Sudah lama tidak menulis. Rindu pada jemari yang meliuk di atas keyboard laptop yang baru selesai diperbaiki di IBU.COM, juga oleh desakan pikiran yang meronta untuk menceritakan segala hal yang dilihat dan dirasakan seluruh sukma. Sungguh, perjalanan usia yang semakin menua, ada banyak kisah yang bermukim di sel-sel kepala. Misal, kisah Covid-19 yang mendunia dan orang-orang yang ketakutan oleh karenanya, juga kisah teman-teman yang usahanya mati suri oleh sebab Corona, atau kisah-kisah para koruptor yang membuat sebagian rakyat sengsara, atau kisah seorang tetangga yang diusir familinya karena tak mau tunduk pada kehendak nafsunya.

Rasanya, ingin saya ceritakan semua kisah-kisah di atas agar jemari saya ikut menari dengan kisah-kisah mereka, atau setidaknya saya ada saat rasa kalut membelenggu mereka, tapi waktu nyaris tak memberikan ruang, karena saya telah mencipta aktivitas yang tidak terencana, sebelumnya. Kali inipun, saya hanya sanggup menceritakan proses Kreativitas Menulis meski tak sedetail tulisan-tulisan Stephen King atau yang dikenal dengan nama pena Richard Bachman, dalam karya-karya novelnya.

Pulau Gelap, Pulau Gemerlap
Inspirasi menulis datang dari kondisi kegelapan pulau saya, di Giliraja yaitu pulau terpencil di selat Madura di Kota Sumenep Jawa Timur. Pulau yang gagal saya bangun dengan fasilitas-fasilitas finansial—tapi tetap saya bangun dengan motivasi besar melalui tulisan-tulisan yang barangkali akan menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya yang lebih memiliki nyali dan idealisme bak samudera. Sedikit usaha sesuai dengan kemampuan, setidaknya akan menaburkan percikan cahaya. Cahaya yang tak hanya oleh terang oleh lampu neon, tetapi terang oleh ilmu pengetahuan.

Ketika saya lahir pada 14 Juni 1980, pulau gelap oleh lampu neon. Satu-satunya lampu neon yang benderang hanya dimiliki oleh seorang juragan kaya raya bernama Haji Pagi (allahumma firlahu), yang oleh sebab kekayaannya saya bisa menonton televise hitam-putih hingga kumandang azan di Musalla Babussalam (sekarang jadi Masjid Babussalam), dan generasi milenial mesti tahu riwayat berdirinya Masjid itu agar tak asal caplok dan menafikan genarasi yang telah merintisnya.

Konon, syarat menjadi penulis sebagaimana yang diajarkan oleh guru-guru saya (termasuk Stephen King) adalah membaca. Membacalah satu-satunya untuk menjadikan seseorang sebagai menulis, termasuk penulis novel. Syarat seperti itu, tak pernah ada di pulau saya. Pulau Giliraja benar-benar gelap. Kalau pun ada bahan bacaan, itu hanya koran-koran bekas yang sebek-sobek, yang saya pungut di jalan-jalan atau yang dibuang kakek saya “Sutarwi” dari bungkus tembakau yang dibelinya dari Pak Asmoni, seorang penjual tembakau dari Sera Bere’ Sumenep.

Bahan bacaan yang dianggap akan memperkaya kosa kata, dan ide-ide tak berlaku di pulau saya. Lalu, alasan apa saya mampu membuat novel seperti yang sudah terbit seperti sekarang? Rasanya, syarat yang ditausyiahkan oleh guru-guru menulis sama sekali tak berlaku sama sekali, atau jangan-jangan saya mendapati kekayaan kosa kata dan ide-ide dari para guru yang mendekte materi pelajaran setiap hari di sekolah-sekolah? Masuk ke bawah sadar pikiran saya, lalu berkembang biak ketika melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Boleh jadi hal itu menjadi musab yang tidak dirasakan secara langsung. Semoga seperti itu, dan guru-guru—yang entah di mana saja saat ini, semoga senantiasa mendapat jariah murid-muridnya.

