Salim. Aku lebih suka memanggilnya begitu. Nama lengkapnya Muhsin Salim. Ia lebih muda lima tahun dari usiaku. Meski begitu, raut wajahku lebih muda dari wajahnya. Maaf, aku tidak sedang mempromosikan wajahku dengan membandingkan dengan wajahnya, tetapi justru aku mempromosikan usia mudanya yang boleh dibilang sukses. Sukses dalam hal lain yang belum bisa aku mampu. Aku tidak mau menceritakan karirnya yang melejit di parlemen. Itu beda urusan, dan aku tidak mau mencampur aduknya dengan yang hendak kuceritakan.
24 Oktober 2015 lalu, kami melakukan perjalanan agak panjang; Madura-Yogyakarta dalam rangka studi banding. Tetapi bukan itu yang hendak kuceritaka. Bukan Studi banding dan hasilnya. Bukan itu. Studi banding hanya penting bagi organisasiku, tapi tidak dengan ceritaku ini.

Cerita ini bersangkut-paut dengan Salim. Kata seorang teman yang tak mau kusebutkan namanya, Salim termasuk lelaki yang gagah, macho, ulet, beruntung, dan—sesuai namanya—selamat. Paling tidak, yang membuatku optimis berkendara dengannya adalah penggalan namanya; SALIM. Setiap kali mengingat namanya saat berkendara, aku berharap keselamatan dari Tuhan.

Aku melakukan perjalanan dengan Salim dari kota Pamekasan, dimulai dari depan perpustakaan daerah. Aku masuk ke dalam mobil Mercy yang sudah kulupa nomor platnya. Salim langsung tancap gas setelah memasang sabuk pengaman. Aku sedikit kaget melihat tangannya memainkan setir mobil dengan lincahnya, seolah Salim sudah benar-benar mahir. Aku sedikit terkesiap menyaksikan beberapa tampilan laju mobil yang melesat kencang. Sebenarnya, aku mau bilang agar pelan-pelan saja, tapi kuurungkan karena sepertinya kami terdesak waktu. Maka, dengan adrenalin yang kupaksa-paksakan kuat, akhirnya aku bisa menikmati gaya nyetirnya yang sangat mudah menyalip beberapa mobil yang larinya tidak sekencang Mercy.

Beberapa kali aku memanjat doa keselamatan, dan sedikit tenang memikirkan nama Salim yang berarti memotivasiku untuk minta keselamatan kepada Allah-ku. Keyakinanku menguat ketika memaknai namanya, hingga aku benar-benar tak ragu lagi, bahwa Allah telah menganugerahkan keselamatan kepada Muhsin Salim, juga kepada yang duduk di sisinya. Tapi, mungkin pula hanya keyakinan yang terkesan kupaksakan di tengah keterdesakan rasa kecut menghadapi laju mobil yang melesat bagai anak panah. Itu masih perjalanan sepanjang Madura Surabaya. Lain lagi ceritanya ketika sudah melaju ke kota Yogyakarta.

Perjalanan dilanjutkan setelah menukar mobil dengan Bapak Fauzi, temannya Salim yang tinggal di Surabaya. Sekarang, mobil yang aku tumpangi adalah mobil Avanza yang juga sudah kulupa nomor platnya. Avanza akan membawa beberapa teman lagi yang akan ikut serta. Mereka adalah kawan seperjuangan, di antaranya adalah Rafif, Amiy, Nuril, Fauziah, Noer, dan Afifah. Mobil berisi delapan jiwa. Tiga cucu Adam, dan lima cucu Hawa. Mereka ikut serta bukan karena ingin merasakan empukya jok mobil, tetapi lebih kepada tanggungjawab yang diamanahkan kepada mereka. Seharusnya, keikutsertaan mereka bisa juga dimasukkan ke dalam rapot bulanan organisasi, sebagai bagian dari keteladanannya menghidupkan organisasi.

Perjalanan dilanjutkan ke Sidoarjo menjemput ketua organisasi yang mungkin sudah gelisah menunggu. Setelah menghabiskan dan membungkus hidangan yang dihampar di meja, kami berangkat dengan sematan semangat yang motivasinya entah datang dari mana. Mungkin motivasi itu datang dari rasa tanggungjawab tadi.

