Bukankah kelak di akhirat, ilmu pengetahuan tetap berdaya guna?
Di berbagai banyak
riwayat, para ilmuwan tidak hanya membaca sekali suatu kitab atau buku. Mereka
membacanya berulangkali hingga benar-benar paham dan mampu diterapkan dalam
kehidupannya. Mereka tidak main-main dalam belajar, dan hasilnya (sebagaimana
kita baca karya-karya Imam al-Ghazali, misalnya) karyanya menjadi mercusuar
sepanjang peradaban manusia.
Kita bisa menirunya,
apalagi era milenial memberikan banyak fasilitas untuk melakukan
kemungkinan-kemungkinan sebagaimana yang dilakukan oleh para ilmuwan yang sudah
masyhur macam Imam Syafi’ie, Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, Imam
Ghazali, Muhammad Abduh, Ibnu Sina, Ibnu Arabi, dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Membaca lebih
autentik daripada menyimak, karena membaca bisa tahu langsung sumber
referensinya dan bisa dijadikan hujjah ilmiah dalam pengembangan pengetahuan di
masa yang akan datang. Melalui orang-orang yang rajin membaca, ilmu pengetahuan
itu bisa berkembang dengan adil, terutama sekali di kampus-kampus yang terbiasa
berpikir rasional.
Membaca bukan perkara
mudah. Banyak hal yang merintanginya, termasuk sajian-sajian hiburan hedonis
yang menggoda selera. Kadang, aktivitas membaca buyar seketika saat
hiburan-hiburan itu mendatanginya. Godaan bagi pembelajar di era milenial, amatlah
berat. Berbeda dengan era 80-an ke belakang yang godaannya hanya kekurangan
bahan bacaan. Mampukah genarasi milenial melewati cobaan-cobaan itu? Hal itu
menjadi tugas berat bagi kita, terutama para guru dan dosen yang tugasnya
memang memberikan pencerahan kepada peserta didiknya. Masa kini, perlu kiranya untuk
saling memotivasi agar tetap istikamah untuk muthola’ah.
Berbicara
Kemampuan
berbicara bisa diperoleh melalui aktivitas menyimak dan membaca. Menyimak dan
membaca menjadi modal utama agar kita bisa berbicara dengan baik dan benar
disertai dengan latihan-latihan dan metode tertentu. Salah berbicara (apalagi
di era digitalisasi) bisa dikeroyok nitizen
seantero jagat raya. Maka, berbicara menjadi bagian amat penting dalam
aktivitas literasi.
Di
kampus, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia ada mata kuliah retorika yng khusus
mengupas tuntas soal cara berbicara yang baik dan benar. Artinya, betapa
pentingnya kemampuan berbicara bagi kehidupan manusia, terutama bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Bukankah politisi dan pejabat negara banyak yang gagal
berbicara?
Biasanya,
pembelajar yang rajin menyimak dan membaca memiliki kemampuan berbicara yang
lumayan bagus dibanding mereka yang tidak becus mendengarkan dan tidak
sungguh-sungguh membaca. Di forum-forum intelektual, mereka tampil memukau dan
mampu menghipnosis pendengarnya. Mereka bisa dipastikan pembelajar yang baik.
Berbicara
di ruang publik, termasuk di youtube misalnya, memerlukan keterampilan khusus
agar tidak dibuli oleh para nitizen yang pekerjaannya memang khusus bullying,
apalagi sampai bicara yang berbau SARA dan provokatif. Ruang berbicara terbuka
lebar bagi siapa saja. Dominasi panggung manual untuk berbicara sudah nyaris
tamat riwayatnya. Silakan belajar, agar bisa berbicara dengan baik dan
benar.
Menulis
Menulis merupakan
aktivitas literasi yang paling sulit. Tidak semua sarjana yang rajin membaca,
mampu menulis. Tidak semua guru, dosen, kiai, motivator, atau siapa saja yang
memukau jika berbicara memiliki kecakapan menulis, apalagi mengarang suatu buku
atau kitab.
Aktivitas menulis
membutuhkan kecakapan khusus, bahkan lebih dari sekadar melahap buku-buku atau
kitab-kitab. Butuh berlatih dan kesabaran ekstra, apalagi ketika karya tulis
ditolak penerbit berulang kali.
Melahirkan karya
tulis butuh proses panjang, mulai dari kekayaan ilmu pengetahuan, kekayaan kosa
kata, hingga kemampuan memahami metode penulisan yang baik dan benar. Latihan
dan bimbingan perlu terus dilakukan hingga menjadi terbiasa dan tidak lagi menjadi
beban ketika dibaca oleh public.
Banyak genre untuk
fokus menulis, misalnya menulis puisi, cerpen, novel, dongeng, cerita rakyat,
atau bisa juga fokus menulis artikel dan karya ilmiah. Bersyukur, jika semua
genre bisa ditulisnya dengan baik dan benar.
Menurut Mbah Stephen
King dari Amerika, “tak ada jalan lain bagi penulis kecuali membaca dan
menulis. Petuah Mbah Stephen King ini bisa menjadi modal bagi kita untuk bisa
menulis, karena Stephen King sendiri sudah membuktikannya.
Jangan terlalu banyak
berpikir yang aneh-aneh untuk menuangkan gagasan menjadi karya tulis. Tulis
saja apa yang tengah Anda pikirkan. Tidak perlu berpikir akan dikritik dan
dihakimi oleh penulis yang lebih senior, apalagi takut pada nitizen yang kemampuannya hanya nyinyir.
Namun demikian, pastikan dulu berapa buku yang Anda lahap dalam sehari? Jika
jarang atau bahkan sama sekali tidak pernah membaca buku, sebaiknya membacalah
terlebih dahulu, agar tulisan-tulisan Anda menjadi bermutu dan tidak macet di
tengah jalan karena kurangnya pengetahuan dan miskinnya kosa kata.
Hal penting yang
harus dilakukan oleh penulis pemula adalah berkawan dengan para penulis yang
sudah berpengalaman. Belajarlah pada mereka, atau paling tidak mereka bisa
melecutkan potensi Anda yang selama ini mengendap, atau mendekatlah pada
guru-guru yang punya kemampuan menulis, agar senantiasa mendapatkan petunjuk ke
jalan yang benar.
Saat ini, ruang
ekspresi melalui karya tulis terbuka lebar dan monopoli media cetak terhadap
karya tulis, telah pudar. Anda bisa menjadikannya sebagai status facebook, atau
dipublis di blog pribadi, dan sebagainya. Namun demikian, penulis tetap perlu
berhati-hati dengan tuilisan-tulisan yang dipublis di media, karena ada UU ITE
yang kadang membatasi ruang gerak tulisan-tuilisan kita.
Penutup
Aktivitas literasi
bukan sesuatu yang mudah jika kesungguhan belajar sudah tidak ada lagi di dalam
dada Anda. Itulah sebabnya, Nabi mewajibkan belajar seumur hidup, mulai sejak
keluar dari rahim ibunda hingga terbujur kaku dibawa pergi keranda.
Hari ini dan mungkin
juga hari depan, ruang belajar terbentang luas. Tak hanya di dalam kelas, di
sawah pun banyak yang bisa kita petik sebagai pelajaran. Tuhan membentangkan
kesempatan kepada seluruh manusia untuk belajar. Cobalah hasil belajar didiskusikan,
lalu direkonstruksi menjadi tulisan-tulisan yang berdaya-guna bagi kenyamanan
umat manusia. Wallahu’alam.
Ganding Sumenep, 7 Februari 2022
0 Comments