Pendahuluan
Menulis adalah aktivitas intelektual yang
melibatkan dua komponen penting yaitu, membaca dan penelitian. Kerja yang
berorientasi otak ini memiliki efek samping yang dominan untuk menciptakan
perubahan, baik perubahan pemikiran, budaya, bahkan perubahan peradaban. Maka
tidak heran jika, Winston
Churchill mengatakan bahwa, "Pena lebih tajam daripada pedang."
Artinya, kehebatan pena (tulisan) sangat dahsyat, bisa mengubah banyak hal,
bahkan bisa menghilangkan nyawa. Seorang panglima perang Perancis, Napoleon
Bonaparte juga pernah berujar, "Saya lebih takut pada pena daripada
seratus meriam." Sebab, pena membunuh orang secara pelan-pelan, dan
pdang hanya sekali tebasan.
Saya
sendiri pernah berkirim surat kepada ketua Yayasan meminta memecat kepala
sekolah yang terlibat manipulasi KF (Keaksaraan Fungsional), dan seminggu
kemudian kepala sekolah tersebut diberhentikan dari jabatannya. Hanya dengan
bermodal tulisan 4 lembar halaman, tulisan saya bisa menghentikan angkara murka
tanpa harus demonstrasi.
Ternyata
kekuatan pena dahsyat sekali. Saya semakin yakin bahwa tulisan bisa mengubah dunia.
Maka, mengapa kita tidak menulis untuk menyampaikan pesan, semisal dakwah bil
qalam, pesan-pesan politik, atau (bagi remaja) ayat-ayat cinta, petuah-petuah
bijaksana, dan sebagainya?
Seorang
seperti saya yang lahir dari seorang nelayan dan petani tulen di tanah pulau,
tidak pernah bermimpi duduk di depan audien memberikan ceramah. Dan, saya sudah
melakukannya dibanyak tempat. Mereka mendengar, mereka menghargai saya, mereka
membayar saya, dan mereka membaca karya saya. Begitulah (di antaranya) Allah
mengangkat derajat seseorang. Terima kasih, Tuhan.
Hanya
dua karya novel dan beberapa tulisan di koran, saya sudah bisa membuat schedule
mengisi seminar, workshop, bedah buku, sekolah menulis, dan lain-lainnya.
Benarlah pesan Imam al-Ghazali, “Jika kamu bukan anak seorang raja, bukan pula
anak ulama ternama, maka menulislah.” Pesan sederhana yang sangat saya rasakan karena
saya telah mengalaminya. Dahulu, saya hampir tak memercayai petuah itu. Maka,
jangan bersikap seperti saya tempo dulu. Menulislah segera, sebelum tua seperti
saya.
Menulis
tidaklah serumit membayangkan wajah kuntilanak atau pocong, cukup bermodal
kosakata (caranya banyak membaca), dan sebatang pena untuk menuangkanya, maka
jadilah tulisan. Lalu, sebarlah tulisan itu agar bisa memberi manfaat kepada
sesama. Dan, berharap menjadi berguna bagi sesama agar di alam kematian kita
berlimpah kebaikannya. Tulisan akan mengabadikan penulisnya serupa ulama-ulama
yang sudah wafat berabad lamanya.
Sekali
lagi, menulis tidaklah rumit. Mungkin—sementara—cukuplah petuah Stephen King
digunakan sebagai dalil, “Tak ada jalan pintas menjadi penulis, kecuali membaca
dan menulis itu sendiri.”
Aktivitas
membaca sebenarnya bukan dalilnya Stephen King, tetapi dali asli dari Allah
untuk umat manusia apa pun agamanya. Muslim Kordoba pada abad ke-10 mengalami
masa-masa keemasan karena membaca dan menulis. Konon, tumpukan buku yang
dibuang ke laut merah bisa dilalui oleh pasukan berkuda, dari saking banyaknya
karya-karya mereka pada waktu itu. Namun, petaka menimpanya ketika kaum salib
mengalahkan mereka dan membakar karya-karya monumental itu.
