Pondok
Pesantren al-Anwar Geddhu Kecamatan Ganding, mengundang saya untuk memberikan
motivasi menulis dengan tema, “My Pen May Adventure” mulai pukul 08:00
dan berakhir 11.00 WIB. Pesertanya terdiri dari santri putra saja, sedangkan
santri putri yang pondoknya berjauhan masih belum mendapatkan kesempatan. Saya berharap
suatu saat nanti, mereka bisa menyusul.
Saya
senang sekali jika ada orang “pedalaman” yang mau melek dengan dunia literasi
yang saat ini hampir di dominasi oleh orang-orang perkotaan dan
pesantren-pesantren besar seperti Pesantren Annuqayah, al-Amin, Banyuanyar,
Bata-Bata, dan pesantren besar lainnya di Madura. Akhir-akhir ini, saya sedang
berupaya untuk memasyarakatkan baca-tulis di kalangan anak-anak muda pelosok untuk
menyongsong “perang dingin ke-3”yang sudah pecah.
Perkembangan
baca-tulis di kalangan pelajar pelosok-pelosok desa, sungguh miris sekali.
Sekelas Madrasah Aliyah, masih belum tahu bedanya karangan fiksi dan nonfiksi.
Cerpen disangka nonfiksi, artikel diduga fiksi. Sungguh, terlalu bukan?
Jangan
tanya minat bacanya. Minat baca mereka tak ada. Minat mereka hanya mempertinggi
nilai rapor, yang entah bagaimana caranya. Semoga tidak dengan cara-cara curang
sebagaimana yang biasa dilakukan para gurunya. Jika saja guru memberikan
teladan membaca, termasuk menulis, maka saya yakin nilai rapor dan ijazah
siswanya tidak perlu dikatrol dengan cara-cara yang tidak jujur. Insya Allah,
siswa akan meneladani aktivitas membaca dan menulis yang dilakukan para
gurunya.
Krisi
moral membaca dan menulis bagi guru, termasuk krisis prestasinya, turut andil bagi
terpuruknya semangat belajar (baca-tulis) peserta didiknya. Hal seperti itu
yang seharusnya menjadi keprihatinan bersama untuk diubah.
Saya
pikir, banyak para guru yang tidak merasakan/tidak tahu manfaatnya membaca dan
menulis, sehingga mereka tidak tertarik untuk mengampanyakan kepada anak
didiknya. Rasanya, jika membaca dan menulis menjadi spirit intelektual bagi para
guru dan mengetahui nikmatnya membaca dan menulis, pastilah mereka akan getol
untuk menyuarakannya. Dengan kata lain, mayoritas para guru ternyata malas
membaca, apalagi menulis. Itulah fakta yang tidak bisa dibantah, dan saat ini
masih berlangsung.
Kepenulisan
yang menjadi bagian komptensi di dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia,
masih dianggap tabu, sehingga sangat kaku untuk diberdayagunakan dalam
kehidupan anak didiknya. Banyak guru yang tidak tahu, bahwa menulis akan
membuat anak didiknya rajin membaca. Silakan pikir sendiri, bagaimana logikanya
menulis bisa membuat anak didiknya bisa belajar?
Jika
anak didiknya tidak mau belajar, maka gurulah yang seharusnya disalahkan
terlebih dahulu, karena moral membacanya sangat cacat, dan sama sekali tidak
memberikan teladan yang menginspirasi bagi keberlangsungan intelektual perserta
didiknya. Guru seperti itu, sudah seharusnya modar dari dunia sekolah tempat
mereka mengajar. Jika tidak, maka kebodohan akan semakin menggila selamanya.
Guru, termasuk dosen yang tidak punya semangat belajar adalah biang kerusakan
pendidikan di tanah air. Lebih mengerikan lagi adalah guru dan dosen yang
menjadikan peserta didik hanya sebagai ladang penghasilan, alias dijadikan
“binatang ternak” untuk mendapatkan jatah penghasilan.
Saya
berharap, ada perubahan radikal untuk meningkatkan minat baca-tulis yang
dimulai dari para guru. Negeri ini akan berkembang pesat di tangan para guru,
bukan di tangan para politisi, petani, apalagi di tangan para penumpuk harta.
Belajarlah pada Jepang yang ketika Hiroshima hancur, gurulah yang pertama kali
ditolong. Dan, sekarang, Jepang—yang
mayoritas non muslim itu—menjadi negara maju.Melalui
baca-tulis, insya Allah kebodohan akan lenyap. Semangat belajar akan bangkit,
lalu jayalah negara yang mayoritas muslim ini dalam percaturan berbangsa dan
bernegara, hingga sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Anak-anak
didik saat ini adalah aset besar bagi keberlangsungan hidup yang semakin ketat.
Tak ada ampun untuk membuat mereka senantiasa belajar, hingga masuk ke liang
lahad. “Perang dingin” saat ini hanya bisa ditaklukkan melalui semangat membaca
dan menulis yang menghasilkan berbagai prestasi dalam segala bidang kompetisi.
Dimulai
dari guru (dosen, kiai, ustaz, tutor, dll.) maka aktivitas baca-tulis akan
menyebar ke semua masyarakat untuk bersama-sama dikampanyekan. Jika demikian,
maka baca-tulis yang Allah firmankan sudah tidak termasuk yang “dilecehkan”
oleh mayoritas muslim di negeri ini. Jangan lupa, pelecehan terhadap ayat-ayat
suci tidak hanya yang diverbalkan tetap juga yang tidak sudi diamalkan.
Wallahu’alam.
(Urnoto)
Sumenep,
13 Oktober 2016
Catatan
yang terlambat ditulis.
0 Comments