Salah
satu peninggalan leluhur yang terus dilestarikan hingga hari ini adalah
kerajinan keris. Keris adalah pusaka atau senjata nenek moyang nusantara—yang
belakangan dibid’ah dan diharamkan oleh sekelompok orang yang sok paling
beragama—yang oleh UNESCO keris ditetapkan sebagai salah satu warisan
dunia yang layak dijaga dan dirawat. Salah satu cara untuk
merawatnya adalah dengan tetap memproduksinya, baik keris sebagai seni maupun
keris sebagai benda pusaka yang bertuah serupa kerisnya Empu Gandring,
misalnya.
Salah
satu tempat yang hingga hari ini memproduksi keris adalah Desa Aeng Tongtong
Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep Madura Jawa Timur. Hampir semua penduduk Desa
Aeng Tongtong menjadi empu yang mumpuni dalam membuat keris, meski keris-keris
yang dibikin tidak menyamai proses pembuatannya Empu Gandring, karena memang
keris yang dibuat saat ini lebih dominan nilai seninya. Keris bagi masyarakat
Aeng Tongtong, juga sebagai mata pencaharian, sehingga tidak jarang ada yang
kaya raya lewat kreasi membuat keris.
Banyak
kolektor pusaka keris yang memborong keris buatan para Empu Aeng Tongtong,
bahkan menurut pengakuan beberapa penduduk, seorang politisi dari Jakarta
memesan kujang yang bentuknya sangat besar, dan tentu saja harganya sangat
mahal. Tidak hanya politisi Jakarta, kolektor pusaka dari manca negara juga
banyak yang memborongnya.
Sumenep
patut bersyukur, karena punya Desa Aeng Tongtong yang telah mengantarkan nama
kotanya menjadi terkenal hingga ke manca negara. Bahkan, Kota Sumenep menyebut
dirinya sebagai Kota Keris, dan Aeng Tontong dijadikan sebagai wisata relegius
untuk mendukung program “Visit Sumenep 2018”.
Sayangnya,
Desa Aeng Tongtong yang hendak dijadikan tempat wisata religius oleh
pemerintah, tidak didukung oleh infrastruktur yang mendukung religiusitas yang
dimaksud? Desa Aeng Tongtong menunjukkan realita lain, yaitu belum terpenuhinya
ruang representatif sebagai sentra keris terbesar di dunia. Tampilan Desa Aeng
Tontong tak ubahnya seperti desa-desa lain yang “tidak menyumbangkan” prestasi sama
sekali.
Pemerintah
Kabupaten Sumenep, harusnya memberikan perhatian lebih kepada Desa Aeng
Tongtong, karena telah ikut serta mengangkat harkat dan martabat Sumenep hingga
ke level Internasional. Paling tidak, jalan-jalan di Desa Aeng Tongtong
aspalnya bertahan lama dan tidak mudah rusak dalam hitungan minggu, atau
Pemerintah Kabupaten membuatkan gedung besar hingga menjadi mercusuar peradaban
baru yang bisa dibanggakan oleh genarasi berikutnya.
Jadi,
percuma saja Desa Aeng Tongtong yang terkenal ke suluruh manca negara,
jalan-jalannya rusak dan tidak merepresentasikan Visit Sumenep 2018 yang
dibanggakan oleh para pemimpinnya. Perlu dipikirkan kembali oleh siapa pun yang
punya tanggung jawab moral, agar desa-desa yang berprestasi direnovasi menjadi
lebih baik dari desa-desa lain.
Harapannya,
desa-desa lain yang tak punya prestasi bisa berlomba-lomba untuk memajukan
desanya. Dengan demikian, Desa Aeng Tongtong bisa menjadi cikal-bakal kemajuan
Sumenep di masa yang akan datang, kecuali para pengambil kebijakan tidak respek
dan hanya “mengambil untung” dari desa-desa yang kreatif dan berkembang.
Diakui
atau tidak, prestasi Desa Aeng Tongtong tidak dibiayai oleh pemerintah
Kabupaten. Para penduduknya berkreasi sendiri. Maka, jika tiba-tiba prestasi
Desa Aeng Tongtong diklaim sepihak tanpa ada kontribusi balik dari pihak pemerintah
kabupaten, kan sungguh TERLALU!
Di
harapkan, pihak Kabupaten Sumenep mau mengerti apa yang dikehendaki penduduk Desa
Aeng Tongtong, sehingga Desa Aeng Tongtong sebagai sentra keris terbesar di
dunia, tampil mengagumkan dan sesuai dengan gembar-gembor yang berkembang di
luar sana. Hasilnya, wisatawan tidak kecewa saat bertandang.
Desa Aeng Tontong dengan
ratusan Empunya patut mendapat penghargaan yang setimpal, agar lebih
bersemangat dalam berkreasi. Bentuk penghargaannya bisa
berupa terbangunnya infrastruktur yang sesuai dengan budaya
masyarakat Aeng Tongtong, atau paling tidak, tak ada jalan-jalan rusak,
sehingga Desa Aeng Tongtong layak menjadi pusat keris dunia.
Tidak
banyak kerajinan masyarakat suatu desa yang tembus dunia, maka oleh karenanya, melestarikan
sesuatu yang ada di desa Aeng Tongtong saat ini sangatlah urgen dalam
perspketif budaya, bukan dalam perspektif orang-orang yang sok paling beragama
dan mengharamkannya.
Semoga
pemerintah kabupaten, provinsi dan pemerintah pusat tidak lalai menjaga warisan
budaya bangsa Indonesia yang kian banyak diakui oleh masyarakat dunia sebagai
suatu kearifan. Tentu saja, masyarakat Aeng Tongtong lebih proaktif untuk
memberdayakannya. Setidaknya, regenerasi terus berlangsung dan menjadi tradisi
turun-temurun.
Bagi Anda yang hendak mengoleksi
karya Empu Aeng Tongtong bisa langsung datang ke tempat, atau bisa melalui
chating ke nomor 08133422203. Semoga kita tetap bisa menjaga warisan luhur
nenek moyang kita.
Sumenep,
09 Mei 2019
Penulis:
Nun Urnoto El Banbary
Editor:
Qurratul Aini
0 Comments