Sangat memprihatikan, ketika mendapati studi Most Littered Nation In the Word 2016, yang melansir kabar buruk budaya baca bangsa Indonesia diperingkat ke-6o, dari 61 negara yang di survei. Padahal, dilihat dari pembangunan infrastruktur, Indonesia ada diurutan ke-34 (Kompas.com). Artinya, infrastruktur dengan segala fasilitasnya tidak menjadikan masyarakat Indonesia tersadarkan untuk giat membaca, dan segala sesuatu yang terkait dengan aktivitas literasi lainnya.

Kabar buruk tersebut tidak cukup menjadi keprihatinan di forum-forum seminar saja, tetapi dibutuhkan tindakan nyata dari seluruh stakeholder bangsa ini, agar keadaan darurat di ranking buncit segera berpindah ke nomor urut yang menggembirakan, dan bangsa ini tidak menjadi pesakitan dalam ekspos berita, serta incaran lembaga survei yang kian viral dalam hitungan detik. Keterpurukan di atas menjadi tanggungjawab bersama, mulai dari keluarga, sekolah, hingga pemerintah.

Survei-survei buruk tentang segala sesuatu yang terkait dengan budaya literasi harus dijawab dengan semangat perubahan, dan perubahan fundamental bisa dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, hingga lemba-lembaga negara yang berkompeten di dalamnya. Caranya, mendekatkan masyarakat dengan buku-buku, dan segala yang terkait dengan aktivitas literasi.

Dengan demikian, amanat undang-undang nomor 34 tahun 2007 tentang perpustakaan (yang menjadi bagian dari literasi) bisa direalisasikan dengan baik, dan perpustakaan tidak menjadi ruang kosong yang hanya memajang banyak koleksi buku yang berdebu. Solusi agar masyarakat bisa menjadikan perpustakaan sebagai tempat berliterasi, bergantung pada Sumber Daya Manusianya (SDM) dalam mengelola perpustakaan. Jika ada perpustakaan sepi seperti kuburan, maka bisa dipastikan pengelolanya tidak memiliki kemampuan, atau tidak punya skill mumpuni mengelola perpustakaan.

Studi Most Littered Nation In the Word 2016 bisa menjadi motivasi bagi seluruh kegelisahan tentang keterpurukan dunia literasi, termasuk kegelisahan yang menjangkiti masyarakat pedesaan yang selama ini sangat kesulitan menjangkau bahan-bahan literasi yang hanya terpusat di perkotaan. Desa, selama bertahun-tahun adalah keterpurukan dan keterbelakangan. Dikotomi itu bertahun-tahun melekat di masyarakat akar rumput, karena kebijakan yang tidak adil oleh pemerintah.

Sekarang, dikotomi itu terurai dan desa yang terisolir dari banyak hal mulai eksis dengan segala potensi yang dimilikinya. Kebijakan-kebijakan pemerintah cukup menggembirakan, apalagi pemerintah mulai memperioritaskan desa yang selama ini termarjinal setara dengan kemanjuan kota. Kelak, kota dan desa sama saja. Sama-sama berkontribusi untuk kemajuan bangsa dan negara melalui gerakan literasi.

Dana Desa yang digelontorkan oleh pemerintah, cukup menjanjikan untuk membangun Keluarga Literasi dalam wujud Perpustakaan Desa yang representatif dengan segala perlengkapan dan perangkatnya yang mencerdaskan, sehingga Keluarga Literasi melalui Perpustakaan Desa atau Rumah Baca  menjadi budaya yang berkembang secara seimbang. Dan, studi Most Littered Nation In the Word tidak lagi menjadi kabar buruk yang menyudutkan di masa yang akan datang.

Membudayakan Minat Baca-Tulis
Salah satu cara untuk membangun Keluarga Literasi adalah mendirikan Perpustakaan Desa atau Taman Baca di tengah-tengah masyarakat pelosok desa. Masyarakat desa bisa bergandeng tangan, jika misalnya tidak memungkinkan membangun Perpustakaan Desa/Rumah Baca sendiri-sendiri di dalam satuan keluarga, karena memang membangun Perpustakaan Desa/Rumah Baca membutuhkan biaya besar. Biaya-biaya besar disebabkan oleh bahan-bahan bacaan yang masih belum merakyat, kecuali bahan bacaan yang terdiri dari bajakan—yang tentu saja melanggar hukum.

Membangun infrastruktur Perpustakaan Desa/Rumah Baca di desa-desa sangatlah murah. Masyarakat desa cukup mendirikan Perpustakaan Desa/Rumah Baca yang familiar dengan kehidupan desa, misalnya menggunakan bambu yang banyak dijumpai di desa-desa yang bersangkutan, atau rotan yang dianyam dengan apik, atau bahan-bahan lain yang tersedia di desa yang bersangkutan.

