pendulang ilmu pemantik bintang
berharap hidupnya gemilang
tak gamang jalan pulang
meski lama melanglang
mari, papar panjang-panjang
siapa sang Bujang?
Biang Tanah Gersang
ketika bujang pulang
kakinya menginjak tanah tandus nan malang
kering-kerontang
membentang sepanjang pematang
dada bujang meradang serupa terjangan menjangan
sebab tak tega tanah menjelma tanah liang!
Bujang menatap ke depan
melempar pandang ke belakang
matanya nanar menatapi tanah-tanah berlubang
bergelimang gersang
Bujang semakin garang ingin segera mendulang gemilang
matanya menusuk bagai mata elang
jiwanya ngalengsang.
Dada bidangnya mendendang:
“percuma aku datang bila gagal mendaur ulang
tanah tandus harus mendulang keberuntungan
dan aku siap
menjadi dalang penghilang bimbang
bagi penduduk kampung yang patah harapan!”
Watak bujang watak pejuang
pewaris gairah buyut Samman
yang meninggal di tiang gantungan
lantaran menentang penjajah Jepang
Bujang hidup hendak membalas dendam
hingga nyawanya diantar ke tanah liang
tapi musuh bebuyutan telah berpulang
kini tinggal bencana kekeringan
akankah Bujang tetap berjuang?
lihatlah sekarang!
tanah kerontang menantang
bujang
menatap sarung yang berselempang
agar menabur keselamatan
Bujang melangkah tanpa gamang
demi kampung halaman ia berseru dengan lantang:
“untuk apa
kembali pulang
bila hanya
pesakitan menghantam tulang
kini aku telah
pulang dari tanah tualang
jatah peluang
tanah tandus nan gersang”
Usut Cerita
di pesantren Bujang
dibimbing makna imbalan tanpa bayaran
menggadai hidup hanya untuk Tuhan
dan Tuhan menyelip
janji sejuta menang
pada setiap insan
pembusung iman
itulah muasal Bujang bangkit berjuang
Bujang tak perduli matahari memanggang
jiwanya melangkah pada setiap jengkal tanah gelombang
demi cita-cita agar tanah kelahirannya kembali berkilauan
bertunas permata, berkembang uang
Bujang berseru pada segerombolan orang:
“kekeringan bukan kehendak Tuhan
salah kalian yang tak berperikemanusiaan
membabat hutan sembarangan tanpa perhitungan
akibat ulah
yang kalian tuangkan
kita menderita tujuh turunan
hingga
bebatuan dan segenap
binatang-binatang”
Bagi Bujang, pulau adalah impian masa depan
tempat anak-cicitnya menyongsong
langit terang
itulah sebabnya Bujang
wajib berjuang,
menata kembali yang tergelimpang
pada suatu siang, bujang datang pada tetua kampung
berujar dengan tenang:
“bilamana musim penghujan datang,
rintikpun enggan tertuang
kenapa tuan-tuan
diam?
tidakkah tuan
curiga pada kenyataan?
ketika pulau seperti menguapkan bara setan
yang hanya mencipratkan panas tak
kepalang?”
tetua kampung membalas luapan Bujang:
“beruntung engkau
datang Bujang
pertanda Tuhan
memberi jalan kesadaran
bahwa bumi kampung
tak bakal terpanggang”
pada musim panas,
para penghuni kampung seperti
ditindas
dilindas, diperas!
karena terlalu panjang
menanti tumpah hujan deras
penghuni tergilas,
memelas, mengenas, tak tuntas-tuntas.
tak satu pun pejabat dan politisi datang mengulas
apalagi mengelus
kalau pun ada,
hanya basa-basi belaka
sarat kepentingan
politis nan culas.
penduduk kampung mudah terlena rayuan gombal
membiarkan pejabat dan
politisi mengelus-ngelus pundaknya
lalu dirinya
rela ditendang tanpa merasa
bodohnya penduduk kampung tak kepalang
tak ketulungan.
setelah suaranya
dilacurkan begitu saja
nampak nyata
berbagai ketimpangan
melanda
penghuni kampung terus menuai celaka setiap masa
tanpa jeda untuk
sekadar tertawa.
di hari belakang
kering-kerontang menjelma Global Warming
proyek baru para
pecundang untuk meladang uang
mengusung aroma
kekeringan panjang
yang belakangan
ternyata bohongan.
