Sembilan Oktober 2015,
saya mendampingi anak-anak Sekolah Menulis Forum Lingkar Pena (FLP)
Ranting Hidayatul Ulum, Sumenep ke puncak Payudan untuk acara Writing Camp, dan
Pelantikan Pengurus FLP Pereode 2015-2016. Saya baru pertama kali ke puncak
itu, sekaligus pertama kali memasuki gua-gua yang konon digunakan bertapa oleh
orang-orang sakti seperti Joko Tole, Potre Koneng, Adi Poday, Bindhare Saod,
dan yang lainnya.
Sekilas, saya merasa
takjub menyaksikan halaman gua dengan aksesoris alami berupa batu-batu berbentuk
makhluk-makhluk yang bergelantungan di bagian halamannya. Aroma mistis sangat
terasa sebagaimana yang dituturkan oleh para tetua. Kisah-kisahnya bisa
ditanyakan kepada para tetua Madura, atau bisa dibaca di buku-buku, atau bisa
diintip di google.
Saya dan anak-anak FLP harus
menaiki tangga menuju ke puncak. Tangganya sudah disiapkan, entah oleh siapa. Apakah
disiapkan oleh masyarakat setempat atau oleh pemerintah, saya tak banyak
bertanya soal itu. Tetapi, pungutan karcisnya yang terkesan liar bisa
menjawabnya.
Menaiki puncak Payudan,
rupanya memerlukan sedikit energi, bahkan membuat nafas sedikit tersengal.
Maklum, Payudan boleh dibilang puncak tertinggi di antara puncak-puncak bukit
yang lain. Orang-orang Sumenep lebih akrab menyebutnya Gunung Payudan.
Sebelum saya dan anak-anak
FLP menaiki puncak, tepatnya disebuah rumah yang menjadi pintu masuknya
orang-orang yang hendak ke gua itu, kami harus dipungut biaya masuk sebesar Rp.
5000,-, dan itu, kami anggap wajar. Namun, ketika sampai di halaman gua, kami
malah dihadang kasus yang sama, dan membuat anak-anak sempat kaget, termasuk
saya sendiri.
Menurut Pak Soleh yang berasal
dari Surabaya, pungutan itu wajib hukumnya dan berbeda dengan pungutan di bawah
tadi. Nominalnya sama. Sama-sama RP.5000,-. Tanpa berdebat panjang, anak-anak
kembali merogoh kantongnya, meski saya lihat wajah-wajah mereka keberatan.
Keberatan, karena seolah pungutan itu adalah hal yang paling utama di tempat
itu, dan terkesan memaksa. Bukti memaksa, karena si penjaga bernama Pak Soleh yang
berambut gondrong itu masih menghitung uang dan jumlah rombongan. Seolah, kami
tidak jujur.
Selama ini, Gua Payudan
dikenal sebagai wisata religi, namun sayangnya telah dimanfaatkan secara “liar”
oleh segerombolan orang yang tidak bertanggung jawab demi keuntungan pribadi.
Pemerintah sangat tidak kreatif mengelola peninggalan kekayaan peradaban itu.
Barangkali, karena tempat itu tidak menghasilkan minyak seperti di Pagerungan, dan
tempat-tempat lain.
Kita tinggalkan cerita
pungutan liar.
Kami melanjutkan
perjalanan memasuki lubang-lubang kecil yang ternyata di dalamnya cukup lebar,
dan cukup nyaman untuk orang-orang putus asa yang ingin bertapa. Gua pertama
yang kami tuju adalah pertapaannya Joko Tole yang sudah Kalonta (terkenal)
kisahnya di tengah-tengah masyarakat, bahkan pemerintah mengabadikan kuda
terbangnya yang berjejuluk Mega Remeng dibanyak tempat. Di tempat
itu, kami melakukan tawasul, yaitu berdoa dan sedikit senyap dalam
semadi.
Sekitar 10 menit, kami
keluar. Udara segar segera menembus paru-paru kami. Saya tak habis pikir,
bagaimana mereka bertirakat ditempat itu dengan oksigen yang tidak normal?