Perpustakaan Desa/Rumah Baca diharapkan menjadi solusi bangkitnya literasi di seluruh pelosok desa, hingga akhirnya menjadi ikon keberhasilan Keluarga Literasi yang berdaya guna bagi sesama. Jika Keluarga Literasi berhasil membangun kesadaran masyarakat pelosok desa dalam berliterasi, maka Perpustakaan Desa/Rumah Baca yang dibangun dengan susah payah tidaklah sia-sia. Bahkan, agenda utama negara “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa” akan sangat terbantu.

Aktivitas literasi yang tidak hanya terbatas pada baca-tulis dapat dikembangkan, misalnya melalui pelatihan kerajinan tangan, berkesenian, atau skill lain yang bisa menupang kesejahteraan keluarga dan masyarakat, serta bangsa dan negara yang terus berbenah. Pendeknya, bermanfaat bagi orang lain.

Budaya literasi terbangun melalui minat baca, dan rekonstruksi pikiran-pikiran yang dihasilkan dari minat baca bisa juga dituangkan lewat karya tulis dengan segala genrenya, termasuk membaca yang bisa menggali potensi-potensi terpendam yang selama ini mengendap dan tidak mendapatkan ruang ekspresi yang tepat dalam diri mereka.

Manfaat baca-tulis yang potensial akan menemukan ruang ekspresinya yang tepat, dan bisa menjadi motivasi bagi masyarakat desa untuk terus mencintai dunia literasi—yang pada akhirnya akan menjadi budaya yang mencerahkan bagi kehidupan masyarakat desa—yang selama ini masih jumud untuk berkembang. Perkembangan literasi desa yang jumud tentunya tidak akan menyaingi budaya literasi yang sudah lebih dahulu berkembang di perkotaan. Itulah sebabnya, Membangun Keluarga Literasi Melalui Perpustakaan Desa bisa menjadi bagian solusi untuk bersaing dengan kemajuan literasi di perkotaan.

Literasi secara umum tidak hanya berkutat dalam hal baca-tulis, tetapi keberlanjutan dari hasil baca-tulis (sebagaimana disinggung di atas) juga menjadi bagian literasi, seperti keterampilan yang didapat dari buku-buku dan jurnal. Namun, keterampilan-keterampilan itu sulit muncul tanpa melalui aktivitas membaca. Maka, aktivitas membaca menjadi penting untuk diberdayakan lebih awal dengan menjadikan bahan bacaan sebagai referensi dari segala kegiatan yang dilakukan oleh Keluarga Literasi Melalui Perpustakaan Desa.

Saat ini, studi Most Littered Nation In the Word 2016 tidak bisa dipercaya begitu saja kebenarannya, ketika melakukan survei minat baca, karena studi Most Littered Nation In the Word 2016 tidak jelas responden yang disurveinya. Siapa mereka yang disurvei dan apa indikatornya?

Jika indikator semangat bacanya didasarkan pada keterbacaan buku-buku cetak, barangkali itu masuk akal. Namun, jika indikator membaca masyarakat di dasarkan pada media sosial, maka kemungkinan besar studi Most Littered Nation In the Word 2016 tidak benar, karena saat ini masyarakat mulai melek baca. Masyarakat melalui perangkat ponselnya sudah sering membaca informasi dan ilmu pengetahuan, termasuk membaca ebok-ebok yang bertebaran secara gratis di media sosial.

Namun, studi Most Littered Nation In the Word 2016 hendaknya menjadikan kita tidak lalai dan inferior. Mengingat, indikator lain dari minat baca masyarakat kita tidak menunjukkan ke arah yang paling buncit sebagaimana disebutkan di atas tadi. Minat baca masyarakat lumayan membaik, meski terkadang tertipu oleh hoax. Hoax tentu saja menjadi bagian kelemahan masyarakat yang tidak literer. Apabila ingin terhindar dari hoax, maka kemampuan literasi masyarakat (masyarakat di pelosok desa) harus diasah dan terus dikembangkan, hingga akhirnya menjadi budaya yang kuat dan tak gampang terkecoh.

Membangun Keluarga Literasi
Terminologi literasi berpengertian sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan tradisi tulis-menulis, termasuk di dalamnya aktivitas membaca, buku-buku referensi, atau hal-hal lain yang didapatkan/ditemukan dari buku, termasuk ebok.

Membangun keluarga literasi tidaklah mudah. Perlu keterlibatan banyak pihak, seperti institusi pendidikan, pemerintah, politisi, ahli agama, relawan, dan siapa saja yang punya kesadaran lebih awal tentang kebermanfaatan literasi. Kegelapan dunia literasi adalah tanggungjawab bersama, terutama bagi yang disebutkan di atas.