Bujang tak perduli
perang saraf elit global warming
Bujang membiarkan
konspirasi digempurkan kaum jalang
bujang hanya tetap berjuang tanpa mengemis bantuan
demi rakyat sekarat yang mengerang kesakitan.
Bujang tak nyenyak sepanjang
petang
memikirkan derita
pulau, tempat ari-arinya di semayamkan
pikirannya kerasukan
penderitaan orang-orang
yang mengayuh sepeda onthel
mulai pagi hingga petang
hingga matahari kembali
bersinar terang
orang-orang tak
perduli jalanan berbatu nan
tajam bagai ujung pedang
hasil koruptor punggawa
desa penyeleweng anggaran tak berbilang
yang tak tersentuh kebijakan
pengadilan binatang
derap sepeda terus
melaju menuju ujung pulau
sumur Beringin, tempat satu-satunya
sumber air mengalir
berteduhnya semua semut dan
umat
bertumpuknya semua
keringat
mereka terus
mengayuh, tak perduli
matahari menyengat
dadanya
bergemuruh, semangatnya mengkilap
semakin menghangat demi
seteguk air yang menciprat
bertarung dengan kiamat meraih nikmat
mata air surut entah
kemana?
pelan-pelan hilangnya, tak terduga, tak disangka
tak dinyana.
sumur-sumur kering
menggaring
berkali-kali umat
menggalinya
tapi mata air semakin mengering
kalau pun ada, mata air tak
mampu bertahan lama
bila diminum perut menjadi celaka
diserang muntaber tak berjeda
salah manusia!
Derita Berikutnya
tibalah saatnya gaung penyakit melanda Raja
diare merajalela, rakyat semakin
celaka
tangan pemerintah
terlambat datangnya
maklum, mereka
masih menghitung untung rugi untuk saku bajunya
Celaka Berikutnya
suatu hari yang tak
terlacak di almanak
bantuan desalinasi muntah dari kantong negara
nilainya 1,6 milyar
kegembiran bertebaran
di wajah-wajah penduduk yang dibalut derita
ada harapan di pelupuk matanya,
tapi sial!
di lapangan
pelaksanaannya bikin mual
hasil penyulingan
dijual dengan harga mahal.
Bantuan desalinasi
tidak berfungsi
tak ada sama sekali
hanya proyek pejabat negera yang berdasi
cara lain untuk korupsi
dua bulan kemudian, semua fasilitas desalinasi raib
terbengkalai di balai
desa dalam keadaan sekarat”
siapa yang bertanggung jawab?
Bujang semakin
terpukul dadanya
tak tega menyaksikan
masyarakat berkalang derita
tak tahu solusinya,
dan hanya menjadi proyek pesugihan kaum durjana
orang-orang menjadi
bodoh, enggan diajak
bicara
kecuali hanya masalah
harta
mereka terperangkap
dalam kidung cintanya
cinta dunia semata
masyarakat semakin
tersiksa
tak hanya paceklik air, deare, dan
korupsi,
mengganggu mereka
tapi nafkah keluarga kian mendera
Bujang tak punya kuasa
hanya jerit tak berdaya yang melanda hidupnya
dan Bujang hanya bisa bersuara
maka serentak!
