Buku-buku yang berisi ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang mustahil untuk dibeli bagi si miskin, meski si miskin punya kesadaran yang tinggi tentang baca-tulis. Sebab, buku bukanlah kebutuhan primer yang bisa menanggulangi kelaparan yang mengancam kehidupannya. Jangankan si miskin, bagi si kaya, buku adalah kebutuhan sekunder, bahkan mungkin sama sekali bukanlah kebutuhan. Itulah ketimpangan yang tengah terjadi di negeri ini, di negeri yang beranjak bangkit dari keterpurukan, setelah hampir 32 tahun terbelenggu oleh kemiskinan sistemik di bawah kekausaan orde baru.

Dok. kabarnun.com
Dahulu, di kampung saya, di pulau Giliraja yang terpencil, nyaris tak ditemukan buku-buku bacaan. Sekali pun ada, itu cuma buku-buku pelajaran yang di dapat dari pinjaman sekolah. Itupun sangat terbatas. Seingat saya, paling banter anak-anak kampung hanya menyalin sebagaimana perintahkan para guru. Salinan itulah yang kemudian dibaca berualang-ulang hingga buku menjadi lusuh. Kami tak mampu membeli buku, dan pemerintah sangat pelit untuk menyumbang buku-buku kepada sekolah kami, atau jangan-jangan pemerintah sengaja untuk membuat kami menjadi bodoh. Itulah “kejahatan” pemeritah masa lalu yang melekat di dalam otak saya.

Andai kami tidak bersusah payah untuk belajar, kemungkinan besar saya dan kawan-kawan tak akan beranjak dari keterpurukan intelektual. Maka, jika otak kami masih rada-rada error atau kami hidup dalam belenggu kemiskinan yang akut, itu karena disebabkan oleh pembodohan sistemik dari pemerintah pada saat itu. Di dalam otak saya, tak ada yang disebut bapak pembangunan, kecuali ayah saya sendiri yang berjibaku dengan nasib kami.

Pernah sekali, saya menemukan majalah yang cukup menggoda untuk dibaca, dan saya rasa itulah majalah yang cukup familiar dalam bacaan saya, yaitu majalah POSMO. Majalah yang sering menyajikan bacaan-bacaan supranatural, dengan istilah-istilah yang cukup menggoda di masa remaja saya, seperiti istilah ilmu Braja Musti, ilmu Lembur Saketi, Ajian Lampah-lumpuh, Ajian Lembu Sekilan, Ilmu Pengasihan, Ilmu Pelet, dan sebagainya.

Maka, wajarlah jika kehidupan saya di belakang hari menyukai mistisisme ditambah oleh dendam kesumat atas kematian nenek saya yang disantet oleh seorang tua yang tanpa tedeng aling-aling telah melakukannya. Saya pun mempelajari ilmu mengembalikan sihir kepada pemiliknya.

Dok. kabarnun.com
Sungguh, kemiskinan itulah yang menjadi musabab masa depan seseorang. Jika masa silam seseorang dipenuhi banyak pengetahuan, saya pikir negeri ini akan menjadi tercerahkan. Kita tak akan menemukan orang bodoh yang asal bunyi, tak akan menjumpai politisi yang hanya bikin gaduh tabung televisi, dan kita tak akan menjumpai banyak keterpurukan di dalam segala lini kehidupan bangsa ini.

Membaca bisa menjadi solusi untuk memecahkan banyak persoalan di negeri ini. Sebab, dengan cara membaca akan banyak ditemukan kesalahan-kesalahan yang sebelumnya rumit dan tidak terselesaikan. Tentu saja bagi pembaca pemula adalah membaca teks-teks pengetahuan, bukan sok membaca gejala alam ala Albert Einstein.

Seiring runtuhnya Orde Baru, dunia baca-tulis yang menjadi padu dalam istilah literasi dan segala turunannya mulai merambah ke pulau saya. Pada masa pemerintahan Joko Widodo, buku-buku dari donatur dan pemerintah sendiri, mulai berdatangan. Dikirim ke rumah baca Sangkolan dan Agung Demang. Keduanya, bergerak untuk membangun satu kesadaran literasi baca-tulis sebagaimana yang diajarkan dalam surat al-’Alaq ayat pertama, kelima, dan momentum pengetahuannya pada ayat keenam.

