Kali ini (27/10/16) saya menyambangi pengajian literasi
di Pesantren Annuqayah Daerah Kusuma Bangsa. Semua pesertanya adalah santri
putri. Baru kali ini, saya bisa mengajar di daerah putri setelah sebelumnya
beredar kabar, bahwa kaum bujang dilarang ke wilayah tersebut. Saya hanya
berbaik sangka dengan kabar itu. Mungkin, saya dima’fu alias dimaklumi
memasuki wilayah sensitif itu, karena dianggap bujang lapuk yang sudah tidak
punya daya terhadap kaum hawa. kwkwk.
Di hadapan para bidadari yang binar matanya, saya
melihat pantulan gairah untuk menulis, dan saya pun mulai bertutur. Mula-mula
saya mengenalkan diri dengan menyebut nama asli saya (Urnoto), yang masih
seketurunan dengan Naruto dari Jepang. Lalu—tanpa hirau dengan peserta
pengajian yang tak tahan dengan gelaknya—saya melanjutkan untuk mengenalkan
tambahan nama “Nun” yang dihadiahkan oleh seorang guru spiritual kepada saya.
Saya juga mengabarkan kepada mereka, tentang apa saja prestasi saya.
Ta’aruf yang
tak ubahnya seperti hendak meminang anak gadis itu pun akhirnya selesai, meski
mereka terlihat terkesima, entah oleh apa. Tapi, barangkali mereka terkesima
dengan rambut saya yang gondrong, atau dengan wajah saya yang tampan, atau
jangan-jangan dengan prestasi-prestasi yang baru saja saya “pamerkan”. Saya
sungkan bertanya soal kesima mereka. Saya melanjutkan tutur berikutnya.
Mengenalkan diri kepada para peserta pengajian literasi
itu sangat penting, agar mereka tahu siapa yang berbicara, dan apa saja
prestasi yang menjadi kompetensi saya. Saya tidak ingin seperti guru-guru yang
hanya bermodal titel akademik, tapi tidak punya prestasi. Saya malu jika
seperti itu, dan saya tidak akan mengajar jika tidak punya prestasi. Saya
pemalu, alias tahu diri. Bagi saya, teladan paling ampuh adalah prestasi, bukan
yang berbusa-busa dengan kata-kata, apalagi guru yang melamar untuk mengajar.
Bagi saya, guru yang melamar itu bukanlah guru, tapi tenaga kerja yang
mengharap honor dan dana sertifikasi.
Maaf, jika pendapat saya mengerikan, tapi saya tidak
bisa berkelit dari fakta yang tersaji dalam keberlangsungan hidup saya, dan
saya harus mengabarkannya kepada dunia perihal karakter guru mulia yang mulai
memudar. Paling tidak, semua itu menjadi fenomena kesemrautan di dunia pendidikan.
Peserta pengajian literasi, saya persilakan untuk fokus
dengan satu genre saja. Mereka bebas memilih genre yang mereka sukai, sedangkan
genre-genre yang lain hanya menjadi sampingan saja, dan bukan berarti saya
memerintahkan mereka meninggalkan genre-genre lain. Saya hanya meminta mereka
lebih fokus, lebih konsentrasi untuk menyelesaikan genre yang paling mereka
minati.
Dalam hitungan menit, mayoritas peserta pengajian
literasi memilih puisi dan cerpen. Selebihnya, mereka memilih menulis novel, esai,
artikel, dan catatan harian. Khusus penulis novel hanya satu orang. Peserta
itu, menurut saya luar biasa. Ia memilih sesuatu yang paling tidak diminati
oleh teman-temannya. Barangkali, novel dianggap sangat sulit karena
ketebalannya yang tidak mungkin dirampung. Padahal, menulis novel itu lebih
mudah dari menulis puisi dan cerpen. Hanya saja, menulis novel butuh waktu agak
lama. Dan, mungkin itu yang agak mengerikan.
Menulis novel, peluangnya cukup menjanjikan. Misalnya,
lebih diterima penerbit dibanding antologi puisi, cerpen, esai, artikel, dan
kawan-kawannya. Peluang lainnya, penulis novel cenderung dianggap lebih mumpuni
karena berhasil melahirkan buku tebal, lebih banyak royaltinya, lebih disukai
pembaca, lebih berpeluang dilayar lebarkan, dan lain sebagainya. Itulah tuah
bagi penulis novel, dan saya sendiri merasakan tuah itu. hehe.
Saya menyilakan mereka untuk langsung praktik dan
merasakan kesulitan-kesulitan yang dialaminya. Kemudian, saya menyilakan mereka
menanyakan perihal kesulitannya itu. “Silakan, tanyakan kesulitan yang Anda
alami dan apa saja yang ingin Anda ketahui tentang menulis,” begitu kata saya
kepada peserta pengajian literasi. Hasilnya, luar biasa! Mereka menanyakan
hal-hal yang tidak terduga sebelumyan. Misalnya, cara menyusun kalimat efektif
yang biasanya sering dibaikan oleh para penulis pemula. Susunan kalimat yang
efektif akan menjadi bargaining ketika dikirim ke penerbit. Jika menulis
kalimat saja sudah tidak benar, maka jangan harap penerbit mau membacanya
hingga tuntas, meski sebenarnya isinya bagus.
Banyak yang mereka tanyakan pada pengajian itu, hingga
menjelang terbenamnya matahari, termasuk pertanyaan-pertanyaan tentang
“bangunan” puisi yang belakangan beranika ragam, cerpen yang belakangan kian
mencari format baru, hingga novel pop yang berlimpahan dan tak laku-laku di
pasaran.
Mereka saya minta untuk tidak berputus asa berproses,
hingga di belakang hari mereka menemukan karakteristik tulisannya sendiri yang
berbeda dengan gaya penulis-penulis yang menginspirasinya. Paling urgen dari
pengajian menulis itu, bukan pada teori menulisnya, tetapi pada ghirahnya,
semangatnya, atau istikamahnya. Dan, gara-gara lemahnya syahwat menulis itu,
telah membuat banyak orang gagal untuk menjadi penulis. Penulis adalah mereka
yang istikamah di jalan menulis. Jika hanya sekali menulis, kemudian lenyap,
maka mereka bukan penulis. Mereka hanya orang yang numpang lewat. hehe.
Semoga sukses! Wassalam.
Sumenep, 28 November 2016
Catatan yang baru rampung diposting,
0 Comments