Catatan yang
terlambat posting ini sebagai akibat kurang seriusnya saya melakukan
dokumentasi di blog pribadi. Momen gerakan sosial macam diklat kepenulisan ini
mestinya terdokumentasi dengan rapi, agar menjadi jejak sejarah bagi Generasi Alpha atau setidaknya menjadi
inspirasi bagi anak saya yang akan mengarungi hidup berkelanjutan.
Pada 27-28 Oktober
2020 lalu, saya diundang untuk memberikan pelatihan menulis dalam rangka Festival Hari Santri Nasional 2020, di
Pondok Pesantren Annuqayah Latee Sumenep Madura. Satu penghargaan luar biasa
bagi saya yang masih awam dalam dunia literasi. Penghargaan ini serupa ritual
ajakan belajar bersama, bukan untuk menggurui mereka, tentunya.
Siapa yang tidak tahu
jika Pondok Pesantren Annuqayah menjadi gudangnya penulis? Penulis-penulis
nasional sudah banyak dilahirkan oleh pesantren tertua di Madura ini.
Karya-karyanya penuh mutu dan nyaris tak tertandingi pesantren-pesantren lain.
Maka, apalah arti seorang saya jika harus menggurui santri-santrinya?
Saya sendiri menulis
tidak lepas dari gesekan santri-santrinya. Karya-karya saya malah lahir di
pinggiran Pesantren Annuqayah, di tempat angker nan sakral bernama Menara Cling, atau Kiai Faza Binal Alim
menyebutnya sebagai Tanjung Kodok
yaitu tempat bertemunya kodok-kodok nusantara.
Jika malam,
kodok-kodok rapat sambil mendendangkan irama yang memecah ke angkeran Menara Cling. Jika di antara kodok tidak
kompak iramanya, maka ketua kodok akan menegurnya dengan cara menghentikan
irama yang mereka dendangkan. Biasanya, Kiai Faza Binal Alim yang paling paham
soal tabiat kodok yang seperti itu. Menara Cling masih masuk area Annuqayah,
karena diapit oleh para stakeholder Anuqayah. Artinya, masih terikat
aturan-aturan pesantren secara implisit.
Kembali ke soal
menulis. Saya ini hanya mendapat tempias dari barokahnya Pesantren Annuqayah.
Jika tidak dapat tempias barokahnya, mungkin saya tak melahirkan
tulisan-tulisan sama sekali, meski saya seorang sarjana Bahasa dan Sastra
Indonesia, sekalipun. Berapa banyak teman-teman saya yang satu jurusan tapi tak
melahirkan tulisan sastra sama sekali?
Annuqayah memang
tidak mengajarkan saya ilmu menulis secara eksplisit, tetapi secara implisit
saya mendapatkannya dan suasana itu hanya saya yang merasakan riwayatnya. Agak
susah dijelaskan secara ilmiah. Pastinya, ruh literasinya tersemai dalam ruh
saya. Maka, sekalipun saya diminta mengisi diklat untuk santri Annuqayah, itu
sejatinya saya sedang menambang pengetahuan dari mereka.
Annuqayah itu bagai
seorang guru yang maqomnya sudah wali. Guru yang maqomnya wali, biasanya akan
menebarkan rahmah pada murid-muridnya dengan cara yang tak terduga, dan tidak
disangka-sangka. Tahu-tahu di belakang hari menjadi sesuatu. Maka, guru yang
tak menebarkan rahmah, atau guru yang hanya mengincar sertifikasi, sebaiknya
tahu diri. Mundur saja jadi guru, agar anak orang tidak rusak!
Pada Diklat
Kepenulisan ini, saya tidak berharap apapun pada peserta, semisal langsung jadi
penulis yang berkelas nasional. Itu tak ada di kepala saya, karena dominasi barokah
pasti sudah ada pada para masyayikh, apalagi berbagai teori kepenulisan sudah
diajarkan di sekolah formal atau di sanggar-sanggar yang mereka ciptakan
sendiri. Dan, tidak mungkin diklat dua hari menjadikan orang sebagai penulis,
kecuali keajaiban barokah, tadi.
Paling tidak, saya bisa
menyaksikan semangat mereka untuk bisa menulis, sebagaimana senior-seniornya
yang melangit lebih dahulu. Wallahu’alam.
0 Comments