Riwayat Motivasi Selain Buku
Kecerdasan memang tidak melulu disebabkan oleh rajinnya membaca buku, apalagi di pulau ketika buku-buku menjadi barang langka. Banyak penyebab yang menjadikan penduduk pulau Giliraja menjadi pintar dan cerdas, di antaranya adalah nonton televisi di rumahnya almarhum H. Zainal Pagi. Melalui televise, penduduk pulau—saya juga tentunya—bisa menyaksikan “Dunia Dalam Berita” yang konsisten di siarkan oleh TVRI, yaitu channel TV satu-satunya yang sampai di pulau—yang disuplai dari sebuah antena yang tingginya menjulang-julang ke langit, yang jika cuaca buruk, TV Haji Zainal Pagi berkedip-kedip bak kesurupan (agelejjer).

Televisi H. Zainal Pagi boleh jadi kontribusinya sangat besar bagi proses kecerdasan orang-orang pulau, yang pada waktu itu (masa Orde Baru) listrik tak punya harapan menerangi pulau saya, yang terpencil.  Televisinya menyajikan banyak informasi dan sesekali memutar film macam si Angling Darma yang memenggal 41 kepala, atau film Satria Bergitar, Tiga Cewek Jagoan, dan sebagainya.

Generasi milenial tak bakal tahu soal riwayat seperti ini, karena memang tak ada catatan tertulis dalam lembaran buku-buku, bahwa di masa kegelapan masyarakat Giliraja punya riwayat unik dalam partisipasinya mencerdaskan diri. Hampi masyarakat Giliraja tumpah ruah di rumah H. Zainal Pagi, juga di rumah saudaranya di Desa Lombang yaitu H. Hasin yang ketika itu sama-sama menjadi “miliarder”.

Tidah hanya telivisi yang berkontribusi terhadap kecerdasan masyarakat Giliraja, tetapi juga radio. Tidak semua orang memiliki radio. Pemilik radio termasuk orang kaya kelas dua setelah pemilik televise. Stasiun radio yang buming ketika itu adalah “Suara Kemala” yang sekarang sudah berganti nama menjadi “Nada FM”. Kakek saya (Sutarwi) sangat menyukai acara Lodruk. Lodruk menyajikan cerita-cerita rakyat  dengan segalai nilai dan pengetahuan yang termaktub di dalamnya.

Sementara saya, menyukai “Sandiwara Radio”, bahkan sangat menggandrunginya, sampai-sampai saya berani tidak mengaji ke surau lantaran episodenya di putar pada waktu Maghrib. Ketika itu (1990-1996) ada bermacam sandiwara radio Saur Sepuh dengan actor utamanya Brama Kumbara, atau Tutur Tinular dengan aktornya Arya Kamandano, atau sandiwara radio 
Nene Pelet yang menyeramkan—yang kadang diputar tujuh seri tepat malam Jumat.

Sandiwara radio inilah yang menurut saya membantu menguatkan imajinasi saya. Iamjinasi saya kadang-kadang digiring ke Sungat, gunung, goa, hutan belantara, atau kadang-kadang terkagum-kagum dengan ilmu kanuragan tokoh-tokohnya. Ilmu kanuragaan yang saya ingat misalnya, Ajian Lebur Sekheti, Ajian Panglimunan, Ajian Segoro Geni, Ajian Pancasona, Ajin Brajamusti, Ajin Rawa Rontek, dan lain sebagainya. Imajinasi saya terbawa ke wilayah-wilayah seperti yang disebutkan, dan bahkan tertarik untuk mempelajarinya.

Imajinasi bagi saya menjadi kekautan utama dalam menulis cerita-cerita novel yang cukup tebal. Stephen King boleh berpendapat bahwa membaca menjadi syarat untuk menulis cerita-cerita, tetapi saya punya tambahan pendapat, bahwa sandiwara yang nonvisual itu, juga punya kontribusi besar di dalam proses penciptaan karya fiksi, karena sekali pun berbuku-buku yang dibaca, tapi tidak kuat imajinasinya, maka cerita-cerita akan sulit tercipta. Demikian juga, sekali pun berseri-seri mendengarkan sandiwara radio, belum tentu menjadi penulis cerita. Keduanya, sama-sama berkontribusi dan bisa dikelola menjadi suatu alat memproses seseorang menjadi penulis cerita.