setiap keluarga bertarung
melawan ancaman nista
sebab pulau sudah tak
bisa diharapkan bak surga
semuanya putus asa
Sangtasangsang tanpa tahu batas ruang
dan petanya
akibat kekeringan
yang tak kunjung berakhir
umat penghuni pulau jadi
galau
mereka eksodus dari
tanah tandus
menelikung pada
kehidupan baru
meski hanya berpapas
dengan andropogon
nardus
yang menjanjikan
selindas masam peredam haus
tak hanya itu,
mereka merantau entah
kemana
lalu tak pernah kembali
lagi ke pulau Raja
serupa sirna ditelan masa
tersiar kabar
perantau tak sabar
mereka menjarah
bagai kaum barbar
otaknya berisi uang berlembar-lembar
Bujang semakin gelisah
serupa orang putus asa dilanda resah
idealismenya lumpuh dalam rapuh
Bujang bangkit
ia tuangkan resah pada
sujud panjang
tahajud yang berkah
sepanjang malam melawan lelah
sebab dirinya tak mau
kalah
agar gamang tak datang menjajah
orang-orang pulau, berpendidikan rendah
lulusan pesantren
Madrasah Aliyah
merasa belum cukup umur
memikirkan hal-hal megah
masyarakat limbah
mereka hanya tahu
mengaji tanpa tahu arti
paling tinggi pintar membaca barzanji
saat akad nikah anak-anak usia dini
yang dilestari hingga hari ini
Bujang tak putus
harapan
demi pulau di masa datang
ia pun benar-benar menerjang
Bujang memikirkan strategi juang
agar umat melakukan sembahyang
tak menentang perintah Tuhan
sebab menurut Bujang
musibah kekeringan akibat pembangkangan
termasuk sekelompok
penduduk
yang menamakan dirinya grup pettheng
: para pembunuh bayaran
berkedok uang
mengatasnamakan
kebenaran
Bujang Meniti Juang
setiap petang Bujang mengaji peluang
mencari jalan ke luar disetiap timpang
bagai leleki kurus yang memikirkan hutang
kongkolusinya mengejutkan:
perzinahan
perampokan
pembunuhan
pemerasan
persekongkolan
:penebangan
sembarangan
berakibat erosi
:penambangan pasir liar
berakibat abrasi
Bujang menulis kesimpulannya pada seutas kertas
dibuat proposal sebagai
penjelas
demi kesejahteraan umat yang diserang panas
dan penderitaan yang kian mengganas
Bujang menjadi buah bibir seluruh kampung
bak bintang terang
karena bernafsu mengalahkan musibah busung
kata mereka:
“tak mungkin Bujang
mengalahkannya
maksiat sudah
merajalela
penduduk bebal
jiwanya
sebagian bebal
hatinya
mana mungkin
bisa?”
Bujang terus meradang
tak perduli orang-orang mengahantam dengan kelewang
niat sucinya harus mendapat ruang dan sejuta dukungan
meski sejuta ejek mengiang-ngiang
Bujang datang pada haji
Imam berharap dukungan,
tapi sial, haji Imam
bersitegang:
“itu mustahil dilaksanakan
dosa umat sudah
karatan
hanya menunggu
luap lautan selat tumpah ke daratan
penghapus dosa
para dedengkot kemaksiatan.”
Bujang nyaris putus harapan
orang-orang enggan rembukan
mereka sibuk mencari sesuap makan
tak lagi menghiraukan ketentuan Tuhan
apalagi kesepakatan kehendak Bujang
dengan haqqul yaqin, Bujang masih saja meradang
hatinya terus-terusan dilanda posang
sebab kakinya tak leluasa menendang
dengan mesin ketik manual kumal
Bujang kembali menyuguhkan proposal
pada para tetua yang buntu otaknya
isinya mengusung cinta dan perubahan
dada para tetua membusung
lidahnya menyambung
“itu tak mungkin dilakukan!
jangankan anak yang baru datang
dari tanah tualang
para tetua yang
sudah bergelimang
akhirnya bernasib
malang!”