Membaca
akan memperluas wawasan, menambah kosakata, menambah informasi, bisa melakukan
rekonstruksi pemikiran, tidak menjadi ekstrim ketika melihat pemahamannya
sendiri berbeda dengan orang lain, tidak menjadi stagnan ketika berbicara
dengan orang lain. Intinya, membaca akan membebaskan manusia dari kebodohan,
dan kejumudan berpikir.
Hanya
orang-orang yang kaya kosakata yang bisa menulis, sebab mustahil orang yang
fakir kosakata bisa merangkai kalimat-kalimat hingga menjelma menjadi
pesan-pesan yang bijaksana.
Menulis
Menulis,
bukan pula ajaran Stephen King. Menulis, jauh hari sudah “diperintah” oleh
Allah secara tersirat. Pesan tersirat bisa dilihat pada kitab suci al-Quran,
surah al-Qolam ayat 4 sampai ayat 5. Jika ini sudah jelas sebagai keajaiban
dari Allah, maka mengapa kita masih menyia-nyiakannya? Mengapa kita masih diam
untuk tidak menulis dan hanya berleha-leha dengan makhluk tak berguna macam handphone?
Mengapa
kita kalah pada Stephen King yang bukan muslim itu? Jangan biarkan orang-orang
di luar kita mencuri keajaiban dari kitab suci. Kita (umat Islam) lebih berhak
untuk mendapatkannya. Bacalah ayat-ayat Tuhan, lalu rasakan khasiatnya.
Banyak
ragam tulisan yang bisa kita pakai untuk menumpahkan ide, gagasan, yang
mengendap dalam pikiran kita. Kita bebas memilihnya sesuai dengan batas-batas
kemampuan kita. Hanya saja saya lebih menyarankan untuk memili tulisan fiksi
dengan genre sastra prosa seperti puisi, cepern, novelete, dan novel. Genre
sastra lebih bebas tanpa ada tuntutan menampilkan literatur sebagaimana karya
tulis ilmiah. Tetapi, bukan berarti menafikan pelajaran tulis-menulis karya ilmiah,
karena bagi yang akan masuk perguruan tinggi tak akan lepas dari tugas-tugas
penelitian ilmih.
Jangan
khawatir, tulisan ilmiah lebih mudah dari tulisan fiksi yang selalu bergumul
dengan kekutan imajinasi. Syaratnya hanya tiga: data, literatur, dan
argumentasi penulisnya sendiri berdasarkan hasil pemikirannya, bukan hasil
plagiasi karya orang lain atau asal kopas dari internet. Mudah bukan?
Memilih
Tulisan Fiksi
Mengapa
memilih tulisan fiksi. Inilah riwayatnya. Mari baca baik-baik dan renungkan
hingga mendarah daging, lalu bersemangat menjadi penulis.
1.Modalnya
Sedikit
Ternyata,
menulis fiksi lebih gampang terutama bagi pemula. Penulis pemula bisa menuangkan
idenya dalam bentuk cerita pendek, puisi, novelet, novel, dongeng, dan
sebagainya. Syarat menulis fiksi hampir tidak ada, selain hanya imajinasi.
Imajinasilah yang memiliki peran penting dalam menulis karya fiksi. Tanpa
imajinasi, seorang professor sekali pun tak akan mampu membuat karya cerpen
atau novel. Lebih sedikit lengkap, modalnya hanya data, referensi, dan
imajainasi. Sedikit bukan?
Jika
ingin lebih detail dalam menulis fiksi, maka sebagaimana di ajarkan di
sekolah-sekolah, penulisan fiksi harus meliputi unsur intrinsik: tema cerita,
penokohan,sudut pandang, alur, latar, amanat. Namun, penulis pemula banyak yang
gagal ketika unsur-unsur itu simpang siur di dalam benaknya. Penulis pemula
“sebaiknya” menjauhi masalah itu, tatapi bukan berarti tidak memperlajari sama
sekali. Lebih baik langsung praktik menulis.
2.