Ahli agama misalnya, bisa menyampaikan pesan-pesan agama sebagaimana yang termaktub dalam kita suci al-Quran, seperti surat al-‘Alaq ayat 1-5 atau dalam surat al-Kahfi ayat 109-110. Barangkali pula, cerita Nabi Muhammad saat pertama kali menerima wahyu perlu dikisahkan secara sungguh-sungguh hingga melahirkan kesadaran berliterasi.

Institusi pendidikan misalnya, perlu melakukan rekonstruksi kesadaran berliterasi dari yang selama ini kurang gereget menjadi lebih gereget lagi, atau dari pihak pemerintah misalnya, dari yang tadinya hanya mengeluarkan kebijakan literasi yang datar-datar saja lalu pindah pada kebijakan yang makin jelas tentang keberpihakannya kepada dunia literasi.

Demikian juga seharusnya yang dilakukan oleh politisi, relawan, atau siapa saja yang kesadaran berliterasinya sudah mendapat hidayah terlebih dahulu. Kesadaran berliterasi adalah bagian dari hidayah yang maha penting, karena aktivitas literasi tak bisa dipisahkan dari kehadiran ilmu pengetahuan yang selama ini banyak didapatkan melalui buku-buku yang dijadikan literator kaum intelektual.

Berbagi Peran Melalui Keluarga Literasi
Membangun Perpustakaan Desa/Rumah Baca di pelosok desa—sebagaimana dijelaskan sepintas di atas—, perlu melibatkan peran Keluarga Literasi yang sejak awal sudah satu visi. Artinya, masing-masing keluarga rumah tangga dapat menyediakan segala sesuatu yang berkaitan dengan bangkitnya budaya literasi. Jika tidak mampu, maka masing-masing keluarga perlu berbagi peran, sehingga menjadi satu kekuatan yang bisa menciptkan Keluarga Literasi yang dinamis, dan perpustakaan desa/rumah baca desa tetap eksis selama-lamanya.

Satu Keluarga Literasi bisa berperan menyediakan rak buku. Satu keluarga lagi bisa menyediakan tempat baca. Satu keluarga yang lain bisa menjadi atau menyediakan tutor. Satu keluarga berikutnya bisa memobilisasi masyarakat untuk membaca. Satu keluarga yang lain bisa menyediakan hal-hal lain yang berkait dengan kegiatan berliterasi.

Pendeknya, masyarakat saling bahu-membahu untuk berkontribusi membangun keluarga literasi. Istilah agamanya, fastabiqul khairaat, berkompetsi dalam memperbanyak kebaikan, hingga melahirkan masyarakat desa yang berprestasi dan mampu bersaing dengan masyarakat kota yang selangkah sudah lebih maju. Tentu saja, kita berharap Indonesia mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Peran masing-masing keluarga sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat di pedesaan sangat penting, sehingga ketika membangun Perpustakaan Desa/Rumah Baca di lingkungan desanya sendiri tidak perlu menunggu uluran tangan dari pemerintah, atau donatur dari orang luar desanya. Namun, peran-peran di atas tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mendapatkannya. Sebab, masyarakat desa yang pendidikannya terbelakang dan kesadarannya terhadap literasi masih asing, akan menjadi kendala tersendiri.

Solusinya, perlu tahapan-tahapan khusus yang brillian. Setidaknya, bisa menjadi bahan diskusi di lingkungan desa yang bersangkutan, seraya terus berupaya membangun kesadaran tentang pentingnya budaya literasi untuk masa depan anak-anak mereka sendiri. Di sinilah, peran keluarga dan masyarakat menemukan momentum prosesnya, karena memang tidak ada sesuatu yang instan di muka bumi ini.

Proses pertama, bisa sekadar diskusi antar orang yang sevisi, dan diskusi bisa dilakukan setiap hari sambil terus mengumpulkan orang-orang yang punya pikiran sama. Menyatukan visi bisa dilakukan dengan cepat. Bisa sehari, seminggu, bahkan bisa berbulan-bulan. Tergantung kesungguhan seluruh stakeholders untuk menciptakan kesadaran baru yang maha berat itu.

Proses kedua, bisa berbagi peran antar orang-orang yang sudah satu visi dalam membangun keluarga literasi, sehingga tidak memberatkan. Berbagi peran bisa disesuaikan dengan kemampuan masyarakat desa yang bersangkutan, dan tidak perlu dipaksakan agar tidak memunculkan masalah lain yang menghambat rencana semula.

Keluarga Literasi yang dibangun secara swadaya diharapkan menjadi tempat berliterasi bagi seluruh masyarakat desa setempat—yang tidak hanya membaca dan menulis—, tetapi bisa menjadi tempat mengembangkan potensi keterampilan, berkesenian, dan meningkatkan perekonomian masyarakat desa. Alhasil, ending Keluarga Literasi menjadi jelas manfaatnya bagi kemajuan bangsa dan negera ini.  



Sumenep, 22 April 2019


#SahabatKeluarga
#LiterasaKeluarga