Barangkali, tokoh-tokoh yang dilahirkan melalui novel Anak-Anak Pangaro
telah berucap beribu terima kasih kepada tuannya (pengarangnya), yang telah
melahirkannya ke planet bumi, meski si tuan sendiri tak mendengar ucapan
verbalnya. Paling tidak, si tuan telah menyaksikan beberapa pengakuan yang
dipampang pada papan google, tentang sepak terjang tokoh-tokoh yang
direkanya.
Si tuan tak
pernah menyangka, bahwa karya rekaannya mendapatkan reaksi cukup menyejukkan,
meski tak sebanding dengan rekaan-rekaan Pram, Hirata, Utami, Abik, dan sederet
tokoh beken lainnya.
Rekaan yang
lahir dari pulau gelap di Sumenep ini, seolah mengabarkan kegalauan para
penduduknya kepada dunia. Galau oleh kekeringan, galau oleh kekurangan air,
galau oleh pembataian nyawa-nyawa, galau oleh ketimpangan sosial, dan
seterusnya. Galau yang tak berkesudahan. Galau yang memuncul tema-tema unik
untuk terus-menerus diceritakan kepada dunia.
Barangkali,
musabab itulah yang menyebabkan seorang pembaca sekaligus cerpenis bernama
Ananda Lubanaya terpikat hatinya. Konon, Lubanaya menuturkan bahwa dari sekian
banyak novel yang dibaca, “Anak-Anak Pangaro”lah yang menjadi favoritnya. Itu
satu berita penting yang pernah sampai kepada tuannya Anak-Anak Pangaro.
Kabar penting
lainnya yang sampai ke kuping si tuan adalah ketika beberapa mahasiswa
melakukan penelitian terhadap rekaan itu. Sebut saja, Robiatul Adawiyah
(@wieadawieyah) seorang Mahasiswi UHAMKA Jakarta, yang meneliti dari sisi nilai
moral dan sosialnya. Seorang Mahasiswi dari Muhammadiyah Malang bernama Resti
Ambarwati, juga ikut-ikutan meneliti. Tidak ketinggalan pula Defaizan dari
STKIP PGRI Sumatera Barat, yang kemudian penelitiannya terbit di Jurnal Ilmiah
Mahasiswa.
Dan, masih banyak lagi yang lainnya.
Tinggal buka mbah google, berhamburanlah Anak-Anak Pangaro. Tak penting untuk
disebutkan satu persatu, agar si tuan tak bertambah tebal kacamatanya saat
membaca ulang catatan ini.
Anak-Anak
Pangaro yang lahir pada bulan Mei 2015 ini pernah menjadi nominator lomba
menulis novel nasional yang diadakan oleh Tulis Nusantara pada 2013 dan
memenangi kompetisi menulis novel “Seberapa Indonesiakah Dirimu” pada 2014 yang
akhirnya diterbitkan oleh Penerbit Tiga Serangkai.
Kabar itu perlu
ditulis dan dipublis? Tentu saja, agar si tuan tahu bahwa rekaan-rekaan
ceritanya telah berucap terima kasih dalam diam dan kesunyiaannya, dalam
suguhan berangkai alur yang memikat hati penikmatya, dalam sulaman yang akan
diabadikan oleh sejarah yang tak bertepi. Semoga sejarah tidak berjeda
membincangkannya.
Masihkah
mengabaikan Anak-Anak Pangaro yang ditulis oleh si tuan dari pulau yang gelap
itu? Sebelum sesal menjangkit, maka carilah Anak-Anak Pangaro itu, hingga ke
pulau kelahirannya.
Pulau itu tak
ada di peta nasional. Barangkali, pejabat Jakarta tidak pernah percaya, bahwa
pulau yang diceritakan oleh tokoh-tokoh Anak-Anak Pangaro itu, nyata adanya.
Pulau itu ada di selat Madura, di kelilingi kolam susu yang dipenuhi
merjan-merjan. Batu-batunya bisa menjelma guliga.
Anak-Anak
Pangaro telah dibedah di mana-mana, didiskusikan oleh para cendikia, diresensi
diberbagai surat kabar, dan menunggu pejabat negara dari kabupaten
mengapresiasi, entah dengan cara apa?
Gara-gara
Anak-Anak Pangaro, si tuan dikawal ke berbagai mimbar untuk menyampaikan sebait
dua bait kata yang bisa membakar seluruh jiwa-jiwa mereka yang beku. Dihormati,
disalami, diajak selfie, dan disegani. Di meja, terhidang kopi-kopi, terhidang
pula sakit hati yang tak kunjung menepi.
Demikian
dahulu, kisah Anak-Anak Pangaro yang menggunjing tuannya hingga hari ini.
Semoga, gunjingan-gunjingannya menjadi bara bagi siapa saja, untuk kreativitas
yang berkelanjutan.
Semoga tulisan
ini tak dianggap riya' oleh mereka yang gagal paham.
Guluk-Guluk, 9
Februari 2018
0 Comments