Perlu satu gerakan untuk
mengimplentasikan literasi di sekolah dasar, yaitu gerakan membaca. Membaca
menjadi gerakan paling vital, untuk mengawali gerakan literasi di seluruh
sekolah dasar di tanah air ini. Musababnya, tak lain karena membaca menjadi kunci
untuk membuka seluruh gudang ilmu pengatahuan. Namun, gerakan tersebut akan
menjadi sia-sia jika seluruh stakeholder—mulai
dari tukang sapu hingga kepala sekolah—tidak mengamalkan petuah Ki Hajar
Dewantara, yaitu Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri
Hadayani.
Jika falsafah super keramat yang menjadi
lambang Kemedikbud ini diabaikan, dan sama sekali tidak menjadi amaliah
keseharian di lingkungan sekolah, maka cacatlah aktivitas belajar mengajar,
timpanglah aktivitas literasi yang menjadi gerakan, sebab anak-anak sekolah
dasar membutuhkan teladan, niat kuat, dan dorongan yang digdaya, bukan obral teori
yang akan menjadikan peserta didik menjadi jumud, bosan, dan akhirnya sekolah
laksana penjara yang menyiksa. Namun, tidaklah demikian dengan sekolah dasar
yang didirikan oleh Muhammad Fauzi di gang sempit Jalan Gatot Subroto, Desa
Karangbong, Kecamatan Gedangan, Sidoarjo ini.
Riwayat
Penting
Begini riwayatnya: Bermula dari keprihatinan
dan kecintaannya terhadap korban lumpur Lapindo di sekitar rumahnya, maka Fauzi
sepulang nyantri di Banyuangi, dirundung gelisah berkepanjangan. Malam-malamnya
dihantui mimpi buruk nan mengerikan. Ia tidak bisa tinggal diam melihat
penduduk sekitarnya yang senasib dengan dirinya mengalami kendala akses
terhadap ilmu pengetahuan.
Jika dirinya mendapat ilmu pengetahuan
dari cara membaca untuk bahan-bahan tulisannya, maka Fauzi memandang perlu
untuk memperlakukan hal yang sama terhadap masyarakatnya. Fauzi mengumpulkan
buku-buku untuk dibaca, sehingga masyarakatnya punya pengetahuan, tercerahkan, apalagi
bisa menulis seperti dirinya. Tentu saja, Fauzi bahagia.
Seiring waktu—sambil berjualan jamu—Fauzi
terus mengumpulkan bahan bacaan yang dianggapnya sebagai sumber pengetahuan untuk
didedikasikan kepada masyarakatnya yang tidak berdaya secara ekonomi. Fauzi
menganggap tidak selayaknya pengetahuan hanya menjadi monopoli orang-orang
beruang. Orang-orang miskin juga berhak mendapatkannya, dan Fauzi terus
memperjuangkannya, meski harus merogoh omzet penjualan jamunya.
Fauzi senantiasa hakulyakin, bahwa transaksi
amaliahnya dengan tuhannya akan berujung dengan keberuntungan yang berlipat
ganda. Itulah motivasi terbesar dalam perjuangan Fauzi mewujudkan cita-cita
mulianya. Dan, Fauzi selalu menyampaikan hal itu dalam setiap kesempatan
berbicara di hadapan publik, dengan tujuan sebagai motivasi.
Sosok yang hanya tamatan sekolah menengah
pertama itu terus menggalang dana untuk pengadaan buku, dan raknya. Gayung
bersambut. Fausi kian bersemangat ketika mendapati bangunan usang Polindes. Ia
segera menghubungi pihak yang berwenang untuk dimanfaatkan sebagai perpustakaan
mini yang digagasnya. Usaha Fauzi berhasil, dan perpustakaan yang dimpikan itu kemudian
diberi nama: Taman Ilmu Masyarakat.
Kegelisahan Fauzi tidak berhenti sampai
di situ. Baginya, perpustakaan tak cukup hanya menunggu pembaca datang. Orang-orang
tidak bisa bergeser dari kesibukannya. Perpustakaan menjadi tempat yang sepi
dan menyeramkan. Maka, Fauzi mengambil inisiatif untuk mengantarkan beberapa
koleksinya kepada para pelanggannya.
Sambil berjualan jamu, Fauzi terus
mengampanyekan membaca dengan cara membawa buku-buku koleksinya di jok motornya,
untuk dipinjamkan secara gratis kepada pelanggannya, atau ia titipkan di
kedai-kedai yang bersedia mengamini maksud baiknya.
Bagi Fauzi, kampanye membaca sama dengan
menyampaikan pesan tuhan yang tertera pada ayat pertama dalam surat al-‘Alaq,
yaitu IQRA’. Itulah ruh perjuangannya, agar ia tak menjadi sia-sia dalam
beramal.
