Satu
kehormatan diundang pada acara Pekan Ngaji 2 di Pondok Pesantren Bata-Bata (5/2/2017),
untuk membedah novel Anak-Anak Pangaro yang saya tulis sendiri dan diterbitkan
oleh PT. Tiga Serangkai Solo Semarang. Novel Anak-Anak Pangaro yang sebelumnya
telah dibedah di berbagai tempat, terus mengepakkan sayapnya, seolah hendak
mengabarkan kepada jiwa jiwa pembelajar untuk membacanya hingga tuntas.
Novel
Anak-Anak Pangaro tidak hanya mendapat apresiasi untuk dibedah, tetapi juga
mendapat apresiasi pujian dan bahkan dijadikan bahan penelitian
oleh kaum intelektual di kampus-kampus terkemuka. Hal itu menunjukkan
novel Anak-Anak Pangaro menyimpan sesuatu yang unik bagi pembacanya. Meski
sekadar juara harapan di MetaMind Tiga Serangkai dan sempat menjadi nominasi enam
besar pada lomba Tulis Nusantara, Anak-Anak Pangaro mendapat tempat tersendiri
di hati pembacanya.
Saya
tidak sedang berpromosi, tapi hanya menyampaikan apa adanya tanpa bermaksud melebih-lebihkan.
Seumpama dianggap berlebihan, itu Anda sendiri yang berpikir berlebihan. Saya,
pikir Anda belum membacanya bukan? Maka segeralah membaca agar bisa tahu nilai
karomahnya. Kwkwkwk.
Kembali
pada pekan ngaji. Baliho besar yang terpampang di halaman pesantren, terdapat
foto saya yang ganteng dan penuh pesona. Berjejer dengan orang-orang besar dari
dalam dan luar negeri, dan membuat istri saya kian terkesima. Hihi. Siapa istri
yang tak terkesima dengan suami yang mendapat tempat bersama orang-orang
terhormat. Anda, mungkin menganggapnya biasa-biasa saja, karena Anda memang
tidak sedang luar biasa. Sekali lagi, tidak sedang luar biasa. kwkwk. Guyon oi.
Bagaimana
cara Anda bisa menjadi luar biasa? Anda harus mengkhatamkan novel saya dalam
waktu lima menit. Itu saja, untuk menjadikan Anda luar biasa. Asem,kwkwk.
Pesantren
besar di tanah Madura itu disesaki oleh ribuan santri dengan latar belakang
berbeda dan keinginan yang tidak sama, tapi mereka rata-rata menyukai sastra.
Bukankah novel adalah karya sastra, dan penulisnya bisa disebut sastrawan?
Namun, saya tak sudi disebut sastrawan. Saya lebih suka disebut PELAMUN. Pelamun lebih merdeka, lebih
bebas berkelana ke ruang-ruang terlarang yang tak banyak disinggahi orang alim,
atau orang-orang kebanyakan yang takut melamun.
Sebenarnya,
bedah novel lebih pada mempromosikan karya. Lebih banyak mengupas positifnya
daripada negatifnya. Sebelum dibedah, seharusnya peserta sudah khatam
membacanya. Jika tidak, maka bedah buku menjadi tidak seru dan yang pasti
bahasa promosinya lebih mendominasi, apalagi tidak ada pembandingnya. Maka,
forum akan menjadi mati. Kritik dan apresiasi tidak berfungsi sama sekali.
Itulah kesalahan besar dalam banyak bedah buku yang luput dari perhatian para
penyelenggara, termasuk pada pekan ngaji itu.
Undangan
menjadi narasumber di Pekan Ngaji 2 di Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata bisa
menjadi sesuatu yang luar biasa, bagi orang kecil macam saya. Dan, bisa menjadi
biasa-biasa saja bagi orang-orang besar yang sudah biasa. Berbeda lagi dengan
orang-orang yang sok besar, dan tidak mengerti tentang apresiasi, atau berbeda
pula dengan orang yang sedang iri hati dengan prestasi.
Pernah
sekali, saya dituduh sedang pamer dan menyombongkan diri ketika di share di
grup-grup WA, FB, atau Instragram. Seolah saya sedang congkak. Padahal, saya
dengan melakukan kampanye besar-besaran agar budaya literasi menjadi satu
aktivitas primer yang mencerdaskan.
Bukankah
aktivitas literasi sedang mati di lingkungan Anda? Anda meski seorang guru atau
dosen, belum tentu rajin membaca apalagi punya karya tulis, kan? Nah, itu jelas
masalah besar yang harus Anda selesaikan sendiri. Bukan malah suka menuduh jiwa
lain yang sedang merampungkan pekerjaannya.
Bedah
novel Anak-Anak Pangaro selesai menjelang matahari tenggelam, dan saya pulang saat
sudah petang. Petang yang menantang jalan. Membuat momen itu layak saya kenang
untuk saya wariskan kepada anak-anak saya sebagai motivasi perjuangan
mengampanyekan ajaran-ajaran Tuhan. Baca-Tulis harus didakwahkan, agar masyarakat
punya pegangan dan tak sesat jalan.
Berapa
saya dibayar, itu tak jadi soal, karena saya tidak sedang berjualan. Menjual
pengetahuan adalah bentuk kekurang ajaran, dan hal itu bertentangan dengan
prinsip-prinsip dakwah yang diajarkan oleh agama saya. Apakah Anda sudah
mengetahuinya? Jika belum silakan bertanya, atau belajar lebih keras lagi agar
tidak menimbulkan anomali-anomali dalam hidup Anda yang sebentar saja.
Sekian
saja, semoga Anda bisa diundang forum-forum terhormat, bukan forum-forum yang
membuat Anda teler mencekik botol. Mari berprestasi. Bukankah surga tempatnya
orang-orang berprestasi. Dan, saya tidak sedang merasa berprestasi. Saya sedang
memotivasi. Itu pun jika pikiran Anda tidak ditumbuhi pikiran dengki.hihi
Bedah
buku sebagai bagian dari literasi merupakan upaya untuk menyiapkan masa depan
yang lebih baik, agar bumi tidak dipenuhi banyak ketimpangan sosial yang
berakibat pada keributan yang meruwetkan isi bumi. Kira-kira seperti itu, yang
dikehendaki ruang bedah buku pada momen Pekan Ngaji 2 yang diadakan oleh Pondok
Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan Madura.
Blogger,
Nun Urnoto El Banbary
Baru
sempat didokumentasikan.
0 Comments