Tulisan ini terinspirasi oleh ayahku.
Jangan salah sangka hanya karena aku bisa menulis novel,  lalu aku dianggap bersilsilah dengan orang-orang pintar yang telah melahap buku-buku. Sama sekali tidak, bahkan ayah dan ibuku tidak bisa membaca latin. Ayah hanya bisa membaca tulisan-tulisan arab yang diajarkan buyut Samman yang konon sakti dan bisa memperbaiki tali layang-layang yang ngonteng (tidak imbang) di langit. Ayah hanya bisa mengaji ayat-ayat kitab suci dan mengijak ayat-ayat semesta, ayat-ayat laut.
Ayah pintar membaca cuaca laut. Ayah sangat paham, kapan saatnya berlayar dan tahu caranya menghindari badai. Ayah sangat paham kompas alam yang sudah disematkan oleh Sang Pencipta, sehingga ayah mengalami kemungkinan kecil untuk celaka di laut. Tentu, semuanya karena Allah mengaruniakan pengetahuan itu kepada yang mulia ayahku itu.
Ayahku bertubuh pendek. Tingginya sekitar 159 cm, tidak jauh beda dengan tinggi anaknya yang bernama Nun Urnoto, anak tertuanya. Nun Urnoto itu adalah aku. Aku yang gagal menyaingi semangat juangnya untuk menyukuri karunia-Nya.
Ayah boleh disebut sangat kuat, gagah, dan siap bertarung dengan gelombang laut setiap saat. Gara-gara kegigihannya, suatu hari ayah memaksakan diri melaut ketika badai mengamuk. Aku tak berani mencegah, meski cemas menghantui. Aku hanya percaya, ayah mampu menghadapi gelombang dan badai. Seolah gelombang dan badai adalah sahabatnya. Namun, adiku, Mahrus Ali malah mengejarnya ke pantai dan ketika merapat ke dermaga, adikku mendamprat pemilik perahu, karena dianggap melawan ancaman maut. Adikku tak rela ayah berbuat nekat seperti itu hanya karena perintah juragannya. Itulah sebabnya, adikku melarang ayah untuk melaut pada hari-hari badai berikutnya.
Jika ayah melaut, ia berangkat setalah menunaikan salat Subuh dengan teman sejawatnya yang bernama Pak Addus. Berbekal sarapan siang yang disiapkan emak, ayah berangkat dengan langkah gagah, berharap tangkapannya mencukupi kemelaratannya dan membahagiakan anak-anaknya. Menyaksikan ayah penuh semangat berlipat, maka aku—yang dirantau sering uring-uringan sehabis subuh—tertular semangatnya ketika kembali ke tanah rantau, tetapi itu hanya bertahan beberapa hari saja. Setelah itu, aku kembali lemas di atas pembaringan.
Aku selalu membayangkan ayah yang ketika subuh dingin, ia melangkah melawan ombak. Aku menyaksikan ayah benar-benar kuat. Benar-benar hebat. Seolah ayahku yang paling kuat menaklukkan badai dan gelombang di muka bumi ini. Aku tak menyesal punya ayah macam beliau. Ayah tak mengecewakan, meski beliau tak bisa baca-tulis latin. Bagiku, keadaan yang seperti itu tidak menjadi soal, karena yang paling penting ayah bersetia salat, bersetia taat, bersetia pada emak, dan tentu bersetia pada pekerjaannya yang aku yakin pahalanya lebih besar dari orang-orang kantor yang suka main game.
Bersetia macam itu, selalu diajarkan kepada anak-anaknya meski kesetiaannya seringkali dikhianati. Dikhianati sekali pun, ayah melarang anak-anaknya untuk balas dendam. Ayah percaya Allah tidak buta dan tidak akan tinggal diam untuk bikin perhitungan dengan orang-orang durjana. Jika terpaksa aku melawan orang-orang zalim itu, maka ayah pasti menyalahkan diriku. Ayah tak ingin aku punya musuh di muka bumi. Artinya, ayah tengah mengajarkan kepada anak-anaknya agar menjadi juru damai bagi dirinya sendiri dan bagi orang sekitarnya. Begitulah, ayah mengajarkan kepada kami.
Aku berani bertaruh jika ada ayah lain sehebat ayahku. Mau diadu pun aku tak akan surut. Artinya, aku benar-benar yakin akan kehebatan ayah. SELAMAT HARI AYAH. Maka, sangatlah pantas aku sampaikan kepadanya, meski hanya lewat tulisan dan doa-doa pendek. Semoga ayah masuk surga tanpa hisap. Itulah harapanku kepada Tuhan, sebagai hadiah terindah untuknya.
Dahulu, sewaktu kecil. Aku selalu dilatih ala tentara. Di suruh berlari hingga napas nyaris terputus, bahkan jika tidak mau, aku akan diberi hadiah cemeti saktinya yang membelit pinggang seraya aku meringis-ringis nyeri. Waktu itu aku hanya “dendam” kepadanya dan hendak menuntut balas. Namun, setelah aku tahu manfaatnya, aku perlu berterima kasih kepadanya. Apa saja manfaatnya? Biarlah aku saja yang memahaminya, karena hadiah itu hanya untukku, anaknya yang nakalnya minta ampun.
Sekarang, ayahku sudah sepuh. Sudah berkurang tenagannya. Tapi jangan sangka, beliau berhenti melaut. Ayah tetap tak jera melaut. Seakan-akan jika tidak melaut, ayah akan pusing tujuh keliling. Sepertinya, ayah serupa orang kecanduan narkoba, dan aku tak bisa meniru jejaknya menjadi pelaut.
Sebenarnya, aku ingin menjadi pelaut. Aku ingin mengeruk mutiara dan merjan-merjan di dalamnya, lalu kujual ke negeri China dengan harga mahal, bukan dengan harga murah seperti halnya handphone-handphone China yang berserakan di negeriku ini. Sayang sekali, ayah melarangku. Ayah tak ingin anak-anaknya mewarisi kemelaratan. Ayah tak ingin aku menjadi hitam legam dan berbulu emas karena keseringan disengat matahari. Ayah tidak ingin mengajari diriku cara menaklukkan badai. Ayah tak ingin aku dimusuhi badai dan gelombang. Sebab itulah, hingga hari ini aku menjadi makhluk paling ngeri jika melintasi laut. Aku jarang pulang ke pulau hanya karena aku takut laut, dan takut mabuk laut.
Aku ingin sekali melaut. Tapi ayah diam hingga hari ini, seolah laut akan melumat jika aku memaksanya untuk seperti suratan takdirnya. Ayah memintaku belajar. Membaca buku-buku agar seperti Syamson AR, anaknya Haji Abdurrahman. Ayah ingin aku menjadi anak pandai dan menjadi guru, tapi aku tak mau menjadi guru di sekolah-sekolah yang sudah dirusak oleh kebijakan negara. Aku tak ingin ikut-ikutan rusak. Jika terpaksa aku menjadi guru, maka aku tak boleh berurusan dengan kebijakan negara. Aku tak ingin celaka.
Baiklah, ayah! Anakmu akan berjuang mengukir kehendakmu. Aku akan mengukirmu menjadi prasasti dan kuhaturkan kepada Tuhan, “Ini ayahku, Tuhan! Ayahku hebat, dan yang mampu menghebatkan hanyalah engkau, ya Tuhan! Terima kasih, karena engkau telah mengaruniakan ayah yang kuat itu. Ayahku pelaut, Tuhan!”

Sekali lagi, SELAMAT HARI AYAH.


Sumenep, 13 November 2015