Korban hoax berjatuhan, bahkan calon Presiden Prabowo Subianto sempat menjadi korban hoax Ratna Sarumpaet yang menyebarkan muka bonyoknya, hingga nasib Ratna berujung di jeruji besi. Tidak hanya Prabowo, Jokowi juga menjadi bulan-bulanan nitizen yang pikirannya sudah terkontaminasi berita bohong berupa tuduhan PKI terhadap diri dan keluarganya.

Saking samarnya, hoax tidak hanya menimpa kaum awam saja, tetapi kaum intelektual pun menjadi tumbalnya. Hoax terus bertebaran, dan memakan korban-korban berikutnya yang kurang hati-hati dengan informasi yang akurasi datanya terkadang membingungkan.

Dok. kabarnun.com
Hoax dibuat tidak lain untuk menyebarkan kebohongan, agar tercapai tujuan yang dikehendaki oleh si penyebar, tanpa peduli dengan efek yang ditimbulkannya. Misalnya, Indonesia akan punah pada 2030 tanpa menyajikan data-data ilmiah yang tak terbantahkan. Akibatnya, orang-orang resah memikirkan kepunahan, lalu memicu pikiran-pikiran negatif semisal ketakutan yang akut.

Ruang gerak hoax sangat masif dan  mengancam pikiran-pikiran kosong yang tanpa pengetahuan, terutama di dunia maya yang pergerakannya hingga ke ruang-ruang yang paling privasi, dan itu sangat mengerikan.

Satu-satunya jalan untuk mencegahnya adalah dengan melawannya. Caranya, bisa beragam. Tergantung kadar pengetahuan masing-masing dari kita. Intinya, kita wajib melawan meski bumi bergoncang dan langit runtuh, minimal pikiran diri sendiri tidak terpengaruh apalagi ikut serta menyebarkannya ke ruang publik.

Jika kita menggunakan pendekatan agama, maka cukuplah tabayun, atau klarifikasi kepada yang bersangkutan. Jika tidak memungkinkan—misalnya karena sumbernya tak terjangkau—, maka dapat dilakukan dengan cara klarifikasi melalui orang-orang terpercaya, media terpercaya, dan atau lebih baik diam saja. Dalam hal ini, agama harus turun tangan menghadapi persoalan hoax, karena menyangkut kedamaian dan hajat orang banyak yang berpotensi menimbulkan konflik cukup parah dalam kehidupan manusia. Itulah sebabnya, agama mengajarkan tabayun, bukan diam sambil terus menunggu perkembangan opini yang kian carut-marut.

Sukses dan tidaknya pemilu kali ini, bisa tergantung seberapa besar pengaruh hoax terhadap pikiran rakyat yang ikut serta merayakan pesta demokrasi paling bergengsi yang diadakan setiap lima tahun sekali ini. Sukses yang dikehendaki, tentu tidak timbulnya chaos selama pemilu berlangsung, sehingga negeri ini damai dan tidak buang-buang energi yang cukup besar.
Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa hoax menjadi bagian strategi kotor untuk memenangkan ambisi kekuasaan, bahkan mereka yang melakukan anomali-anomali melalui hoax, kerap kali menjadi kalap dan melupakan konsekwensi yang berpotensi buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah yang disayangkan dari kampanye-kampanye yang hanya bertujuan untuk berkuasa.

Hoax tidak saja merambah dunia maya, tetapi juga dunia nyata melalui mimbar-mimbar masjid yang kerap kali dijadikan agitasi untuk meraup suara pemilihnya. Pendidikan kampanye yang baik, tanpa kekerasan verbal nyaris tidak didapatkan.

Perlu kerja keras untuk mewujudkan pemilu yang tanpa hoax dari seluruh stakeholder, mulai dari rumah tangga, sekolah, hingga ke forum-forum informal semisal saat ngopi bareng di kedai. Selain bentuk tabayun sebagaimana dijelaskan di atas, kita perlu reaktif atas hoax yang terus simpang siur memenuhi ruang kerja kita, misalnya dengan cara masuk ke sekolah-sekolah untuk mengedukasi guru dan muridnya, atau membuat panflet dan dibagikan kepada orang-orang yang lewat, atau bikin tagar anti hoax, dan semacamnya.

Katakan kepada mereka, bahwa hoax lebih berbahaya dari narkoba. Narkoba hanya mencelakai diri sendiri, tetapi hoax bisa membubarkan negara. Pencerahan bisa melalui instrumen media sosial apa saja, yang penting usaha terus berjalan dan tidak stagnan. Anggap saja melawan hoax adalah bagian jihad akbar yang wajib dilakukan bagi setiap anak bangsa yang punya komitmen cinta tanah air, dan menghendaki damai tetap abadi di negeri ini.

Hoax masuk kategori alfitnatu assaddhu minal qotli, fitnah lebih kejam dari pembunuhan dan itulah kejahatan hoax yang hukum dosanya sama dengan fitnah, karena sejatinya hoax adalah fitnah. Orang-orang beragama tentunya tidak akan melakukan itu kecuali menganggap hoax sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja dan tidak memiliki resiko, atau mereka tidak mempercayai dosa hoax dan sebarannya.

Negeri ini akan langgeng, jika kita kembali ke dalam satu kesadaran bahwa kita sedang membangun bangsa dan negara, bukan untuk meruntuhkannya, dan hoax termasuk salah satu penyumbang keruntuhan yang sangat besar bagi republik ini, meski hingga hari ini tidak terlalu dirasakan, namun lambat-laun akan sangat terasa akibatnya, terutama soal disentegrasi antar dua pendukung yang belakangan cukup mengkhawatirkan.

Mari lawan hoax bersama-sama, agar negeri ini bersih dari pikiran-pikiran kotor yang mengancam keharmonisan masa depan negara dan bangsa. Jangan ada lagi berita-berita yang tidak jelas disebar luaskan, apalagi sampai di “goreng” hingga gosong.

Martabat bangsa ini ada di tangan kita semua, yaitu generasi melenial yang akan menyambut masa depan yang penuh dengan berita simpang-siur. Jangan ada lagi tumbal hoax yang mempermalukan diri sendiri dan muruah bangsa ini.


Sumenep, 23 Maret 2019.


Penulis, Nun Urnoto El Banbary
Penggerak Literasi
Rumah Baca Anak-Anak Pangaro.
Dusun Gendis RT. 09/RW.03 Aaeng Tongtong
Saronggi  Sumenep Madura 69467