Seperti biasanya, saya senantiasa mencatat setiap aktivitas kepenulisan seperti seminar, bedah buku, dan sejenisnya, baik ketika saya menjadi peserta, lebih-lebih sebagai pembicara. Namun, akhir-akhir ini ada beberapa aktivitas yang belum sempat saya tulis dan saya share di kabarnun.com yang menjadi rumah berkeluh-kesah saya. Sekarang, (tepat sepertiga malam) saya mendapat hidayah untuk menuliskannya, setelah sebelumnya mental remuk akibat laptop raib di gasak maling.

Aktivitas literasi yang akan saya tulis kali ini adalah di Sabajarin, SMA 3 Guluk-Guluk Sumenep Madura. Tepat pada tanggal 22 Nopember 2016 yang lalu, saya diminta untuk mengisi kegiatan yang diadakah oleh anak-anak OSIS pereode 2016/2017. Ba’da Asar saya sampai di ruangan yang sudah di sediakan oleh panitia. Nampak, para santri putri tengah menunggu dengan antusias kehadiran saya, seolah saya seorang artis yang sudah lama mereka kenal dan seolah telah bermalam-malam memimpikan untuk berjumpa. Barangkali, karena mereka telah membaca karya-karya saya yang menimbulkan efek samping, hehe.

Sebenarnya, saya agak segan memberi tausyiah motivasi kepada mereka. Sebab, mereka adalah santri-santrinya para penulis hebat macam Kiai Faizi, Kiai Musthofa, Kiai Affan, Nyi Eva, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Tentu saja, saya harus tampil berbeda daripada guru-guru hebat itu, agar mereka lebih bersemangat menulis. Didukung oleh rambut godrong yang keramat, saya mulai memotivasi mereka. Lebih tepatnya: memprovokasi. Mula-mula saya tanya pekerjaan orangtua mereka, dan jawaban mereka sama. Sama-sama lahir dari kemelaratan, dan tak punya nilai tawar di tengah-tengah masyarakat. Maka, saya katakana kepada mereka, bahwa menulis bisa menjadi alternatif untuk mengubah kemelaratan menjadi kebahagiaan.
Provokasi saya berlanjut. 

Saya berkata kepada mereka seraya tampil dengan gestur yang menurut saya meyakinkan, bahwa saya adalah contoh korban kemelaratan yang berubah menjadi bahagia. Bahagia karena saya bisa bikin buku (sambil mengutip pernyataan John Carter dalam film John Carter of Mars). Tidak mungkin saya diundang forum-forum terhormat, jika saya tidak bisa menulis buku. Dan, ini bertolak-belakang dengan nasib Kiai Faizi dan Kiai Mustofa, yang meski pun tidak menulis masih dihargai orang karena mereka adalah trah Kiai.

Peserta terlihat mengangguk-angguk mendengar celoteh saya yang kian nyasar ke mana-mana. Kali ini saya mengajukan pertanyaan lagi kepada kaum hawa yang masih terkesima dengan rambut keramat saya. Anda ingin tetap cantik? Iyaaaa …! Jawab mereka serempak, seolah ruangan mau runtuh.

Anda mau berpayah-payah menyiram tembakau, hingga kulit mulus Anda menghitam dan terlihat mengerikan di mata suami Anda? Mereka serempak tidak mau! Di tengah kemelaratan, apakah Anda masih sanggup untuk tidak bekerja di sawah-sawah yang panas? Tanya saya, kian provokatif. Maaf, saya memang provokator. Kwkwk!

Saya akan bekerja di pabrik, saya akan menjadi karyawan bank, saya akan menjadi guru, sahut mereka penuh semangat. Aduh rek! Cita-citanya kok malah mau jadi karyawan. Karyawan itu bahasa kasarnya budak. Menjadi guru masih lumayan, tapi kalau jadi guru hanya mengharap bayaran, itu mah sangat kurang ajar dan tidak sesuai dengan tradisi kaum pesantren. Apalagi, sekarang stok guru sudah melimpah, sehingga seorang teman saya harus nyogok untuk sekadar jadi tenaga honorer. Bukankah, sekolah/madrasah sekarang sudah tidak ubahnya pabrik? Yang jika guru-gurunya tidak dibayar lalu menggerutu, dan bahkan berdemo? Mbok jadi guru jangan cari penghasilan di majelis ilmulah, agar anak didiknya tidak sangar. Hehe!

Saya mulai sedikit lunak berbicara kepada mereka; boleh Anda jadi karyawan, budak, guru, polwan, dokter, tapi tetaplah menulis. Selain menulis sebagai aktivitas intelektual yang akan membuat Anda belajar seumur hidup, menulis juga bisa bikin mendadak kaya. Tamsilnya adalah Andrea Hirata yang menjadi karyawan Telkom, tiba-tiba mendadak kaya dan tenar. Tamsil lain misalnya Ahmad Fuadi yang seorang karywaan, tapi tekun menulis setelah pulang kerja meski hanya sehalaman. Hasilnya, Fuadi menjadi kaya raya, tenar, dan bisa berbicara di forum-forum terhormat.   

“Loh, Bapak kaya?” celetuk seorang siswi cantik yang tak sudi kusebut namanya, karena khawatir diburu lelaki hidung belang. Saya kaget! Tapi sebagai provokator ulung, saya tidak kehabisan jawaban. Saya lebih kaya dari Anda secara intelektual, terutama kekayaan literasi, sedang kekayaan harta benda akan menyusul. Bukankah saya tengah berproses? Siapa orang kaya harta yang tidak berproses? Tanya saya. Seorang siswi nyeletuk, “koruptor, Pak!” Wah, ruangan ger-geran mendengar celetukan itu.

Seperti biasa, hampir setiap kali saya ngisi acara selalu membagi beberapa buku diakhir acara. Paling tidak bagi mereka yang mengajukan pertanyaan saat sesi dialog. Kebetulan saya banyak buku. Buku jualan di toko saya sedekahi, dan berharap hari depan saya diundang lagi, agar program provokasi menulis dan berbagi ilmu terus meriah, dan saya kemudian dicap provokator oleh mereka.

Jeprat-jepret diakhir acara saya suka, meski hasil foto kurang terang! Musababnya, penulisnya masih belum mampu beli yang cling! Ada yang mau nyumbang? Monggo!hihi.
Mari kampanyekan literasi, agar umat Islam bangkit dari liang tidurnya. Ajak mereka mencintai kitab-kitab dan buku-buku. Dan, ada satu keinginan saya yang masih belum terkabul, yaitu ingin “memarahi” guru-guru, dosen, ustaz, kiai-kiai, yang tidak mau menulis! Saya tunggu takdir Tuhan!

Wassalam!

Aengtongtong Sumenep, 5 Mei 2017
Maaf, males ngedit!