Sekarang, buku-buku yang tersedia di rumah baca bebas untuk dinikmati. Tidak ada alasan kemiskinan lagi untuk membaca, seperti dahulu saya mengalaminya. Buku dan kemiskinan sudah tak lagi menjadi sekat. Keduanya sudah akur berkat gerakan literasi yang dimotori oleh Bapak Nirwan Arsuka dan Najwa Shihab , serta aktivis literasi lainnya.

Kemiskinan telah dibebaskan oleh buku-buku, dan diharapkan buku-buku menjadi solusi untuk membebaskan kemiskinan dalam segala wujudnya. Mari terus belajar, jangan kalah dengan Amerika, Selandia Baru, Finlandia, Cina, yang konon di negeri mereka lebih banyak nonmuslinya—yang belum pernah mendengar kata “iqra” dari kitab suci al-Quran. Mereka maju, karena membaca, meneliti, dan berkontribusi untuk kemaslahatan umat manusia di seluruh semesta. Buktinya, Cina yang sering menjadi opini buruk menjelang pemilu telah menyediakan banyak kemudahan bagi kaum duafa. Tanyakan pada mereka, apa merk ponselnya?

Umat mayoritas di negeri ini adalah muslim. Kitabnya adalah rangkuman dari segala kitab-kitab suci. Segala ilmu pengetahuan, termasuk nilai-nilai sastra sangat lengkap di dalamnya. Dan, Tuhan sangat bersedia agar kitabnya tak hanya dibaca, tetapi dibedah agar dirasakan manfaatnya. Kitab suci itu, tidak hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman saja, tetapi bagi siapa saja yang ingin memperlajarinya, bahkan solusi atas kemiskinan juga ada di dalamnya. Disilakan, siapa saja untuk mempelajarinya, termasuk negara yang mengusai kemiskinan di negeri ini.

Sekali lagi, tak ada sekat lagi antara buku dan kemiskinan untuk “berselisih”. Buku sudah menyediakan ruang, dan kemiskinan bebas menggunakan dan memanfaatkan ruang yang telah tersedia. Orang miskin wajib membaca, sebagaimana orang kaya yang mampu berbelanja buku untuk dibaca.

Lihatlah anak-anak yang ada dalam foto itu. Tataplah latarnya, yang terdiri dari anyaman bambu yang luruh oleh kemiskinan masa lalu orangtua mereka. Mereka membaca, mereka bahagia, dan mereka siap untuk terbebas dari kemiskinan melalui pencerahan buku-buku.

Lihat pula dua remaja yang membaca di atas perahu, mereka bersabar sambil membaca, hingga perahu merapat ke dermaga. Semoga menjadi budaya. Budaya yang memajukan bangsa dari keterpurukan dalam segala bentuk wajahnya.

Saya sendiri yang hijrah ke pulau lain, ikut menjadi bagian pegiat literasi di tanah kelahiran istri saya. Saya dan istri mengumpulkan buku, menyediakan tempat sebagai rumah baca bagi anak-anak dan orangtua untuk sekadar berbagi kebaikan. Siapa tahu kebaikan yang kami suguhkan mencerahkan kehidupan mereka secara intelektual.

Rumah baca yang kami dirikan diberi nama, “Rumah Baca Anak-Anak Pangaro” berada di Dusun Gendis RT.09/RW.03 Desa Aeng Tongtong Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep Madura. Kode Pos 69467. 



Bagi kawan yang ingin berbagi atau menyumbangkan buku-buku agar bermanfaat bagi sesama, dipersilakan mengirimkan ke alamat di atas, dan Rumah Baca Anak-Anak Pangaro sudah lama terdaftar di PBI. Selanjutnya, kami sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada semua donatur.



Sumenep, 23 Maret 2019.

Penulis, Nun Urnoto El Banbary
Penggerak Literasi
"Rumah Baca Anak-Anak Pangaro.
Dusun Gendis RT. 09/RW.03 Aaeng Tongtong
Saronggi  Sumenep Madura 69467"