Saya harus membersamai teman-teman Forum Lingkar Pena Jawa Timur di Gucialit Lumajang (12-14 Agustus 2016) dalam program Silatwil yang merupakan bagian dari program kerja Forum Lingkar Pena Wilayah Jawa Timur. Saya yang paling bertanggungjawab menjalankan program tersebut, karena menjadi bagian program Kaderisasi, meski faktanya panitia pelaksana hampir tidak mengomukasikannya dengan saya. Hal itu menjadi maklum, mengingat panitia adalah orang-orang baru yang terjun di komunitas Forum Lingkar Pena, alias baru berdiri dan secara organisatoris belum sepenuhnya memahami.

Cuaca puncak Gucialit yang lebih dingin dari kota malang membuat beberapa pesarta kesemutan dengan gigil yang nyaris tak tertahankan, termasuk saya sendiri. Di tambah kepala pening akibat mabuk darat sepanjang Surabaya hingga ke Gucialit. Namun demikian, saya dan peserta tetap bersemangat mengikuti rentetan acara sejak hari pertama hingga hari terakhir. FLP dari berbagai cabang sejawa timur tumpah semangatnya ditempat itu.

Hari itu, seolah Gucialit menjadi bukit kosa kata yang bersedia menerima torehan tinta anak-anak FLP, yang didominasi anak-anak muda. Saya pikir, aktivitas literasi menjadi yang pertama di Gucialit. Itulah sebabnya, Gucialit menjadi perbincangan hangat setelah orang-orang membaca tulisan-tulisan peserta Silatwil. Paling tidak, Gucialit menjadi berita nasional melalui berita yang tersebar di dunia maya.

Substansi dari Silatwil itu tidak lain adalah sebagai upaya untuk membangun silaturrahim sesama anggota FLP Sejawa timur, agar tetap saling menguatkan diri di dalam berkarya, berbakti, dan berarti bagi agama, nusa, dan bangsa.

Dukungan dari berbagai pihak, mulai dari panitia sendiri, pemerintah (dalam hal ini pihak Kementerian Pendidikan Kabupaten Lumajang), dan para mentor seperti Kang Masdar, Ibu Sinta Yudisia selaku ketua FLP Pusat, dan yang lainnya menjadi energi yang cukup dahsyat secara moral bagi para peserta Silatwil. Tanpa mereka, barangkali Silatwil menjadi hambar.

Bangsa ini, akan menjadi besar dengan ikut andilnya kaum muda menyemarakkan kegiatan-kegiatan literasi, hingga ke pelosok-pelosok desa. Saya percaya, di tangan mereka kegiatan literasi akan senantiasa hidup. Mereka tidak hanya menulis untuk dirinya sendiri, tetapi ikut ambil bagian memberikan pencerahan bagi masyarakat yang masih belum melek terhadap minat baca dan minat menulis. Minat baca bangsa ini menurut penelitian UNISCO berada diurutan nomor dua terakhir dari 61 negara, alias masih ada diurutan 59 dari 61 negara yang disurvei. Sungguh menyedihkan!

Sekarang, gerakan anak-anak FLP yang dimotori oleh Helvy Tiana Rosa itu, terus mengepakkan sayapnya melalui perpustakaan-perpustakaan daerah yang terlihat sunyi alias miskin program. Mereka berjibaku, agar masyarakat bisa membaca buku secara gratis dan menjadi menu pokok sehari-hari. Dibeberapa daerah, anggaran untuk perpustakaan mulai dinaikkan, mengingat kian pentingnya membaca bagi masyarakat.

Bukankah keterpurukan bangsa ini adalah akibat dari kurangnya membaca? Politisi yang kurang ajar, anak-anak sekolah yang nakal, mahasiswa yang tidak kritis, ustaz yang tak berkualitas, hukum yang tak punya nurani, dan sebagainya tidak lain disebabkan karena kurangnya membaca, alih-alih menulis! Sunggu terlalu, kata Bang Haji.

Melalui ketinggian Gucialit, berangkai kalimat sudah menggumpal di dalam benak para peserta. Ada yang langsung menungkannya, ada pula yang masih sibuk menghayalkannya untuk dituangkan di rumah masing-masing. Guciali seolah menjadi tempat tumpahnya inspirasi, dan hingga sekarang (saat tulisan ini rampung) mereka sudah berkarya. Mereka mulai menulis puisi, cerpen, esai, artikel, bahkan mereka berkometmen membuat novel. Saya yang mendapat tugas memberikan bimbingan menulis novel, sudah melihat beberapa peserta merampungkan novelnya. Sungguh kemajuan yang luar biasa bukan? Maka, sungguh Silatwil telah memberikan manfaat datangnya rezeki berupa kemampuan menulis. Kemampuan itu adalah rezeki dari musabab silaturrahim. Banyak-banyaklah silaturrahim. Jangan menutup diri dan menganggap dunia orang lain tidak layak dikonsumsi. Dikonsumsi menjadi karya tulis, itu sangat luar biasa.


Akhirulkalam, semoga yang sudah tercerahkan lewat program Silatwil tidak surut dan modar oleh karena putus harapan. Jangan lupa, bahwa Tuhan tidak akan pernah menyia-nyiakan harapan-harapan seorang hamba, sepanjang hamba itu mau bersabar melewati prosesnya. Tuhan, juga tak akan pernah menyia-nyiakan naskah-naskah hambanya, sepanjang hamba itu mau bersabar hingga naskahnya menemukan jodohnya.

Wallahu’alam.
Penulis: Nun Urnoto

Sumenep, 13 Oktober 2016
Catatan yang terlambat ditulis.