Korban hoax berjatuhan, bahkan calon
Presiden Prabowo Subianto sempat menjadi korban hoax Ratna Sarumpaet yang
menyebarkan muka bonyoknya, hingga nasib Ratna berujung di jeruji besi. Tidak
hanya Prabowo, Jokowi juga menjadi bulan-bulanan nitizen yang pikirannya sudah
terkontaminasi berita bohong berupa tuduhan PKI terhadap diri dan keluarganya.
Saking samarnya, hoax tidak hanya
menimpa kaum awam saja, tetapi kaum intelektual pun menjadi tumbalnya. Hoax
terus bertebaran, dan memakan korban-korban berikutnya yang kurang hati-hati
dengan informasi yang akurasi datanya terkadang membingungkan.
Dok. kabarnun.com |
Ruang gerak hoax sangat masif dan mengancam pikiran-pikiran kosong yang tanpa
pengetahuan, terutama di dunia maya yang pergerakannya hingga ke ruang-ruang yang
paling privasi, dan itu sangat mengerikan.
Satu-satunya jalan untuk mencegahnya
adalah dengan melawannya. Caranya, bisa beragam. Tergantung kadar pengetahuan
masing-masing dari kita. Intinya, kita wajib melawan meski bumi bergoncang dan
langit runtuh, minimal pikiran diri sendiri tidak terpengaruh apalagi ikut
serta menyebarkannya ke ruang publik.
Jika kita menggunakan pendekatan agama,
maka cukuplah tabayun, atau klarifikasi kepada yang bersangkutan. Jika tidak
memungkinkan—misalnya karena sumbernya tak terjangkau—, maka dapat dilakukan
dengan cara klarifikasi melalui orang-orang terpercaya, media terpercaya, dan
atau lebih baik diam saja. Dalam hal ini, agama harus turun tangan menghadapi
persoalan hoax, karena menyangkut kedamaian dan hajat orang banyak yang
berpotensi menimbulkan konflik cukup parah dalam kehidupan manusia. Itulah
sebabnya, agama mengajarkan tabayun, bukan diam sambil terus menunggu
perkembangan opini yang kian carut-marut.
Sukses dan tidaknya pemilu kali ini, bisa
tergantung seberapa besar pengaruh hoax terhadap pikiran rakyat yang ikut serta
merayakan pesta demokrasi paling bergengsi yang diadakan setiap lima tahun
sekali ini. Sukses yang dikehendaki, tentu tidak timbulnya chaos selama pemilu
berlangsung, sehingga negeri ini damai dan tidak buang-buang energi yang cukup
besar.
Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa
hoax menjadi bagian strategi kotor untuk memenangkan ambisi kekuasaan, bahkan
mereka yang melakukan anomali-anomali melalui hoax, kerap kali menjadi kalap
dan melupakan konsekwensi yang berpotensi buruk bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Itulah yang disayangkan dari kampanye-kampanye yang hanya bertujuan
untuk berkuasa.
Hoax tidak saja merambah dunia maya,
tetapi juga dunia nyata melalui mimbar-mimbar masjid yang kerap kali dijadikan
agitasi untuk meraup suara pemilihnya. Pendidikan kampanye yang baik, tanpa
kekerasan verbal nyaris tidak didapatkan.
Perlu kerja keras untuk mewujudkan
pemilu yang tanpa hoax dari seluruh stakeholder,
mulai dari rumah tangga, sekolah, hingga ke forum-forum informal semisal saat
ngopi bareng di kedai. Selain bentuk tabayun sebagaimana dijelaskan di atas,
kita perlu reaktif atas hoax yang terus simpang siur memenuhi ruang kerja kita,
misalnya dengan cara masuk ke sekolah-sekolah untuk mengedukasi guru dan
muridnya, atau membuat panflet dan dibagikan kepada orang-orang yang lewat,
atau bikin tagar anti hoax, dan semacamnya.
Katakan kepada mereka, bahwa hoax lebih
berbahaya dari narkoba. Narkoba hanya mencelakai diri sendiri, tetapi hoax bisa
membubarkan negara. Pencerahan bisa melalui instrumen media sosial apa saja,
yang penting usaha terus berjalan dan tidak stagnan. Anggap saja melawan hoax
adalah bagian jihad akbar yang wajib dilakukan bagi setiap anak bangsa yang
punya komitmen cinta tanah air, dan menghendaki damai tetap abadi di negeri
ini.
Hoax masuk kategori alfitnatu assaddhu minal qotli, fitnah
lebih kejam dari pembunuhan dan itulah kejahatan hoax yang hukum dosanya sama
dengan fitnah, karena sejatinya hoax adalah fitnah. Orang-orang beragama
tentunya tidak akan melakukan itu kecuali menganggap hoax sebagai sesuatu yang
biasa-biasa saja dan tidak memiliki resiko, atau mereka tidak mempercayai dosa
hoax dan sebarannya.
Negeri ini akan langgeng, jika kita
kembali ke dalam satu kesadaran bahwa kita sedang membangun bangsa dan negara,
bukan untuk meruntuhkannya, dan hoax termasuk salah satu penyumbang keruntuhan
yang sangat besar bagi republik ini, meski hingga hari ini tidak terlalu
dirasakan, namun lambat-laun akan sangat terasa akibatnya, terutama soal
disentegrasi antar dua pendukung yang belakangan cukup mengkhawatirkan.
Mari lawan hoax bersama-sama, agar
negeri ini bersih dari pikiran-pikiran kotor yang mengancam keharmonisan masa
depan negara dan bangsa. Jangan ada lagi berita-berita yang tidak jelas disebar
luaskan, apalagi sampai di “goreng” hingga gosong.
Martabat bangsa ini ada di tangan kita
semua, yaitu generasi melenial yang akan menyambut masa depan yang penuh dengan
berita simpang-siur. Jangan ada lagi tumbal hoax yang mempermalukan diri
sendiri dan muruah bangsa ini.
Sumenep, 23 Maret 2019.
Penulis, Nun Urnoto El Banbary
Penggerak
Literasi
Rumah
Baca Anak-Anak Pangaro.
Dusun
Gendis RT. 09/RW.03 Aaeng Tongtong
Saronggi Sumenep Madura 69467
0 Comments