Salah satu kompetensi yang paling sulit di antara empat kompetensi lainnya (membaca, menyimak, berbicara, dan menulis) dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah kompetensi MENULIS. Banyak orang yang stres jika berhadapan dengan dunia tulis-menulis, kecuali bagi mereka yang rajin membaca dan berlatih secara istikamah untuk melahirkan karya tulis. Gara-gara sulitnya kompetensi yang satu itu, akhirnya berdampak pada rendahnya minat baca anak-anak bangsa. Bayangkan, setelah UNISCO melakukan survei minat membaca terhadap 61 negara, ternyata negara kita ada diurutan kedua dari terakhir. Sungguh, itu kabar buruk bagi kita, terutama bagi pemerintah, praktisi pendidikan, termasuk para guru yang terlibat secara langsung terhadap semangat belajar generasi penerus bangsa.

Lalu, kenapa sulitnya kompetensi menulis berdampak terhadap rendahnya minat baca? Begini logikanya: Jika semua orang punya kemauan besar terhadap dunia tulis-menulis (siapa pun orangnya) maka minat baca secara otomatis akan meningkat pesat, sebab ketika orang menulis sesuatu, misalnya menulis tentang politik lalu mengalami stagnasi untuk meneruskannya, maka secara otomatis orang tersebut akan membaca referesi yang terkait dengan tema yang ditulisnya. Itulah alasannya, kenapa sulitnya menulis menjadi bagian yang berdampak buruk terhadap minat baca. Tentu saja, masih banyak faktor lain yang mempengaruhinya. Pendeknya: MENULIS MEMBUAT ORANG AKAN GEMAR MEMBACA, tetapi MEMBACA BELUM TENTU MENJADIKAN ORANG UNTUK MENULIS. Barangkali, itu menjadi solusi bagi terpuruknya baca-tulis di negeri bangsa ini.

Siapa yang akan memulai? Jawaban sementara adalah guru. Guru ‘wajib’ memberikan contoh terlebih dahulu kepada anak didiknya, sebelum memberikan perintah atau kuliah baca-tulis kepada mereka. Guru ‘wajib’ menulis, apa pun bentuk tulisan itu. Guru yang melahirkan karya tulis dalam bentuk buku, tak perlu dipertanyakan lagi tingkat minat bacanya. Karya tulis akan menjadi bukti autentik bahwa guru tersebut gemar membaca, karena prasyarat untuk menulis adalah rajin membaca. “tidak ada jalan pintas menjadi penulis, kecuali membaca dan menulis itu sendiri,” kata Stephen King. Jika mentok untuk melanjutkan tulisannya, maka berarti kurang membaca. Asupan gizinya kurang, sehingga ide, dan penguasaan kosakatanya miskin. Orang miskin mana bisa bersedekah banyak?

Banyak genre tulisan yang bisa digeluti oleh para guru, misalnya membuat antologi cerpen, antologi puisi, antologi dongeng, novel, esai, artikel, karya ilmiah, dan lain sebagainya. Pilihlah genre yang paling mudah, tetapi memiliki bargaining bagi masyarakat sekitarnya, terutama bagi peserta didiknya sendiri. Setelah menjadi tulisan yang utuh, maka jangan biarkan menjadi lembar-lembar yang berserakan. Kemaslah menjadi buku, sehingga tampilannya terhormat, dan orang tertarik untuk menghargainya: membeli dan membacanya.

Sebagai individu yang berkutat di dunia pendidikan, maka guru punya kesempatan besar untuk merampungkan satu genre tulisan, dibanding individu lain yang terjebak menumpuk-numpuk harta dan memujanya. Tidak ada alasan untuk tidak tahu menulis, kecuali guru yang malas belajar. Guru yang malas belajar, sebaiknya segera mengundurkan diri dengan hormat, sebelum melahirkan penerus-penerus yang serupa dengan dirinya. Itu namanya: Guru yang tahu diri.

Setelah guru memberikan teladan yang maksimal, melalui budi pekerti intelektual dengan bukti karya tulis dan prestasi-prestasi lainnya, maka perjuangan guru nyaris sempurna, dan sudah layak disebut guru. Tugas berikutnya adalah memberikan motivasi. Motivator yang sudah punya “keteladanan” bergudang prestasi, tidak akan mempunyai beban moral untuk tidak diikuti oleh peserta didiknya. Guru tidak ragu lagi “memerintahkan” anak didiknya untuk rajin membaca dan menulis, serta memiliki prestasi lainnya.

Tulisan di atas tidak sedang menggurui, apalagi mengandung indoktrinasi yang dipaksakan. Silakan lacak silogismenya dengan fakta dan data-data yang berserakan di sekitar kita, bahwa rendahnya minat baca akibat kurangnya keteladanan dari para stakeholder, termasuk guru bagi anak didiknya.

Sekali lagi, aktivitas menulis bisa menjadi cikal-bakal bangkitnya minat baca. Maka, menulislah. Guru tinggal memilih, apakah mau menulis fiksi atau nonfiksi. Fokus saja pada satu genre, agar tidak kelabakan. Lakukan dengan sabar, hingga layak menjadi satu buku untuk dikonsumsi publik.

Secara garis besar, rumus menulis nonfiksi berupa: tema dan argumentasi. Sedangkan rumus fiksi: tema dan imajinasi. Selanjutnya akan dijelaskan secara detail dalam tekni menulis melalui papan tulis, termasuk penggunaan data, fakta, dan sebagainya.

Demikian sedikit pembakar kalori yang membeku dalam kubah intelektual kita. Semoga, kita benar-benar menjadi “terbakar”sehingga tak berhenti belajar. Mohon maaf jika ada susunan kalimat yang inferior bagi para peserta pelatihan. Mari, bangkitkan minat belajar (minat baca-tulis) pada diri anak-anak didik kita. 


Sumenep, 22 Oktober 2016
Disampaikan pada pelatihan menulis untuk guru tingkat SD/MI Kabupaten Sumenep