Mudah Diterima Pembaca
Hampir
semua manusia di muka bumi suka cerita. Tidak ada anak-anak TK yang minta
dibacakan karya ilmiah yang rumit. Mereka, 100% suka dengan cerita-cerita. Bahkan,
seorang guru yang selalu bercerita di dalam kelas lebih disukai daripada yang tidak
sama sekali. Cerita bikin pikiran/imajinasi melayang, dan semua orang pernah
berimajinasi. Tetapi sayang sekali, imajinasinya tak pernah dituangkan dalam
bentuk yang lebih berguna, semisal dikemas menjadi buku.
3.
Cepat Populer
Penulis
yang—meski pun—tidak sepopuler Andrea Hirata, Habiburrahman El-Shirazy, HAMKA,
Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, paling tidak populer di kampungnya sendiri. Sebut
saja Penulis Kampung. Itu sudah bisa dianggap bagus daripada tidak
populer sama sekali. Popularitas akan mengangkat derajat seseorang asal tidak
congkak. Begitu pentingnya popularitas, hingga ada politisi yang rela
menghabiskan uangnya demi meraih ketenaran itu. Seorang penulis, bisa
melakukannya tanpa harus memasang gambar di pohon-pohon bibir jalan.
Percayalah, menulis akan membuat Anda terkenal.
4.
Lebih Abadi
Sebagaimana
tulisan lain (nonfiksi) menulis fiksi juga membuat penulisnya akan dikenang
sepanjang sejarah umat manusia, kecuali ditenggelamkam oleh keganasan alam
macam kaum Sodom yang masuk ke perut bumi. Imam al-Ghazali sudah ratusan silam
wafat, tapi kita masih bisa membaca Ihya’ Ulumuddin. HAMKA sudah lama meninggal,
tapi kita masih bisa mengenalnya dengan cara membaca novel Tenggelamnya Kapan
Van Der Wijck atau menonton filmnya. Pramoedya Ananta Toer sudah lama berkalang
tanah, tapi kita masih bisa menikmati Bumi Manusia, Arok-Dedes, Perburuan,
Drama Mangir, Gadis Pantai, dan karya lainnya. Kita jangan samapai ludes
ditelan tanah. Bersegeralah menulis dan segera cetak jadi buku.
5.
Membuat Kaya
Hampir
tidak ada penulis yang miskin, kecuali penulis pemula yang masih terus
berproses. Meski tidak kaya raya atau tidak kaya harta, paling tidak penulis
kaya pengetahuan, kaya informasi, kaya kosakata, kaya gagasan, dan kaya
lainnya. Dan, Insya Allah kaya harta. Novel Laskar pelangi sudah beromzet 3,6
miliar, Ayat-Ayat Cinta 2,4 miliar, Cinta Sepanjang Amazon karya Mira Widjaya 2
miliar, dan Dewi Lestari dengan Supernovanya mencapai 1,5 miliar, dan masih
banyak lagi yang lainnya.
6.
Sebagai Amal Jariah
Meski
tulisan fiksi, namun memberikan manfaat kepada sesama, maka hal itu akan
berpahala pula. Sebagai sebuah karya yang (mungkin) akan berumur panjang
seperti halnya karya Pram dan HAMKA, maka karya fiksi akan memberikan manfaat,
meski (mungkin) manfaatnya tidak seperti mereka. Si penulis, meski sudah
berkalang tanah, akan terciprat manfaatnya dalam bentuk pahala kebaikan.
Harta
benda akan ludes, bahkan jadi rebutan ahli waris ketika kita sudah tiada,
tetapi kekayaan intelektual yang disebar lewat karya tulis akan mengamankan
diri kita dari pataka macam tersebut.
Tunggu
apalagi. Mulai sekarang menulislah. Bunuhlah rasa takut, rasa tak percaya diri,
dan rasa pesimis lainnya. Allah tidak akan menyia-nyiakan jerih payah hambanya,
dan saya sendiri sudah membuktikannya, meski nyaris terlambat.
Penutup
Akhir
kata—sebagaimana pesan Pramoedya Ananta Toer (Pram), “menulis akan memanjangkan
umur manusia.” Semoga kita panjang umur meski tubuh sudah tak berguna di liang
lahad sana. Bermetamorfosislah melalui karya tulis, senyampang tubuh belum berkalang
tanah, kecuali Anda sudah yakin tidak akan mati.[]
0 Comments