Menuju Assalam tidak sesulit merampungkan puisi-puisi cinta, meski jalannya menanjak dan kadang menukik. Sepanjang menuju Assalam, bibir jalan diapit jurang-jurang, bahkan ada jurang yang pernah dijadikan pembuangan mayat hasil pembantaian. Aroma kematian dan jurang terjal tidak membuat saya bergidik, karena wajah alam dengan deretan bukit-bikit memajang senyum yang membuat hati saya nyaman memandanginya.

Inspirasi di kepala, tiba-tiba berdatangan untuk  saya tuang menjadi sajak-sajak gerimis yang membuat saya masih yakin, bahwa alam semesta tetap ada harapan untuk diselamatkan, kecuali kota-kota yang saat ini dijajah banjir bandang yang menendang kehidupan mereka. Khayalan saya berkata, bahwa jika kota menumbuhkan pohon-pohon sebesar paha orangtua, maka panas yang menyengat tidak akan pernah ada. Tapi, sayang sekali, saya hanya bisa bermimpi, sebab orang-orang kota sudah dijajah para penguasanya yang kurang tahu diri.
Sudahlah, biarkan kota menderita, asalkan sepanjang jalan menuju Assalam tetap tenang dan senantiasa menumbuhkan paku-paku dengan oksigennya yang mendamaikan denyut jantung. Percuma bicara kota, jika pepohonan tak diizinkan mengisap hasil buminya.
Kepada sopir motor aku berkata, “indah nian alam yang mengelilingi rumahmu. Jika ini dijaga hingga anak cicit berkepala lima, Indonesia akan benar-benar menjadi surga yang diburu oleh orang asing yang sinting. Orang asing yang rumahnya menguapkan api neraka, akan mencari surga seperti ini.” Sopir motor yang membonceng saya tak menyahut. Mungkin ia tak mendengar, atau ia tidak paham yang saya tuturkan di dekat daun kupingnya.

Setengah jam kemudian—di bawah gerimis yang ritmis—saya sudah tiba dan langsung menuju langgar Assalam yang masih sunyi. Tak ada peserta pelatihan yang menunggu ketika kaki saya sampai lebih dahulu. Saya menunggu sambil menyulut perapian yang saya masukkan ke dalam mulut, agar dingin pegunungan tidak terlalu menggigit. Dan, yang membuat jantung tetap berdenyut adalah inspirasi yang berdatangan dari segala penjuru. Ada yang berlompatan dari pohon monyet, ada pula yang masih bersembunyi di genting rumah pengasuh Assalam. Sungguh, saya ingin menulisnya.

Saat asap rokok melambung memenuhi langit, Kiai Homaidi muncul membawa seulas senyumnya untuk menyambut semangat saya yang sudah menginjak tanah kediamannya. Lalu, disusul santrinya yang menghidangkan senampan kopi yang dituang dari teko lusuh yang jarang dibasuh. Setenguk membasahi tenggorokan, hingga binar mata saya yang sedikit sayu karena diserang dingin yang memuncak.

Saya berbasa-basi dari ruang hati yang tulus, sambil bertutur kisah perjalanan yang ditimpa gerimis yang menyengat. Parcabisan yang dimulai dari pengharapan bagi beberapa anak didik yang “harus” tahu dunia literasi, perlu kiranya dikenalkan. Setidaknya, saya bisa menceritakan rasa manis yang sudah saya rasakan lebih dahulu di belantara denging kosakata, sebelum akhirnya mereka menceburkan diri pada sungai yang tekanan udaranya bermacam rupa.

Begitulah, saya bertutur sapa saat mula-mula “menggurui” anak-anak santrinya yang memang harus saya gurui. Saya memaklumi keterlambatannya, karena hujan baru saja reda, dan cinta baru saja tiba. Kosakata cinta yang saya sampaikan, diharap bisa merenggut hatinya, agar dunia literasi menjadi bayang-bayang di dalam setiap aktivitasnya.

Saya tak kehabisan kosakata literasi, untuk dihidangkan kepada mereka setelah sekian lama saya luntang-luntung dari pelosok desa hingga pelosok kota. Di kota, saya tak terlalu khawatir, karena rasa adil sangatlah nyaman, tetapi di desa yang diinjak ketidak adilan perlulah kiranya mendapat sentuhan yang super ajaib.

Kepada mereka yang masih unyu mengenal dunia yang saya tekuni, saya meminta untuk memilih genre tulisan yang paling nyaman, meski itu hanya sekadar catatan harian berupa kisah-kisah cinta yang biasa digandrungi. Mereka harus memulai dari yang mereka rasakan sendiri, hingga kelak bisa menulis yang menjadi penderitaan dan kebahagiaan orang sekitarnya.

Tak perlulah mereka menunggu teladan dari para gurunya yang sudah loyo alias gagal memiliki semangat menulis sendiri. Tak perlulah mereka bercermin kepada basa-basi ribuan teori yang mengantung di langit-langit. Cukuplah kiranya, surau Assalam memotivasi mereka, agar senantiasa menjadi maujud serupa rancang bangunnya yang terpahat di simpang jalan yang nyaris sunyi.

Menjelang matahari redup, saya sudahi kisah-kisah dan pengharapan yang saya selipkan pada saku bajunya untuk dibawa pulang. Dan, ketika maghrib tiba, ternyata saya sudah di Menara Cling; tempat berteduh selama lima tahun.

Semoga, saya bisa memberikan manfaat kepada umat Muhammad. Begitulah harapan anak seorang nelayan yang lahir dari keterpencilan.


Assalam Prancak Sumenep, 21 Oktober 2016




Penulis: Nun Urnoto

Sumenep, 13 Oktober 2016
Catatan yang terlambat ditulis