Sulit dijangkau akal, karena saya tidak mengalaminya.
Kemudian, kami melanjutkan
perjalanan ke tempat Potre Koneng, ibunda dari Jokotole. Kami harus merangkak
memasuk lubang yang serupa lubang ular itu. Di dalamnya, ternyata juga lebar. Pengunjung
bisa berdiri, dan berbaring. Suasana terasa hening, ketika kami larut dalam
kegelapan sambil merapal doa-doa yang menurut para tetua, pertapaan Potre
Koneng masuk tempat sangat keramat.
Pak Soleh juga menjelaskan,
bahwa Presiden Soekarno pernah bertapa di tempatnya Potre Koneng. Saya tidak
paham, dari mana Pak Soleh mendapatkan riwayat perihal itu. Saya hanya
menganggapnya mengada-ada, dan 99% tidak percaya.
Sepuluh menit kemudian,
kami keluar dan berkumpul di beranda gua yang cukup lebar dengan hembusan angin
yang sepoi-sepoi. Beberapa gua yang terlihat dari beranda, juga menampilkan
tempatnya Bindhare Saod dan Adi Poday bersemadi. Kami tidak masuk, karena hanya
seukuran tubuh manusia.
Gua Payudan, saya kira
memang layak dijadikan pertapaan untuk mendapatkan wangsit, atau barangkali bisa
dijadikan tempat tafakur akan kemelut hidup. Selain karena tempatnya yang
sunyi, ketinggian gua Payudan juga menambah nilai mistisnya.
Setelah mengabadikan
nilai-nilai mistis yang menempel pada gua-gua, seperti batu yang menyerupai
ular dan buaya, saya mengikuti pelantikan Pengurus FLP Ranting Hidayatul Ulum
pereode 2015-2016. Kali ini, FLP yang saya bina di pimpin oleh Hayyinah. Ketua
Cabang, Khairul Arifin Angwa, menjadikannya formal sebagaimana FLP lain di
seluruh tanah air.
Perjalanan Writing Camp
merupakan upaya untuk menyegarkan imajinasi dan daya tulis anak-anak FLP,
setelah sekian waktu berkutat dengan diktat di dalam kelas. Tahun ini,
anak-anak FLP lebih bersemangat. Mereka sudah menyiapkan serangkaian acara,
mulai dari studi banding, pembukaan FLP Kids, demonstrasi FLP di kecematan
Ganding kerjasama dengan kepala desa, dan setumpuk acara lainnya.
Kegiatan anak-anak FLP
mendapat apresiasi dari Pengasuh Pesantren Hidayatul Ulum, Kiai Qusay, sepanjang
bermanfaat untuk diri mereka sendiri dan masyarakat sekitarnya. Dan, saya
berharap, aktivitas mereka (kelak) mendapat apresiasi positif dari stake
holder lain yang memiliki kompetensi untuk sebuah perubahan, termasuk dari sesepuh
FLP Cabang, Wilayah, hingga FLP Pusat. Paling tidak, mereka mendapat tambahan
energi untuk tidak berputus asa menulis.
Sore, menjelang deadline
dari pesantren, kami segera turun gunung. Wajah anak-anak FLP terlihat riang,
meski sisi lain otot-otot mereka pegal, karena harus melawan tanjakan dan jalan
menukik yang berbatu karena aspal sudah terkelupas, akibat dikerjakan
asal-asalan. Saya berharap, pemerintah melestarikan tempat itu, sebelum masyarakat
memvonisnya tidak BECUS.
Sekian, kisah singkat
perjalanan Writing Camp dan Pelantikan FLP Ranting Hidayatul Ulum yang dimulai
usai salat Jumat dan diakhiri menjelang matahari terbenam.
Anak-anak FLP akan
melanjutkan program lanjutan untuk meningkatkan mutu menulis dan berorganisasi.
Saya, masih bersedia menuntun mereka. Semoga Allah masih menguatkannya.
Sumenep, 15 Oktober 2015
0 Comments