Tanggal 28 Maret 2016, saya mengisi motivasi menulis di Perpustakaan Pusat Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan. Kegiatan yang bekerjasama dengan penerbit Pangaro Media Utama itu dimulai sejak tanggal 28 Maret sampai 1 April 2008. Kegiatan tersebut dibuka oleh pengurus pesantren, dan diikuti oleh para santri yang berminat terhadap dunia literasi. Antusiasme peserta selama saya memberikan motivasi cukup menggembirakan. Terbukti, dari sikapnya yang dengan saksama menyimak apa yang saya sampaikan, juga nampak dari mereka yang menanyakan hal-hal terkait dengan dunia tulis-menulis.
Menulis—sebagaimana yang
saya sampaikan kepada peserta—adalah tradisi ulama-ulama terdahulu yang
kitab-kitabnya banyak dikaji di dunia pesantren. Maka, sudah seyogianya mereka
meneladani apa yang sudah dilakukan oleh para pengarang kitab-kitab klasik—yang
karya-karyanya mereka baca.
Santri harus bisa menulis
sebagaimana yang telah mereka lakukan. Paling tidak, mereka bisa merekonstruksi
gagasan-gagasannya menjadi karya tulis baru yang bisa mencerahkan zamannya.
Ulama-ulama terdahulu, kompetisinya dibidang ilmu pengetahuan sangat besar,
maka jika santri gagal mengikuti jejaknya, itu satu kegagalan intelektual yang
selama ini tanpa sadar telah dilestarikan.
Santri yang masih
berdomisili di pesantren punya kesempatan besar untuk berkarya tulis, sebelum akhirnya
disibukkan dengan banyak urusan setelah keluar dari pesantren. Santri bisa
menulis puisi, cerpen, novel, esai, atau bahkan berjuang mengarang tafsir
al-Qur’an, agar menjadi “mazhab” baru yang mungkin akan menjadi rujukan untuk
kehidupan yang makin kompleks seperti sekarang.
Peserta yang terdiri dari
lintas kelas itu, banyak menanyakan perihal sastra. Artinya, mereka lebih berminat
pada dunia sastra seperti puisi, cerpen, atau novel. Kepada hal-hal yang
beraroma hukum Islam, seperti halnya fikih, tauhid, tasawuf, mantiq, tak ada
sama sekali. Barangkali, mereka menganggap ilmu-ilmu itu sudah final dan
dianggap cukup ditangani para salafus sholeh.
Saya berpikir, seandainya
para santri berhasil melakukan rekonstruksi pemikiran fikih sebagaimana halnya
Imam Syafie yang merekonstruksi pemikiran gurunya, Imam Maliki, maka khazanah
keilmuan yang mandul selama ini, akan hidup kembali dan peradaban Islam akan
bangkit. Barangkali saat ini, masih belum masanya. Namun, saya yakin proses ini
tengah berlangsung, tapi entah di pesantren mana.
Tiga hari setelah mengisi
acara motivasi (1 April), saya masih didaulat untuk membedah novel “Anak-Anak Pangaro”.
Pada sesi bedah novel ini, peserta dan pembanding cukup bersemangat. Mereka menanya
setting, alur, penokohan, bahkan tata bahasa dan istilah-istilah yang
mereka anggap tidak sesuai dengan setting cerita. Suasana benar-benar
menjadi gayeng bahkan lebih hidup dibanding saat acara motivasi menulis.
Motivasi menulis
berlangsung hingga pukul sebelas malam,
dan ditutup dengan doa oleh pengurus pesantren Banyuanyar. Sedangkan bedah
novel berlangsung setelah salat Jumat.
Dan, seperti biasa sebelum
saya pulang, kegiatan tersebut diabadikan di depan kamera sebagai jejak sejarah
untuk tidak di lupakan.
Sumenep, 13 Oktober 2016
Catatan yang terlambat.
0 Comments