Kali ini (5/10/2016), Anak-Anak Pangaro yang lahir dari kesunyian dan kegelisahan saya, dibedah di gedung auditorium STAIN Pamekasan Madura. Di hadapan para mahasiswa se-Jawa, Nusa, dan Bali, Anak-Anak Pangaro menghaturkan selamat datang, sekaligus membingkiskan pesan-pesan tekstual dan kontekstual yang termaktub di tubuh Anak-Anak Pangaro. Peserta bisa mengenal sebagian tanah Madura lewat Anak-Anak Pangaro. Di dalam tubuh Anak-Anak Pangaro yang saya lahirkan itu, ada aroma tanah Sakera, Karapan, Saronen, Macapat, Samroh, sihir, pembunuh bayaran, kekeringan, reboisasi, perlawanan, cerita hero, guru baik hati, dan lain sebagainya. Saya memintanya untuk dibawa pulang sebagai bekal dan pengharapan.

Acara dimulai pukul sembilan. Agak molor dari yang dijadwalkan. Harap maklum, sebab molor itu sudah kebiasaan anak-anak bangsa, terutama anak-anak di kampung saya. Termasuk saya sendiri. Memang menyedihkan, tapi bisa dimaklumi selagi tetap ada upaya untuk tidak diulangi di masa-masa yang akan datang.

Gedung auditorium yang dipenuhi oleh peserta, semakin terdengar menggema saat saya membedah Anak-Anak Pangaro. Meski gemanya tidak enak di telinga, saya tetap memaksakan diri untuk memaparkan berbagai unsure di dalam tubuh Anak-Anak Pangaro dari kepala hingga kakinya. Saya tidak perduli lagi dengan gaung ruangan yang bergemuruh, saya juga cuek jika ternyata mahasiswa bernasib sama dengan penderitaan telinga saya, akibat gema auditorium yang sungguh tak nyaman. Saya terus menjelaskan tema novel yang saya tulis. 

Tema novel yang dilahirkan dari darah daging jiwa saya itu tidak lain adalah RESTORASI, yaitu upaya besar-besaran mengembalikan kondisi pulau atau setting cerita kepada keadaan semula. Mengembalikan alam yang rusak, dan memanusiakan ketersesatan penghuninya ke jalan semula.

Alam yang rusak akibat kerakusan para penghuni setting cerita, menjadi kausalitas lahirnya orang-orang baik yang datang untuk memperbaikinya. Begitulah takdirnya. Namun, saya perlu mendetailkan kerusakan apa saja dan bagaimana akibatnya. Kerusakan alam pada setting novel yang saya tulis, disebabkan oleh manusia yang menebangi pepohonan secara sembarangan, termasuk pembuatan tambak garam yang membabi buta, dan penambangan pasir sepanjang pesisir yang mengakibatkan abrasi. Rusaklah alam yang mengakibatkan kurangnya ketersediaan air selama bertahun lamanya. Setting cerita novel saya, dilanda kekeringan yang sangat akut dan mengerikan. Setting itu adalah fakta yang saya rumuskan ke dalam satu rekonstruksi cerita utuh dalam bentuk novel, agar bisa menjadi khabar bagi para penghuni bumi sekaligus sebagai peringatan agar tidak memperlakukan alam semena-mena.

Tidak hanya kurangnya air yang memancar dari perut bumi, tetapi air dari langit juga enggan turun, seolah hawa panas yang menguap mampu mengusir curah hujan. Hal itu terjadi sepanjang musim penghujan. Saya bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi? Ternyata, maksiat yang merajalela menjadi jawaban atas semua itu. Dari mana saya tahu? Dari kitab suci al-Qur’an surah al-‘Araaf, ayat 96, atau di dalam surah Hud, ayat 52, atau di dalam surat Nuh ayat 10-13, dan masih banyak lagi ayat dan hadis yang menjelaskan sebab-akibat tidak turunnya hujan.

Setelah menjelaskan tema cerita di dalam novel Anak-Anak Pangaro, saya menjelaskan setting cerita, alur cerita, penokohan, sudut pandang, hingga pada pesan cerita yang disampaikan di dalam Anak-Anak Pangaro. Penjelasan saya, terutama masalah pesan yang terkandung di dalam novel Anak-Anak Pangaro diharapkan menjadi bekal pulang bagi seluruh mahasiswa ke tanah kelahirannya masing-masing.

Tidak perlu khawatir dengan cerita yang saya tulis, sebab itu menjadi bagian dari tafsir ayat-ayat suci yang saya rekosntruksi dalam bentuk cerita. Ayat-ayat Tuhan tidak selamanya harus disampaikan dalam bentuk kutipan-kutipan ceramah, tapi bisa juga dalam bentuk gerak tubuh, dan cerita-cerita inspiratif.

Usai mendedah novel Anak-Anak Pangaro, acara dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab, karena panitia tidak menyediakan pembanding. Penanya dari berbagai utusan diberi kesempatan untuk satu pertanyaan, hingga akhirnya acara usai.

Ritual selanjutnya adalah foto bersama, yaitu ritual yang terasa rugi jika di zaman digitalisasi ini ditelantarkan begitu saja. Foto-fotonya diharapkan memberikan motivasi dan menggoda yang lain untuk kompetisi dalam kebaikan.
  
 
Wallahu’alam.
Penulis: Nun Urnoto El Banbary

Sumenep, 17 Oktober 2016
Catatan yang terlambat ditulis.