Dada Bujang berdebar
kepalanya terbakar
idealismenya dilempar
selaksa harga
tembikar yang kasar
Bujang coba pejamkan
matanya ke dalam gelap
menguaplah segala yang bergulat
para tetua belum siap bersikap
sebab sudah lama
pikirannya disekap penguasa laknat
hari itu Bujang berusaha membuka mata para tetua
sentrongkan cinta mata buta mereka
agar mampu membangkitkan kembali
kematian pulau yang lama durja
kalaulah tetua agama tak bisa diajak bicara
tak bisa mendukung
rencana besarnya
maka punggawa desa tak mengabulkan ide-ide besarnya
sebab sabda para
tetua sangat berharga
tengah malam Bujang bangun
tengadah di keheningan petang
menyerukan ampunan untuk penduduk kampung
sebab harapan terakhir
hanya Tuhan yang Maha Rahman
Bujang bentangkan
proposal ketikan manual
tepat di atas sajadah
panjang yang kumal
lembar demi lembar benar-benar
ia papar
agar Tuhan tak pula
melempar
seperti para tetua yang tak paham antara salah dan benar
di hadapan Tuhan, di
atas sajadah kumal
Bujang tak merengek
dan tak pula bersimbah air mata penyesalan
disampaikan impiannya
menyemat harap
untuk mendekap umat
yang terus dihantui sengat
esok siang setelah
mengeluarkan keringat
karena memacu sepeda onthelnya
yang karat
Bujang kembali
membolak-balik proposal untuk kehidupan
di masa yang akan
datang
semangatnya tak padam
gelora juang terus
meradang seperti pejuang ’45 yang tak sudi dikalahkan
seolah tadi malam,
Tuhan telah menyematkan lencana gemilang
agar tak melenceng dari jalan kebenaran
Sambung teman Bujang yang ikut meradang:
“tentu saja, dimana-mana, hanya semangat
baja
yang mampu menaklukkan banyak kenyataan
bukan janji palsu para politisi yang ngumpet
di gedung senayan
dengan sejuta alasan sambil mengintimi
jatah rakyat yang
hendak ditilep,
atau;
bukan persekongkolan antara tikus dan kecoak
yang mempermainkan nasib rakyat yang diamanat atau;
bukanlah rakyat yang hanya pandai
mengumpat dan menjilat
sudah saatnya semangat saling merapat
menyuarakan kebenaran tak bisa dilangsungkan
dengan satu akal sehat
harus berjamaah di antara belantara
persepsi yang berbeda-beda
dan tak juga terpecah-belah!
Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh”
kini Bujang tak sendiri lagi
beberapa teman ia dapati
ia rasuki
mereka empati
seru Bujang:
“kunamai kalian Pasukan Garuda,
agar semangatmu membaja”
Bujang tak berjeda berpikir
mencari jalan idealisme
pembebasan,
agar tidak parkir
tak hirau jalan
terjal yang membuat kaki
terkilir
bahkan licin dan
membuat para pendaki tergelincir
sudah mafhum,
di mana-mana kebaikan berbentur
dengan kejahatan, atau
paling tidak ada
palang penghalang
yang tidak seberapa
besar merintang
kuncinya tidak lain
adalah jangan ciut oleh ketakutan
akan ada saja jalan
terbentang
tempat kebaikan
meladang
begitulah yang termaktub dalam dada Bujang
undang-udang yang tak bisa diperjual-belikan
Bujang menemukan
boncengan mengajukan proposal
yang tanpa putus asa
selalu dijajakan
kendaraan itu adalah produknya
sendiri
pada tahun-tahun silam
tepatnya hari Kamis 11
Juli 2002
yang mengalami regenerasi berkali-kali
kendaraan itu bernama
foksi
penumpangnya kaum
santri
hampir seluruh santri
pulau Raja antri
ketika pulang kampung mereka
saling berbagi
bernaung dalam rindang taxi
foksi
foksi menjadi
satu-satunya
kendaraan penduduk kampung-kampung
tempat orang-orang menanam cinta dan malepataka
tempat membuang sampah dan luka
tempat mengeluhkan derita lara
akibat ulah kaum durjana
Bujang menggempur para penumpangnya
dengan ancaman kekeringan nan berkepanjangan
yang akan diwariskan pada anak cucunya di masa datang
agar mereka meregang dan berani melakukan perubahan
dada penumpang foksi bergelora
membara serupa panas kemarau yang celaka
Bujang tak bisa mendiamkan gejolak mereka
mereka harus buka suara pada Tuhan dan;
kaum durja yang telah memerkosanya dengan paksa
Bujang terus saja meradang
setiap pejabat kampung ia ajak berjuang
juga para kaji dan tetua kampung
di masjid dan mushola, Bujang meradang juang
di pasar, Bujang cerita pada para pembeli dan pedagang
di mana-mana Bujang meradang,
bahwa kelak ketika pulau
benar-benar kerontang
mereka akan
menanggalkan jualan
sebab makhluk
kampung sudah pergi tanpa
mandi
tubuhnya busuk sekali
lambat-laun penduduk kampung-kampung
sudah terpasung isu
yang diusung
andai seluruh
makhluk kampung digiring
ke dalam kotak suara,
pastilah kemenangannya menggema
ke seantero persada
rasa putus asa yang
terus dikalahkan
berbuah suka
Bujang girang
penduduk bertaubatan
nasuha
hendak memenuhi tikar pandan
di lapangan Sa’angan
tempat anak-anak
muda bertarung bola
serupa Diego Armando Maradona.
