Saya baru bangun tidur, dan menghabiskan buah pisang yang besar untuk mengganjal perut yang terasa lapar pada dini petang ini. Tapi, saya tidak hendak menulis soal pisang yang berhasil mengganjal perut saya yang terasa lapar. Saya ingin bercerita mimpi saya, tentang salju yang menempel di pipi saat ditanya oleh seorang kaisar Cina yang saya jumpai. “Apakah yang menempel di pipi saya debu atau salju?” tanya saya sambil meraba-raba pipi saya.

Kaisar tidak menjawab. Ia malah bertanya, “menurutmu, apa?” Aku menjawab, “debu.” Kaisar, tersenyum sambil menyambut kedatangan sauadaranya yang juga menjadi kaisar di dataran Cina.

Dok. kabarnun.com
Sebenarnya, saya sudah tahu bahwa yang turun dan menghujani istana kaisar adalah salju. Hanya saja, saya hendak memantapkan keyakinan saya—yang sebelumnya sudah mantap—bahwa yang menempel di pipi dan dan semua tempat di sekitar saya adalah salju.

Inpirasi salju terus menusuk-menusuk kepala saya, dan seribu pertanyaan lengkap dengan tafsirnya terus menggedor kepala. Rasanya, ingin saya tulis di beranda facebook, namun saya merasa beranda facebook tak akan memuatnya, bahkan mungkin menimbulkan reaksi buruk dari kawan-kawan yang pendek akal spiritualnya, dan tak punya semangat membaca yang tinggi.

Satu tafsir dari mimpi salju adalah cinta seputih, sesejuk, dan setulus dirinya. Apa pun yang saya kerjakan adalah cinta, dan itu harus seputih, sesejuk, dan setulus salju itu sendiri. Di antara pekerjaan saya adalah menulis. Menulis yang saya kerjakan seharusnya sudah tidak saya sebut lagi “menulis”, tetapi cinta. Jadi, saya sedang mengerjakan cinta. Cinta yang sesalju dalam tafsir mimpi yang menggedor kepala saya.

Saya mengerjakan cinta, tanpa mengharap apapun yang hanya menghidangkan kekecewaan dan sakit hati dalam kehidupan yang khoyyali,  ini. Cinta hanya mengerjakan. Seumpama harus berbuah uang, pahala, puja dan puji, popularitas, dan kehormatan lainnya, itu hanyalah konsekwensi logis dari pekerjaan saya, dari cinta saya. Maka, kepada siapa pun dipersilakan untuk memetiknya.

Masalahnya, benarkah pekerjaan saya sesalju dalam mimpi itu? Jangan-jangan, saya hanya berapologi, atau lebih buruk beralibi, untuk menutupi keterpurukan saya yang sesungguhnya. Bukankah di jaman now ini, kehebatan banyak yang dibungkus dengan aksesori baju, mahkota, juga kosa kata? Seumpama tukang ceramah yang selalu diklaim sebagai seorang ulama, padahal bukan sama sekali? Lalu, di belakang hari, Tuhan membuka kedoknya sebagai anjing politikus, bukan ulama seperti yang disangka? Namun, berpikir buruk dari kata “jangan-jangan” yang saya suguhkan itu, juga jebakan yang seharusnya tak boleh diaminkan oleh siapa pun, meski itu rasional, umpamanya. Jalan tengahnya, jangan berpikir apa pun tentang orang lain, termasuk kepada saya. Apakah saya sesalju tafsir mimpi itu atau bukan, janganlah diurus. Biarkan saja, agar tak menjadi penyakit.

Penulis bermental salju adalah penulis yang menulis, tanpa bahagia diberi royalti, tanpa bersedih karyanya dibajak, tanpa besar kepala oleh popularitas, tanpa bersedih dikritik, tapi melawan jika dimaki-maki oleh orang bodoh.

Penulis yang protes sana-sini karena karyanya seharusnya layak diterbitkan, layak menjadi juara, layak mendapat apresiasi, sakit hati jika tersaingi, merasa tidak dimuliakan adalah penulis coro yang kampret. Lebih kampret lagi, orang-orang yang tidak punya karya tulis, dan karya apa pun tapi merasa sudah menjadi coro. Indikatornya, orang macam itu biasanya suka mengukur moralitas orang lain dengan moralnya sendiri yang tanpa pengetahuan yang bijaksana. Sekali lagi, tanpa pengetahuan yang bijaksana. Silakah cari dalam kitab suci pengertian bijaksana.

Saya pernah diprotes di depan umum oleh seorang guru PNS bodoh yang tiba-tiba atas “kesalahan” saya dia merasa lebih pintar dan sok bijaksana. Berceramahlah dia sambil ngata-ngatain seolah cara bernasihatnya sudah benar. Sejak kapan orang bijaksana ngata-ngatain orang lain di depan umum? Rupanya, pancingan saya—saya sengaja memancing orang-orang yang merasa berilmu, karena sebelumnya muncul reaksi negatif pada hal-hal yang dipromosikan di hadapan mereka—berhasil. Barangkali, karena dia PNS lalu merasa berhak berkhutbah di depan umum. Barangkali, karena dia PNS lalu merasa sukses. Padahal, dia itu benalu bagi negara, dan mencatut slogan “abdi” negara untuk melegitimasi pengabdiannya. Dikira, mengabdi itu dibayar. Mengabdi itu membayar, apalagi mengabdi kepada negara yang sekarat.    

Namun demikian, hati yang sesalju dalam perspektif tafsir mimpi saya, memaklumi ketidakberdayaan mereka. Mereka adalah orang bodoh yang merasa pintar. Ini, bukan soal prasangka buruk atas metafisik kelakuan mereka. Ini nyata atas pernyataan-pernyataan kebodohannya yang dipublikasikannya. Dan, tulisan-tulisan ini, saya kategorikan tulisan cinta, meski saya tahu, cinta akan cacat jika diutarakan di hadapannya. Namun, ini pendekatan berbeda yang tak boleh sembarangan saya uraikan semantiknya.

Jika penulis tak punya cinta seputih salju, maka ketajaman pena para penulis sudah lama mengurai perut busuknya ke hadapan publik. Mereka tak akan bisa menandingi ketajaman penanya. Ujung penanya lebih tajam, bahkan lebih kejam dari ujung pedang. Sudah berapa banyak, orang mati diujung pena? Pena mereka mengabadikannya dalam buku-buku, jurnal-jurnal, dan media lainnya. Mereka menyebut nama, membuat inisial, dan sketsa-sketsa yang bisa dikenang dan dijadikan pelajaran bagi generasi masa depan anak-anak bangsa. Lawan saja penulis, jika Anda ingin remuk selama berabad-abad.

Banyak kisah-kisah coro yang akan saya tulis untuk melengkapi pelajaran-pelajaran berharga bagi anak-anak saya, bagi orang-orang baik yang akan menghadapi kaum coro dari kalangan mereka sendiri. Namun, penulis harus tetap cinta. Bahkan, bahasa yang terdengar sarkas dari seorang penulis adalah cinta. Berbeda jika keluar dari politisi, bahasanya adalah petaka.

Demikian, unek-unek Markenyot yang saya tulis hingga menjelang subuh. Nanti, sajak-sajak Markenyot akan terbit dalam bentuk e-book. Salam NKRI dari Markenyot.




Sumenep, 22 April 2018