Gus Muwafiq yang kondang di seantero jagat Nusantra, dan cermah-cermahnya menyejukkan isi kepala dan isi dada, hadir ke Pondok Pesantren Annuqayah (23/4/2019) dalam rangka penutupan haflatul imtihan. Dai Milenial yang pernah di daulat menjadi penceramah di istana negara itu, tampil memukau dan membuat jemaahnya terksima.

Gus Muwafiq menyampai tema besar tentang Santri Nusantara dengan segala kekayaan lokalitasnya, yaitu kekayaan yang tak dimiliki oleh negeri-negeri lain di belahan dunia. Baik mulai dari kekayaan alamnya, hingga kekayaan budayanya yang katanya hingga saat ini mampu menjaga keutuhan bangsa dan negara, meski belakangan banyak bermunculan santri-santri Google yang tidak mengakui kekayaan budaya bangsanya sendiri.

Ceramah-ceramahnya, baik yang saya saksikan di youtube atau di mimbar-mimbar pengajian lainnya, memberikan kesejukan, sehingga Gus Muwafiq menjadi idola banyak generasi, mulai dari generasi old hingga generasi millinneal. Gus Muwafiq tampil kepermukaan ketika orang-orang yang mengaku ustaz bermunculan dengan cermah-ceramahnya yang menyesatkan dan membakar emosi, serta menebarkan kebencian atas nama agama.

Ceramah-ceramahnya, menjawab semua ketersesatan yang mereka tebarkan dengan pendekatan hikmah, tanpa memaki dan memisuhi ustaz-ustaz yang sudah terlanjur menciptakan keonaran. Maka, berdasar itu semua, Gus Muwafiq layak dijuluki sebagai Sang Juru Damai.

Juru damai adalah tabiat positif yang melekat kepada semua para nabi, para rasul, para wali, para ulama, dan orang-orang salih yang mendapat hidayah dari Tuhan yang Maha Pemberi Keselamatan. Ucapannya menyejukkan dan tak melukuai. Tidak pula menyisakan dendam, dan angkara murka. Bahkan tuturnya menjadi rujukan sepanjang masa.

Jika ada penceramah, atau yang mengaku paling beragama, baik pengakuan itu secara lisan atau perbuatan, tetapi tabiatnya bertentangan dengan akhlak para nabi, para rasul, para ulama dan orang-orang saleh, maka mereka adalah iblis dan bala tentaranya yang menjadikan agama sebagai kedok untuk merusak kedamaian. “Tak ada agama” bagi mereka yang sengaja menanamkan kerusakan, kebencian, dan permusuhan, apalagi yang membantai nyawa-nyawa. Dan, mereka harus dilawan. Bentuk perlawanannya tetap menggunakan metode ahlussunnah waljamaah ala Nahdhatil Ulama sebagaimana dicontohkan oleh Gus Muwafiq, Gus Mus, Gus, Miftah, Cak Nun, dan yang lainnya.

Setiap dai atau penceramah memang berbeda metode, meskipun demikian bukan berarti seenaknya sambil memaki-maki yang berbeda. Agama tetap melarang siapa pun untuk memisuhi dan mengumpati. Siapakah Rasul yang suka mengumpat seenak perutnya? Tentu saja tak ada, karena memaki bukan mendamaikan umat, tetapi hanya membuat kisruh keadaan yang damai.

Kiai Muafiq yang notabene jebolan pesantren dan lahir dari rahim NU, adalah penceramah yang mendamaikan dan layak untuk kita undang pada acara-acara pengajian dan semacamnya. Di negeri yang damai ini, tegakah kita menciptakan kegaduhan dan kegelisahan dengan mendatangkan tukang caci maki? Tentu saja tidak, karena kita punya hati dan perasaan, juga punya ajaran agama yang Maha Agung sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah Muhammad saw.

Jika Anda ingin jadi penceramah yang mencerahkan, maka contohlah Gus Muwafik dan ulama-ulama NU lainnya. Mereka lembut, tetapi bukan berarti lemah. Mereka adalah lautan ilmu yang tak beriak. Mereka tenang dan mendamaikan. Lihat wajahnya saja sudah serasa ada di surga. Coba lihat yang sarkas dan suka teriak-teriak dengan menggunakan nama Tuhan, pasti menggelisahkan.

Agama tidak membawa keributan, tetapi agama membawa kedamaian, karena agama adalah sebagai rahmah bagi semista alam. Mari beragama yang sehat dan menyejukkan. Jaga agama, jangan sampai dijadikan tunggangan politik bagi mereka yang haus kekuasaan. Sungguh, dosanya teramat besar, karena kesucian agama telah disekutukan dengan kekotaran politik orang-orang yang ambisius.

Penulis: Nun Urnoto El Banbary
Editor: Qurratul Aini