A. Iftitah
Unsur vital dalam karya prosa fiksi adalah unsur ekstrinsik dan intrinsik.
Kedua unsur itu ‘wajib’ ada dalam setiap rangkai cerita. Jika tidak, maka
sangat boleh jadi cerita itu akan cacat dan pembaca akan menanggalkannya begitu
saja. Namun, kedua unsur tersebut bukanlah sesuatu yang menakutkan, sehingga
penulis pemula tidak perlu menjadi surut dan ciut untuk menjadi juru cerita.
Setidaknya, dua unsur tersebut menjadi literatur awal sebelum menorehkan
cerita, agar terbuka jalan lapang sehingga tidak tersesat.
Penulis
pemula yang—misalnya—kebingungan dengan dua teori di atas, sebaiknya tidak
dijadikan mazhab atau rujukan saat menulis ceritanya. Tulis saja yang dalam
benaknya, tanpa terkungkung oleh dua unsur mengerikan itu. Tetapi yakinlah,
bahwa dua unsur adalah penunjuk jalan untuk menjadikan sebuah cerita nyaman
dibaca.
Baca,
renungkan, khayalkan, lalu tuangkan dalam bentuk tulisan. Jangan ragu dan
takut, karena semua cerita yang dihasilkan akan menemukan tempat singgahnya
sendiri-sendiri, atau akan menemukan komunitas pembacanya sendiri. Takut tidak
bagus, takut jelek, takut tidak menarik, adalah penyakit yang akan menggagalkan
impian semua orang.
B.
Unsur Ekstrinsik
Unsur
Ekstrinsik menurut Prof. Burhan Nurgiyantoro dalam buku Pengkajian Fiksi,
adalah segala sesuatu yang ada di luar teks cerita fiksi, tetapi
sebenarnya—tanpa disadari—sudah merasuk ke dalam cerita itu sendiri, karena
unsur ekstrinsik adalah ‘nilai’ yang berkembang di sekitar penulis, misalnya
nilai-nilai agama, budaya, politik, sosial, dll. Misal, nilai agama yang
akhir-akhir ini mengalami benturan ideologi antar sesama pemeluknya, saling
maki, mengafirkan, dan sebagainya. Contoh lain adalah politik, yang akhir-akhir
ini telah menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaannya, atau masalah
sosial yang saat ini sangat rumit, mulai dari perampokan pembunuhan, pelecehan
seksual, pembantaian, hingga korupsi yang merajalela.
Semua
itu menjadi unsur ekstrinsik yang (kadang oleh pemula) tanpa disadari
berpengaruh dalam penulisan prosa. Segala sesuatu yang terjadi di sekitar
pengarang/penulis akan terlibat secara otomatis. Itulah unsur ekstrinsik.
C.
Unsur Intrinsik
Selain
unsur ekstrinsik adalah unsur intrinsik. Unsur ini sangat menentukan
pembentukan cerita. Tanpa unsur-unsur intrinsik, maka cerita akan pincang.
Misalnya, cerita tanpa alur yang logis, sudut pandangnya kacau, atau latarnya
tidak konsisten. Berikut unsur-unsur intrinsik yang seharusnya ada dalam prosa.
1. Tema Cerita
Tema cerita adalah sentral cerita yang harus
dimiliki oleh pengarang sebelum menulis ceritanya. Misalkan tema cinta,
persahabatan, kesetiaan, kemerdekaan, pendidikan, dan sebagainya. Tema akan
membatasi seorang pengarang, agar tidak ke mana-mana saat menulis ceritanya,
meski terkadang ada tema-tema kecil, tapi itu pun tidak cukup berpengaruh pada
tema pokok.
2. Penokohan
Setiap cerita pasti ada tokohnya, termasuk tokoh
utama, tokoh figuran, atau tokoh-tokoh lain yang terlibat penuh di dalam cerita
fiksi. Pengarang bisa menjelaskan karakter tokoh-tokoh rekaannya baik dengan
menggunakan narasi mau pun dijelaskan dengan tindakannya. Misalnya tindakan
tokoh yang baik, atau tindakan tokoh yang jahat semisal suka membunuh, mencaci,
mencuri, dan lain sebagainya.
3. Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan posisi pencerita dalam
sebuah kisah. Sudut pandang yang paling sering digunakan adalah sudut pandang
orang pertama, “AKU” atau sudut pandang orang ketiga, “DIA.” Sudut pandang
orang pertama biasanya dibatasi oleh panglihatannya sendiri, artinya tidak bisa
menceritakan perilaku tokoh-tokohnya secara detail. Berbeda dengan sudut
pandang orang ketiga yang serba tahu. Sudut pandang orang ketiga tak dibatasi
oleh ruang dan waktu. Dia ‘maha’ tahu segala sesuatu yang ada di dalam cerita,
bahkan yang terbersit di dalam hati tokoh-tokohnya, dia mengetahui semuanya.
4. Alur Cerita
Alur cerita berkaitan erat dengan kondisi
imajinasi pengarangnya. Jika mentok imajinasi si pengarang, maka tamatlah
ceritanya sebelum klimaks. Alur merupakan detail peristiwa dari waktu-kewaktu
yang perlu dipertahankan hingga selesai. Maka, jagalah imajinasi agar tidak
mati. Caranya, bisa dengan terus menambah bahan bacaan yang bersangkut-paut
dengan cerita atau mencari inspirasi lain yang berkait dengan cerita yang
tengah ditulisnya.
5. Latar Cerita
Latar adalah tempat di mana cerita/peristiwa itu
muncul. Gunakan latar yang sudah dikenalnya, agar tidak meracau/ngawur saat
menulis. Detail latar sangat penting untuk menggiring pembaca pada suasana yang
sudah didesain oleh si pengarang, agar pembaca terhipnosis sehingga terpengaruh
dengan suasana yang tercipta.
6. Amanat
Amanat merupakan pesan moral. Bisa juga disebut
visi dan misi penulisnya, yang dikemas ke dalam tema yang sudah menjadi cerita untuk
memengaruhi pembacanya. Misal, temanya Cinta. Maka, pesannya boleh: “Cinta
Energi Kesetiaan”, atau Cinta Sejati adalah Setia”, Perempuan Paling Setia”,
dan lain sebagainya.
D.
Penulisan
Penulisan cerita fiksi sebaiknya menggunakan Ejaan
Yang Disempurnakan (EYD), sekalipun lain waktu menyelipkan bahasa daerah atau
menjadi boleh ketika terjadi di dalam dialog. Tapi, itupun harus dijelaskan
dengan catatan kaki agar pembaca tidak putus pemahamannya. Penulisan titik,
koma, tanda kutip, dan lainnya sangat perlu untuk diperhatikan.
Penulisan yang benar akan menjadi point positif ketika dikirim ke penerbit atau
media, karena biasanya penulisan yang benar menjadi standar kemampuan
penulisnya.
E. Penutup
Jika hal-hal di atas terasa rumit dan pikiran
semakin kalut, maka sebaiknya ditinggalkan. Langsung saja tulis apa yang
membandel di dalam benaknya.
0 Comments