Sekolah
Gratis
Aktivitas Fausi menjadi perhatian banyak
mata dan telinga, menjadi buah bibir dimana-mana, hingga akhirnya suara-suara masyarakatnya
berpadu, meminta Fauzi mendirikan Taman
Pendidikan al-Quran (TPQ), dan berselang hitungan bulan, masyarakat meminta
mendirikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Fauzi tercengang. Tak dinyana secepat
itu.
Belum genap setahun, Fausi sendiri
berinisiatif mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK), hingga 2016 berdirilah Sekolah
Dasar (SD) yang menjadi masterplan pembelajaran literasi yang terintegrasi
dengan pelajaran Bahasa dan Sastra Indoensia.
Fauzi tidak hanya memiliki semangat
tinggi, tetapi ia termasuk sosok unik. Pasalnya, di tengah keterbatasan ekonomi
yang mendera, Fauzi malah bernyali untuk menggratiskan sekolah yang
didirikannya. Ia tidak takut kehabisan uang untuk menggaji guru-guru yang
mengajar di almamaternya. Keyakinannya, tak lekang oleh keterbatasan ekonomi
yang menyesakkan sendi perekonomian tanah air.
Implementasi
Literasi: Membaca Melecutkan Potensi
Fauzi yang pernah menulis buku Trik
Singkat Mendirikan Perpustakaan, dan buku Hati Tergerak Tangan Bergerak”
menemukan momentumnya untuk mengimplementasikan hobi menulisnya di sekolah yang
didirikannya, yaitu Sekolah Dasar Bustanul Hikmah.
Mula-mula memberikan motivasi tentang
nikmatnya menulis buku, sebagaimana yang sudah dialami oleh Fauzi sendiri,
termasuk mengenalkan buku-buku yang dipegang oleh pesaerta didik sebagai
sesuatu yang amat berharga dalam kehidupan orang-orang yang mencintai ilmu
pengetahuan. Namun, sebelum Fauzi memberikan pembelajaran kepada peserta
didiknya, lelaki yang dikarunia dua orang anak itu sudah wanti-wanti kepada
para guru-guru sukarelawan yang mengajar di lembaganya, agar berbuat lebih awal
sebelum seribu teori tertuang di hadapan peserta didiknya. Artinya, mereka
harus rajin membaca dan menulis terlebih dahulu.
Fauzi mengimpikan guru-gurunya merupakan jelmaan
dari falsafah Ki Hajar Dewantara yang tertuang dalam kalimat sakral Ing Ngarso
Sun Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Hadayani. Dengan demikian, seluruh
stakeholder sekolah tak punya hutang
moral kepada peserta didiknya ketika telah maksimal melaksanakan amanat
pembelajaran. Fauzi tidak sekptis dengan kemampuan para guru, karena basic mereka di dunia literasi tidak
perlu diragukan lagi.
Kampanye membaca yang dilakukan Fauzi
kepada peserta didiknya dari PAUD hingga Sekolah Dasar yang didirikannya, tidak
lain merupakan satu rukun penting di dalam dunia tulis-menulis. Hal itu sejalan
dengan petuah Stephen King dalam bukunya Stephen King on Writing, “tak ada
jalan pintas menjadi penulis, kecuali membaca dan menulis.” Fauzi telah
melakukannya sebelum mendirikan sekolah formal, dan sekarang menularkannya
kepada seluruh civitas akademika yang ada di bawah naungan Yayasan Bustanul Hikmah
yang di pimpinnya.
Fauzi membuka lebar-lebar perpustakaannya
untuk siapa saja, terutama peserta didiknya yang rata-rata hidup dalam garis
kemiskinan yang menderanya. Di buka full time,
selama 24 jam. Ini merupakan
rekor baru, melebihi perpustakaan-perpustakan sekolah yang lain, melampaui
perpustakaan-perpustakaan yang dikelola birokrasi. Cara gila yang dilakukan
Fauzi ini patut diteladani. Setidaknya, Fauzi diajak urun-rembuk atas suksesnya
perpustakaan yang di kelolanya bersama Imroatul Mufidah, istri yang konon
bersedia dipoligami.
Tidak hanya membuka perpustakaannya
selama 24 jam, Fauzi yang baru saja memasuki usia 36 tahun itu, juga
mengantarnya ke warung-warung yang bersetia ikut serta menyedian buku-buku
untuk pembelinya. Menurutnya, tidak akan ada yang membaca karya tulis anak
didiknya, jika kampanye membaca menjadi gagal. Itulah musababnya, Fauzi
benar-benar totalitas mengampanyekan membaca di mana-mana.
Implementasi
Literasi: Menulis adalah Praktik
Baru, setelah (peserta didiknya) membaca,
atau setelah dianggap kaya akan kosa kata, memancing ribuan ide yang mengendap,
dan atau dipenuhi gizi-gizi pengetahuan, Fauzi dan segenap guru berpindah ke
praktik menulis.
