Panitia Festival Cinta
Buku, atau lebih dikenal FCB mengundang saya untuk membedah novel Anak-Anak
Pangaro yang diterbitkan oleh Penerbit Metamind, lini dari Penerbit Tiga
Serangkai yang bermarkas di Solo Jawa Tengah. Meski novel yang saya tulis
terbit pada bulan Mei 2015, tetapi masih cukup relevan untuk didedah di hadapan
para mahasiswa INSTIKA Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.
Panitia tetap bersikeras
untuk membedah novel Anak-Anak Pangaro, meski tanpa support dari pihak
penerbit. Panitia sudah berkali-kali menghubungi penerbit untuk kerjasama,
tetapi pihak penerbit seperti kurang bersemangat meresponnya. Namun demikian,
acara tetap berjalan dengan lancar, aman, dan terkendali.
Acara dimulai pukul 14.00
WIB., dengan melibatkan peserta dari mahasiswa putra dan putri. Selama saya
membedah novel Anak-Anak Pangaro, yang substantif saya sampaikan kepada audiens
adalah pesan-pesan dari setiap peristiwa yang terjadi sepanjang alur cerita.
Tentunya, terlebih dahulu saya sedikit menjelaskan tentang tema, latar,
penokohan, penyudutpandangan, alur, hingga pesan-pesan yang termaktub dalam
setiap adegan yang diwakilkan kepada para tokoh-tokohnya.
Setelah membedahnya, saya
harus menyimak paparan pembanding dari Kiai Muhammad Affan tentang novel yang
saya tulis tersebut. Beberapa hal disampaikan oleh beliau, mulai dari kelebihan
dan kekurangannya. Kiai Muhammad Affan menyebut novel Anak-Anak Pangaro sebagai
novel petualangan yang tak kalah seru dengan novel Laskar Pelanginya Andrea
Hirata.
Setelah pembanding
menyampaikan argumentasinya tentang isi novel Anak-Anak Pangaro, kemudian
dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, tentang proses penciptaan novel Anak-Anak
Pangaro dan pengaruhnya terhadap para pembaca. Mahasiswa INSTIKA dengan slogan
kampus tatakramanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang cukup menggelitik
untuk saya jawab dengan serius, terutama pertanyaan, seberapa besarkah pengaruh
novel yang saya tulis bagi para pembacanya.
Jika seberapa besar
pengaruhnya, maka saya tidak atau belum sempat melakukan penelitian. Namun,
indikasi ke arah itu ada fenomenaya. Misalnya, ketika novel Anak-Anak Pangaro
diteliti oleh Robiatul Adawiyah seorang mahasiswa UHAMKA Jakarta Jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia dengan judul: NILAI MORAL DAN SOSIAL DALAM NOVEL ANA-ANAK
PANGARO KARYA NUN URNOTO EL BANBARY SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PEMBELAJARAN
SASTRA DI SMA. Fenomena lain misalnya, seringnya di bedah di dalam beberapa
tempat, diresensi, dan sebagainya. Hal itu bisa menjadi indikator, bahwa novel
yang saya tulis memberikan pengaruh, meski kadar pengaruhnya sulit untuk diukur
secara matematis.
Lepas dari apakah novel
tersebut memberikan pengaruh atau tidak, yang pasti novel yang saya karang akan
berumur panjang, bahkan akan melampaui usia saya sendiri. Boleh jadi hari ini pengaruhnya
tidak terasa, tetapi kita tidak tahu di belakang hari pengaruhnya seperti apa.
Setelah sekian pertanyaan
terjawab, akhirnya bedah novel berakhir pukul 16.00 WIB., dan ditutup dengan
pemberian buku kepada para penanya. Saya sudah lumrah, setiap kali ada
pelatihan, bedah buku, dan semacamnya, selalu menghadiahkan buku-buku kepada
para peserta atau panitia. Pemberian itu tidak lain untuk membangkitkan
semangat membaca yang—di negara ini—masih masuk urutan 59 dari 61 negara yang
disurvei.
Semoga kegiatan bedah
novel Anak-Anak Pangaro menjadikan INSTIKA PANGARO, meski hingga hari ini
panitia masih belum sempat melunasi uang novelnya. Sekian terima kasih.
Wallahu’alam.
Penulis: Nun Urnoto El
Banbary
Sumenep, 13 Oktober 2016
Catatan yang terlambat
ditulis.
0 Comments