Deklarasi Provinsi Madura bergulir serupa bola panas yang disiram hujan; panas, dan akan segera dingin kembali, kecuali mereka berpadu mewujudkannya. Hanya jika anak-anak Madura bersatu, provinsi impian itu akan terwujud. Jika tidak, maka hanya menjadi mimpi dan omong kosong belaka.
Pro dan kontra Madura menjadi provinsi, terus memenuhi ruang publik dunia maya, dan hanya sedikit sekali memengaruhi dunia nyata. Sebagian orang menganggapnya hanya angan segelintir orang-orang yang bernafsu untuk merampok kekayaannya, dan sebagian lain menganggapnya sebagai bentuk perlawanan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah Provinsi Jawa Timur yang selama ini tidak memerhatikan kesejahteraan masyarakat Madura yang kekayaan alamnya sudah dieksploitasi sedemikian mengerikan.
Masyarakat yang tidak
setuju dengan provinsi Madura tentu sangat wajar, jika kehadiran Madura dengan
wajah lain itu hanya dijadikan ladang baru untuk mencuri keuntungan. Pemekaran
daerah sudah banyak dilakukan oleh daerah-daerah lain dengan modus demi
kesejahteraan masyarakat, meski faktanya omong kosong. Namanya juga modus,
pasti omong kosong dan rakyat hanya tumbal ambisi mereka. Masih belum ada satu
pun provinsi yang membuat rakyatnya sejahtera sebagaimana yang dijanjikan
sebelum pemekaran daerah. Begitu, kira-kira ketidaksetujuan sebagian masyarakat Madura atas kehendak sekelompok elit yang mengejar singgasana kekuasaan.
Selain alasan di
atas, tentu syarat administratif yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
78 tahun 2007 harus terpenuhi. Provinsi minimal memiliki lima kabupaten, dan
kabupaten yang memungkinkan untuk dimekarkan agar memenuhi syarat adalah
kabupaten paling ujung timur, yaitu Kabupaten Sumenep. Masyarakat Sumenep
samar-samar mulai terdengar suara penolakannya terkait dengan provinsi Madura. Misalnya, Ali Faidhiy
Toifur dalam akun facebooknya yang meyakini bahwa jika provinsi Madura terwujud
akan kaya dengan mafia dan miskin manfaat. Hal senada juga disampaikan oleh
tokoh NU Sumenep, Kiai Dardiri yang menganggap provinsi Madura hanya rekaan
dari sebagian kelompok yang butuh ruang baru setelah babak belur di ruang lain,
atau pemodal yang memicu adrenalinnya karena resource alam Madura seksi,
tergenangi migas yang melimpah.
Jika masyarakat
Sumenep menolak, maka mimpi menjadikan Madura sebagai provinsi hanya
omong-kosong, karena saat ini pemegang kuncinya adalah masyarakat Sumenep.
Selain itu, deklarasi persiapan Provinsi Madura cukup kontradiktif, pertama suara-suara sumbang itu hanya didengungkan
oleh orang-orang yang tidak jelas, alias bukan tokoh masyarakat yang punya
pengaruh kuat, sebut saja Ketua Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Madura
(P4M) Jimhur Saros. Siapa Jimhur? Tak ada dalam peta tokoh-tokoh Madura. Lalu,
bagaimana semangat menjadikan Madura sebagai provinsi jika hanya “tokoh” Jimhur
yang bersuara? Atau barangkali, Jimhur hanya sosok banyangan dari orang-orang
yang berkepentingan, sehingga Jimhur merasa optimis suaranya didengar seluruh
makhluk di tanah Madura. Begitulah, omong kosong provinsi Madura mereka
ciptakan sendiri. Sekali lagi, omong kosong bukan dicipta masyarakat, tapi
mereka yang berambisi.
Kedua,
deklarasinya “sengaja” dibarengkan dengan kunjungan presiden ke Bangkalan. Lalu,
melalui corong media online, masyarakat digiring seolah-olah Jokowi setuju
dengan ide-ide yang bias itu. Artinya panitia seolah hanya cari sensasi dan
tidak serius menjadikan Madura sebagai provinsi. Jika serius, mereka tidak
memanfaatkan kedatangan Jokowi untuk sekadar mendapatkan sinyal, tapi datang ke
istana untuk mendapatkan restu. Menurut tatakrama orang Madura, itu cara-cara yang kurang ajar.
Ketiga,
dalam pemberitaan beberapa media online P4M mengatasnamakan masyarakat Madura.
Masyarakat Madura yang mana? Jelas, itu klaim yang membabi buta yang kelak
mungkin akan dilakukan oleh orang-orang yang membabi buta pula dalam mengambil
kebijakan untuk rakyat. Masyarakat Madura tentu sudah punya takaran moralnya
melihat cara-caranya yang sama sekali tidak sesuai dengan kultur Madura.
Seperti apa kultur masyarakat Madura? Tentu, mereka sudah tahu. Jika tidak, maka
boleh jadi mereka oknum yang mengaku-aku orang Madura. Keempat, harusnya deklarasinya di Sumenep, agar bisa mengambil hati
penduduknya karena di tangan orang-orang Sumeneplah kemungkinan provinsi
terwujud. Bukankah jika demikian cara P4M sangat mengabaikan etika, dan strategi? Maka
mimpilah yang akan terjadi.
Konon, provinsi
Madura digulirkan oleh politisi demokrat Ahsanul Qasasi di senayan, dan
sekarang politisi itu terus mendukungnya agar Madura berdaulat. Berdaulat dari
mana? Jika SDM-nya seperti Ahsanul Qosasi, barangkali itu bisa terjadi, tapi
masalahnya, masyarakat masih suka menyelesaikan persoalannya sendiri dengan
carok. Kedaulatan macam itukah yang dimaksud oleh politisi itu? Sepetinya,
Ahsanul Qasasi hanya melihat satu sisi, tidak dengan sisi lain. Artinya,
Ahsanul masih bisa disebut tokoh politik yang “ambisius” ketika menafikan sisi
lain dari persoalan mendasar yang akan menopang sebuah kedaulatan yang
dimaksudkan.
Berdirinya provinsi
Madura bukan sesuatu yang tidak mungkin, tetapi ketika mengabaikan banyak hal
seperti persyaratan administratif, apalagi mengabaikan kearifan lokal karena saking
ambisiusnya, maka provinsi Madura sudah “cacat” moral. Jika cacat moral, maka
bisa dibayangkan wajah provinsi Madura di masa yang akan datang.
Madura tidak perlu
menjadi provinsi jika hanya untuk menyejahterakan akyatnya, tetapi cukup
pemimpinnya tegas dengan kebijakan-kebijakannya yang memihak kepada rakyat,
maka semuanya bisa menjadi beres. Jika uang migas saja dengan mudahnya masuk
kantong sendiri, bagaimana mungkin rakyat sejahtera? Maka tidak masuk akal jika
alasannya karena pemerintah provinsi menganaktirikan Madura. Statemen atau
argumentasi macam itu hanya modus belaka. Tetapi memang begitulah modus. Selalu
bermula dari omong kosong dan itu akan bermetamorfosis jika tidak dilawan.
Sumenep, 13 November
2013
0 Comments