Di tengah rasa gamang hidup di pulau gersang, saya terus membaca satu-satunya tabloid bernama Posmo. Sebuah tabloid klenik, dan tabloid itu sangat memengaruhi niat, minat, dan cita-cita saya  menjadi seorang sakti yang punya kekuatan supranatural, yang bisa menyembuhkan banyak penyakit, seperti yang ditulis dalam Posmo. Hampir informasi yang ditulis Posmo saya serap, hingga praktik semacam tirakat saya kerjakan, seolah kekuatan tulisannya tak mampu saya hindari.

Tak ada yang memerintah membaca. Hanya diri sendiri yang memerintahnya, meski ketika saya beranjak usia di bangku MTs., seorang guru bernama Ustaz Sunarso memberi motivasi tentang hebatnya membaca, dan rupanya, kekuatan membaca telah mengantar saya "bisa" menulis. Itu pun baru saya sadari sekarang, ketika saya benar-benar bisa menulis beberapa puisi, cerpen, dan novel. Boleh di kata, tabloid Posmo yang klenik itu telah mengantar saya gemar membaca dan menulis. Tidak hanya itu, keinginan saya punya kekuatan supranatural juga tercapai. Sudah banyak pasien yang saya obati, mulai sakit gigi, kanker payudara, pendarahan, sawanan, terkena santet, hingga keselek tulang ikan ditenggorokan. Pasiennya beragam, mulai petani, siswa, guru, anggota KPU Sumenep, pemain film menembus Mercusuar dan Kemilau Cinta dari Banten, TKW yang bermukim di Malaysia, penyiar radio, hingga pengurus Forum Lingkar Pena Jawa Timur bernama Novi. Supranatural itu sama sekali tak minta bantuan jin apalagi setan. Saya cukup minta kepada Tuhan.

Setelah Posmo dan Ustaz Sunarso menjadi motivasi, Kiai saya, Ilyas Siraj di pesantren mengabarkan kekuatan pena saat memberi pengajian tafsir Jalalain, bahwa katanya, ujung pena lebih tajam dari ujung pedang. Informasi itu tidak langsung saya percayai seratus persen, karena saya belum bisa membuktikannya. Baru setelah saya menegur seorang kepala desa yang zalim ke ayah saya lewat surat, akhirnya saya mulai percayai, apalagi ketika saya memberhentikan seorang kepala sekolah yang korup dengan empat lembar surat tahun 2014 lalu.

Tidak berhenti disitu, saya kemudian menjumpai dawuhnya Syekh Imam al-Ghazali, Sang Hujjatul Islam yang karya-karyanya menjadi rujukan hampir umat Islam dalam sebuah buku yang sudah saya lupa judulnya, bahwa jika engkau bukan anak seorang raja, bukan pula anak ulama ternama, maka jadilah penulis. Dauh itu pun tidak membuat saya lantas mau menulis. Dawuh itu saya percayai setelah karya saya terbit. Tulisan saya dalam bentuk karya sastra novel itu tanpa terduga membawa saya ke forum-forum kepenulisan. Artinya, anak seorang pelaut telah Allah angkat beberapa derajat di antara yang lain.

Bukti itu kemudian kian melecutkan semangat saya yang beku. Rupanya, Allah telah memaksa saya untuk memercayai kehebatan pena dengan cara dipertemukan kepada hal-hal di atas tadi. Kesadaran macam itu rupanya terlambat saya pahami. Saya terlalu lugu (untuk tidak mengatakan dungu) menemukan banyak hikmah dari setiap peristiwa yang Allah sajikan. Allah seolah "mengutus" saya untuk menyampaikan sesuatu lewat karya-karya sastra yang oleh sebagian besar umat manusia sudah dianggap mendapatkan legalitas dari alam semesta.

Bagi saya, kekuatan pena sangat terasa sekali, karena derajat yang terpuruk mencuat begitu sangat. Tentu saja, saya juga melihat kehebatan pena orang lain macam syekh al-Ghazali, atau penulis kekinian macam J.K Rowling, Andrea Hirata, Tere Liye, Helvy Tiana Rosa, A.S. Laksana, HAMKA, Cak Nun, Habiburrahman, Asma Nadia, dan yang lainnya.

Barangkali yang tidak percaya dengan kekuatan pena, perlu langsung membuat satu buku, dan buktikan khasiatnya. Sejelek apa pun isinya, buku itu pasti akan menjadikan penulisnya diperhitungkan orang lain. Buku, atau dalam dunia akademisi sekripsi, tesis, desertasi menjadi bukti konkrit intelektualitas seseorang dan itu sudah pasti dilalui dengan berpeluh-peluh dan berletih-letih. Jangan dikira gampang menyusun ide dan kalimat-kalimat, hingga menjadi buku tebal, kecuali orang-orang genius yang mampu melakukannya.

Sebagaimana yang saya ketahui belakangan dari  embah Stephen King dalam bukunya "Stephen King On Writing", bahwa tidak ada jalan pintas menjadi penulis kecuali membaca dan menulis itu sendiri. Saya termasuk beruntung, karena sebelum mendengar kabar itu sudah keranjingan membaca tabloid klenis. Mata saya yang minus barangkali bagian dari aktivitas jungkir-balik belajar, membaca banyak kitab atau buku-buku. Sebagai anak pelaut yang hidup dalam garis kemiskinan, maka rajin belajar menjadi perlawanan. Perlawanan untuk tidak melarat lagi. Barangkali semangat belajar untuk mendapatkan ilmu pengetahuan mengubah nasib yang kurang mujur. Bukankah orang miskin berhak pula untuk pintar???

Mari belajar, membaca, meneliti, menulis, dan menulis. Publikasi tulisan untuk zaman secanggih sekarang bukanlah sesuatu yang susah, bahkan sangat gampang. Bulatkan tekad, dan kuatkan semangat untuk terus menulis apa pun profesinya, hingga paling tidak melahirkan satu buku sebagai bukti konkret.

Buktikan, bahwa satu saja karya Anda terbit akan membawa Anda kesuatu puncak. Selamat mencoba. Semangat!


***
tanpa editing