tersiar berita,
separuh penghuni pulau akan
meruah
mengharap berkah tumpah,
termasuk pejabat desa
yang serakah,
karena sering melahap aspal jalan yang terjatah
Bujang bersyukur
mendengar kabar, meski masih kabur
sepanjang petang Bujang tersungkur di atas sajadah panjang
hendak menjadi penyambung
antara Tuhan dan kehidupan liar
dalam hidupnya yang tiada gentar
menjelang pesta hari
raya
di bawah terik matahari
yang kejam
foksi menggelar tikar
pandan dan sedikit perindang
yang dipinjam dari
saudagar kaya meski berbayar
TOA melebihi astron menyalak dari telinga-ketelinga
shalawat penggugah hati
yang mati,
membahana
penduduk kampung datang
satu, dua, tiga,
orang-orang merentang sorban dan
selendang
menggelar sajadah
panjang di atas tanah lapang
yang pecah-pecah serupa
jurang
taubatan nasuha
mimpi Bujang jadi
kenyataan
namun,
hingga jam sepuluh
siang, orang-orang segelintir
datang
sa’angan masih
kosong
hati bujang kecewa tak terhalang
memandang tanah lapang hanya
beberapa orang
pejabat tak seorang
pun bertandang
Seru Para Bujang
“apa tak celaka, bila ajakan taubatan nasuha
hanya dianggap angin belaka
kerjaan anak kecil bahu kencur
dianggap melangkahi batas teritorial
para punggawa
kampung
bagaimana, Tuhan
akan menurunkan rahmatnya dari langit
bila penghuni kampung-kampung enggan
memanjat istighfar?
Bagaimana mungkin mata air akan
tumbuh,
hujan runtuh,
bila kampung-kampung
dipenuhi dosa-dosa
hubbuddun-ya,
merasuki dada
mereka.
setelah di tanah
lapang,
jamaah foksi
bersidang
berbela sungkawa
atas ulah para pecundang yang tak datang
Bujang berkata lantang:
“kita telah berhasil
selanjutnya reboisasi
tak usah hiraukan
mereka
meski hanya
segelintir orang di tanah lapang.”
tanpa bimbang, Bujang melantang juang
pada kaum Bujang yang dikumpulkan
“kita tak rugi
jangan pikir bulir keringat yang mengucur
biar Tuhan yang memutuskan
ini bukan jalan
perih
ini jalan jerih
tanpa pamrih”
berapi-api Bujang
menebar semangat,
menebar sengat
“masih banyak rencana yang belum kita rampungkan.
Hidup tak boleh
digadaikan,” serunya lebih jauh.
Reboisasi Bukan Mimpi
sepanjang perjalanan
mewujudkan penghijauan
seiring hujan berjatuhan
kaum Bujang menanam penghidupan untuk hari depan
mulai batang pisang hingga batang kelor yang memanjang
meski tak ada kepastian, penghijauan tetap berjalan
tak perduli apa kata orang
tak perduli cibiran
tak perduli penghargaan
pengabdian tetap dilaksanakan
lambat-laun kampung-kampung merasakan penghidupan
Bujang menghilang!
Bujang jadi Bintang
--------
Madura, 8 Oktober 2013
0 Comments