Jadi, jika Anda tidak mampu menulis cerita novel yang tebal, kemunkinanannya bisa ada tiga macam. Satu, karena malas membaca buku-buku yang mengayakan pengetahuan, kosakata, ide, dan sejenisnya, atau nomor dua belum pernah melatih imajinasinya dengan bertualang melalui simaan sandiwara radio yang nonvisual tersebut. Tentu saja nomor tiga adalah tidak teleten atau tidak sabra menyusun kalimat demi kalimat hingga menjadi utuh dalam sebuah cerita novel.

Sekarang, pulau Giliraja sudah tidak semelarat kehidupan masa kecil saya. Fasilitas menulis dan menyerap informasi sudah sangat mudah, meski pun listrik masih hanya sebatas mesin diesel/individu—sementara listrik yang dijanjikan pemerintah masih mengambang di angkasa alias masih sebatas kabelnya saja. Fasilitas dan keterbatasan, bukan satu-satunya argumentasi logic jika memang menginginkan dirinya menjadi penulis, penulis apa saja.

Saya sudah menabur benih, dan rupanya bertumbuh seiring tumbuhnya genarsi baru di lingkungan tanah kelahiran. Kesulitan-kesulitan yang dahulu menjadi penghambat, ternyata membuahkan hasil yang lumayan nyaman dari sisik intelektual. Buku dan tulisan-tulisan setidaknya menjadi makanan untuk mengenyangkan hati dan pikiran menuju jalan yang lurus. Sementara kaya raya masih pengap, karena menulis memang bukan untuk kekayaan finansial, tetapi kekayaan yang mecahayakan hati dan pikiran dengan segala resiko dan ujiannya yang besar di tengah hedonisme matrialisme.

Sukses, bisa di mana saja sepanjang kesuksesan tidak untuk dipersembahkan kepada manusia. Percuma, jika menulis hanya untuk mengabadikan nama sepanjang sejarah manusia, agar dikenal dan kelihatan intelektual. Demikian juga dengan kekayaan yang oleh kebanyakan masyarakat awam dianggap sukses. Percuma, jika hanya karena rumah dan uang sakunya berlipat-lipat, tapi apatis kepada derita sesamanya.

Bangkitnya orang-orang Giliraja yang “terisolir” oleh kebijakan pemerintah, tidak membuat mereka pesimis. Mereka anti ketergantungan kepada belas kasih pemerintah, kecuali memang si ahli penadah yang mengatasnakan rakyat. Entah siapa saja, dan boleh jadi orang-orang inteletual yang tak barokah pengetahuannya. Boleh jadi jebolan pesantren yang gagal dalam kebermanfaatan pengetahuannya.

Ketika Giliraja mulai merasakan percikan cahaya, masihkah mereka gemar menuntut pengetahuan dari kitab-kitab, atau buku-buku, lalu memanfaatkannya dengan tulus untuk melayani masyarakat yang tak berdaya? Kadang memang miris, ketika mendengar informasi tentang lembaga pendidikan masih mencari siswanya dengan cara-cara yang tak mencerdaskan. Artinya, hal demikian adalah kegelapan yang sedang dikembalikan dari masa lalunya. Jangan sekali-kali menernakkan manusia, jika tak ingin Tuhan membalasnya dengan bencana.

Segala persoalan yang silih berganti mewarnai generasi ke genarsi bisa menjadi tulisan-tulisan yang tajam dan kejam. Genrenya bisa beragam. Bisa dalam bentuk esai, karya ilmiah, puisi, cerpen atau bahkan novel. Paling tidak, tulisan-tulisan menjadi inspirasi untuk tidak, misalnya mengorupsi uang pendidikan untuk kepentingannya sendiri. Hal-hal demikian yang dahulu—menginspirasi saya menulis novel Anak-Anak Revolusi yang oleh sebagian orang yang tak kompeten di bidang kesusastraan, disalahpahmi. Tentu saja salah paham, karena mereka tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Segala yang tak menggunakan ilmu pengetahuan, pasti akan tersesat di dalam belantara pikirannya sendiri.

Penjadi penulis—apa pun genrenya—akan mengantarkan siapa saja ke puncak cahaya karena penulis akan terus belajar untuk lebih baik, sedangkan menulis akan terus menyediakan ruang untuk meneliti demi kebaikan dirinya dan juga masyarakat sekitarya.
Lalu, sejak kapan saya bisa menulis—yang paling tidak terpublikasikan? Silakan baca tulisan berikutnya. Jangan lupa, share dan komen jika memang diperlukan. Ditunggu ya gaes!