Transit sebentar di masjid Cheng Ho Pandaan Pasuruan, menunggu tiga bidadari yang akan segera turun dari bis kota. Cukup lama kami menunggu. Sekitar satu jam, tiga bidadari bernama Fauziyah, Noer, dan Afifah tak kunjung tiba. Aku curiga, jangan-jangan ketiganya sedang disandera kondekturnya yang mabuk kepayang kepadanya. Bukankah sebagaian pekerjaan kondektor dan sopirnya begitu? Semoga saja tidak demikian.

Saat kami baru selesai selfie di depan masjid, mereka datang dengan wajah berbinar-binar membawa aroma surga. Wajah mereka nampak semringah di atas derita kami yang menunggu hingga kesemutan. Sudahlah, itu tak penting. Masih ada yang sangat penting tentang kisah sopir Salim yang kisahnya sangat mengerikan. Mari baca kelanjutannya.

Setelah melewati beberapa kabupaten, kami berusaha mengejar sisa waktu yang masih tertinggal. Prediksi Salim, rombongan harus tiba di Yogyakarta sekitar pukul 22.00 WIB. Alasan itulah yang mungkin membuat Salim mengemudi seperti lesatan anak panah. Duh, moga-moga selamat. Aku agak ngeri dengan lesatan mobilnya. Gayo mengemudinya mirip-mirip Dayat. Teman sejawatku dari kota Pamekasan.

Ketika perjalanan melewati hutan jati di dearah perbatasan Jawa Timur, tiba-tiba kami menjerit histeris. Mobil yang dikemudikan Salim dengan kecepatan tinggi tiba-tiba padam lampunya. Kaum Hawa yang duduk di depan kami sudah seperti orang kesurupan, hingga aku yang duduk di jok belakang bersama Rafif ikut-ikutan kesurupan dengan jeritan yang serupa. Aku merasakan degup jantungku tak keruan. Benar-benar padam dan cukup mengerikan. Anehnya, Salim tidak mau berhenti. Ia terus melaju dengan sedikit modal temaram cahaya yang dipancarkan oleh sinar rembulan yang menerobos celah-celah lebatnya daun jati.

“Hidupkan lampunya,” seru kaum Hawa yang sudah seperti orang sekarat di depanku. Aku ikut-ikutan nyambung, “Saya belum nikah broo. Hat-hati!” Setelah diperingati beberapa kali lampu kembali normal, sambil sesekali terdengar cekikian Salim yang sepertinya berhasil memainkan cerita dramatic dan berhasil mengaduk-aduk perasaan kami.
“Jangan ulangi lagi,” seru Fauziah yang sepertinya sudah sangat kelelahan akibat menahan letupan adrenalinnya.

Ketegangan segera mencair setelah kawan kami bernama Nuril terdengar celotehnya. Celoteh yang sepanjang jalan cukup menghibur dan membuat seisi mobil hilang letihnya. Namun, beberapa saat kemudian lampu kembali padam, dan kami kembali dengan jeritan yang spontan. Kali ini benar-benar aneh dan Salim sendiri tidak menduganya. Mobil yang kami tumpangi serta-merta ada di tengah hutan jati. Kami bingung, dan menjadi ciut. Mulutku komat-kamit membaca mantra. Mulai dari ayat kursi hingga rapalan mantra yang tak kumengerti maknanya.

Aku melihat sekeliling dan berkali-kali mengucek mata, namun kami benar-benar tersesat di tengah hutan belantara. Samar-samar kulihat banyak orang berdatangan dan mobil-mobil aneh mendekat kepada kami. Dugaanku, mobil-mobil yang mendekat itu adalah mobil-mobil hantu yang dibawa oleh demit hutan jati. Kami semakin merasakan bulu-bulu kuduk berdiri ketika orang-orang dengan tubuh aneh dan mobil aneh kian mendekat. Kami mulai kalap dan bersiap-siap mengeluarkan langkah seribu, alias kabur.

Di tengah kekalutan yang luar biasa, Salim menepuk pundakku dan aku tersadar, bahwa mobil yang kami tumpangi mogok di tengah jalan dan mengalami perbaikan. Rupanya, hanya aku sendiri yang kesurupan oleh makhluk-makhluk halus di jalanan sepi yang diapit oleh lebatnya pohon-pohon jati.

Maaf, aku tak sanggup melanjutkan kisah ini. Sekian, mator sakalangkong. Hehe



Menara Cling, Sumene, 14 November 2015