Ngaji literasi bersama IPNU/IPPNU (23/10/16) di Kantor Urusan Agama (KAU) Kecamatan Lenteng akhirnya berjalan lancar, meski sebelumnya mendung yang mengantung menakut-nakuti langkah generasi Nahdhatul Ulama untuk hadir ke tempat acara.

Menurut ketua IPNU/IPPNU Cabang Sumenep, baru kali ini kadernya mengadakan kegiatan literasi, dan diharapkan IPNU/IPPNU yang lain bisa mengikutinya.

Saya sangat setuju sekali dengan statemen ketua cabang tersebut. Sekarang, sudah saatnya generasi muda NU ikut ambil bagian menyampaikan nasihat-nasihatnya melalui tulisan, baik berupa tulisan berita, artikel, esai, bahkan mungkin karya-karya fiksi seperti puisi, cerpen, novel, dan lain sebagainya.

Sebagai fasilitator, saya mengajak para peserta untuk langsung praktik menulis puisi, terutama puisi-puisi yang sesuai dengan selera peserta—yang didominasi anak-anak remaja. Mereka, saya ajak menulis puisi cinta, yang tentunya menjadi gandrung dengan jiwa remajanya. Saya pikir, puisi cinta tengah mendekam di dalam benaknya, dan memungkinkan mereka untuk menuangkannya dengan mudah, tanpa melalui proses imajinasi yang rumit.

Hasilnya, cukup mencengangkan; bahasanya sederhana, sangat jujur, polos, bahkan tisikan kalimat-kalimatnya seperti orangtua bertutur pada putranya, alias tidak puitis sama sekali. Dan, karya mereka saya apresiasi cukup baik, jika dibanding dengan para pengumpat di media sosial yang tidak bisa mengemas umpatannya dengan kalimat-kalimat puitis yang metaforistik.

Solusi bagi mereka yang masih berkemampuan menyusun diksi-diksi sederhana adalah meningkatkan minat bacanya terhadap karya-karya sastra, alias rajin-rajinlah membaca buku apa saja yang bisa membantu mengayakan kosa katanya. Tentunya, teruslah berlatih menulis agar tulisan-tulisan yang menjadi fokus genrenya kian tajam, dan membuat pembaca jatuh cinta setengah mati.

Menulis puisi tentu saja harus puitis dengan tetap mengindahkan simantik dan sintaksisnya. Jika puisi ditulis sebagaimana menulis pidato, maka keringlah kalimat-kalimatnya, dan pesannya bisa ikut-ikutan kerontang. Pesan-pesan yang dibungkus dalam kalimat-kalimat puitis akan membuat penikmatnya hanyut dan tanpa sadar mabuk kepayang.

Saya seringkali menjumpai puisi-puisi yang sama sekali tidak puitis, yang hanya bentuknya saja disusun seperti puisi, namun susunan kalimatnya kering dan tidak indah. Lalu—karena bentuknya serupa puisi—mereka menyembutnya puisi. Apa itu puisi? Silakan kuliah satu semester lebih dahulu, atau belajar pada ahlinya.

Pelatihan yang diadakan IPNU/IPPNU Lenteng ini, setidaknya menjadi langkah awal untuk terus bersikeras memotivasi generasinya, agar bisa menulis. Sebagai generasi NU, saya melihat tulisan anak-anak NU masih minim, masih bisa dihitung dengan jari, padahal generasi NU mayoritas di negeri ini. Saya tidak mengerti, mengapa dunia literasi menjadi sunyi dalam kehidupan mereka. Saya menduga, mereka sudah pasrah kepada para pengarang kitab-kitab klasik yang menguasai aktivitas belajarnya di pesantren, atau jangan-jangan mereka tidak tahu dahsyatnya karya tulis bagi keberlangsungan kaum intelektual di masa sekarang dan di masa-masa yang akan datang. Semoga dugaan saya tidak benar.

Saya sangat berharap, agar generasi NU tidak terlena oleh zona nyaman atas kebesarannya sebagai ormas terbesar. Semoga kesadaran mereka tidak terbeli oleh lezatnya gadget, ipad, dan kawan-kawannya. Mereka harus segera disadarkan, bahwa ujung penanya sangat dibutuhkan untuk mengubah dunia yang kian radikal dan liberal. Dan, yang paling perlu disadarkan adalah para stake holdernya yang tidak menyadari tajamnya ujung pena, yaitu mereka yang selama ini mengajarkan sesuatu yang tidak jelas kepada mereka.

Akhirul kalam, saya ingin sampaikan, bahwa menulis akan membuat siapa pun berselera untuk membaca. Membaca, akan membuat dunianya bercahaya. Jika tidak paham dengan maksud saya, silakan datangi saya. hehe.

  
Sumenep, 28 November 2016

Catatan yang baru rampung diposting,