Menulis masuk kurikulum tersendiri di
sekolah yang dikelola Fauzi. Guru yang mengajar materi menulis, meminta peserta
didiknya untuk setor tulisan setiap hari, meski tulisan itu hanya satu
paragraph atau bahkan hanya terdiri dari tiga kalimat. Genre tulisannya bisa
seputar cerita sehari-hari, atau semacam catatan harian, dan itu hanya diberlakukan
di Sekolah Dasar Bustanul Hikmah yang dikelolanya, sedangkan sekolah TPQ, PAUD,
TK, masih sebatas motivasi semisal sekadar mengisahkan penulis-penulis militan
macam Bung Karno, Bung Hatta, Pramoedya Anan Toer, atau HAMKA yang meski di
penjara masih tetap bersetia mencoretkan penanya.
Tulisan-tulisannya dikumpulkan kepada gurunya,
lalu diteliti, diperbaiki, dan di arahkan menjadi lebih bermutu, baik dari sisi
idenya, titik dan komanya, hingga ejaannya. Demikian seterusnya, sampai gurunya
menjadi yakin bahwa masa depan literasi akan lahir pula dari torehan anak-anak
yang dididiknya dengan penuh kesabaran.
Ketika Fauzi ditanya lebih lanjut soal kegiatan
menulis di sekolahnya, ia menjawab dengan serius melalui WhatsAppnya, bahwa menulis merupakan kewajiban umat Islam.
Keseriusan Fauzi terbukti telah dituangkan dalam aktivitas nyata melalui
gerakan membaca, sekaligus mewujudkannya dengan cara memasukkan kegiatan
literasi ke dalam kurikulum Sekolah Dasar yang didirikannya.
Fauzi tidak perlu menunggu putusan mufasir
untuk mewajibkan menulis bagi diri dan anak didiknya. Ia sudah mengetahui
rahasia tafsirnya sejak delapan tahun belajar agama di pesantren. Hanya saja,
Fauzi tidak perlu berkicau lewat kata-kata, karena kata-kata seringkali dianggapnya
menimbulkan anomali bagi yang pendek akalnya. Fauzi langsung menerjemahkan tafsirnya
lewat tingkah-laku yang berdaya guna bagi sekitarnya, di antaranya menyediakan
bahan bacaan, dan mengampanyekan karomah membaca dan menulis.
Simpulan
Sekaligus Penutup
Simpulan dari implementasi gerakan
literasi yang dilakukan sekolahnya Fauzi dimulai dengan MEMBACA, seraya
menyediakan bahan bacaannya. Saat ini, perpustakaan yang dikelolanya telah memiliki
koleksi hingga 8000 eksemplar dengan beragam genre yang menarik minat baca
peserta didik. Sedangkan LITERASI langsung pada tataran praksisnya, dan Sekolah
Dasar yang didirikan oleh Muhammad Fauzi telah memasukkan literasi sebagai
kurikulum yang wajib dilakoni oleh semua anak didiknya.
Jangan heran jika Anda berkunjung ke Bustanul
Hikmah, sebab Anda akan disuguhi pemandangan yang tidak wajar, yang tidak
serupa dengan sekolah-sekolah mentereng lainnya di kota-kota dan desa-desa yang
dimanja oleh bantuan pemerintah. Namun, Anda akan dibuat berdecak kagum dengan
perpustakaannya yang belum pernah dimiliki oleh sekolah-sekolah dasar bertaraf
internasional sekali pun. Bermodal perpustakaan yang dikelolanya sejak tahun
2011, Fausi berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendirikan sekolah
gratis.
Semangat membaca inilah yang membuat
Fauzi berani memasukkan kurikulum menulis atau literasi kepada peserta
didiknya. Fauzi tidak khawatir, kegiatan literasi akan menganggu perkembangan
kecerdasan anak asuhnya. Bahkan, dirinya yakin kegiatan literasi sudah
selayaknya di masukkan menjadi kurikulum tersendiri, hingga mengendap kuat di alam
bawah sadar peserta didiknya. Dan, kelak dikemudian hari akan dipetik.
Kegigihan Fauzi tidak hanya mendapat
apresiasi dari masyarakat lingkungan sekitarnya, tetapi juga mendapat perhatian
dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan. Tidak hanya itu,
baru-baru ini, tepatnya tanggal 2 Mei 2017, Fauzi diundang Presiden RI ke
istana negara sebagai tokoh masyarakat setelah sebelumnya meraih penghargaan
“Nugra Jasadarma Pustaloka”, dan berkesempatan berbicara di televisi nasional
dalam acara Kick Andy yang diasuh oleh Andy F. Noya.
Kreativitas Fauzi sudah menjadi viral ke
seluruh pelosok tanah air, lalu siapakah yang bakal meniru kebermanfaatan Fauzi
untuk menggerakkan literasi kepada penerus bangsa? Lagi-lagi Fauzi Haqulyakin, bahwa
penerusnya pasti ada, jika falsafah Ki Hajar Dewantara terus terpatri di dalam
jiwa mereka!
Sumenep,
2017
Sumber:
1.
Wawancara dengan Muhammad Fauzi
2.
www.yayasanbustanulhikmah.blogspot.com
3. Youtube
0 Comments