Dok. Nun

Bonceng dua orang, tidak hanya melanggar aturan lalu lintas, tetapi juga membahayakan dan sangat tidak sopan, apalagi dilakukan oleh pelajar seperti di atas. Para orangtua yang menghendaki anaknya selamat dari kecelakaan harus memberikan peringatan keras sebelum kejadian yang tak diinginkan menimpa mereka. Seharusnya, seperti itu tanggung jawab para orangtua. Namun, ketika berseragam macam gambar di atas, siapa yang bertanggung jawab? Tentu saja para guru di sekolah. Anak didiknya harus disadarkan bahwa bonceng dua orang tidak sopan, melanggar lalu lintas, dan membayakan jiwa diri sendiri dan orang lain.

Para guru di sekolah harus benar-benar ketat, karena kesempatan seperti itu justru digunakan oleh anak-anak sekolah ketika lepas dari pengawasan orangtua. Sudah banyak korban kaum pelajar dalam kecelakaan lalu lintas ketika jam-jam sekolah, atau ketika siswa masih belum sempat melepas seragam sekolahnya.

Guru di sekolah tidak harus melulu mengajarkan materi pelajaran yang terkadang tak ada hubungannya dengan sopan santun anak didiknya. Sampaikan sesegera mungkin hal-hal yang terlihat janggal yang sering dilihat di sekitar kehidupannya, agar anak-anak didiknya tidak terjerembab ke lembah yang merugikan. Antisipasi mulai sekarang, sebelum semua bencana terlambat.  

Dok. Nun
Tidak hanya siswa berseragam yang melakukan hal-hal tidak sopan macam di atas, sepertinya hampir semua masyarakat sudah menganggap hal boncengan macam dua gambar di atas sebagai tradisi, padahal tidak sopan dan berbahaya. Lama-lama hal yang demikian akan menjadi sopan dengan sendirinya jika dilestarikan. Melestarikan yang berbahaya, sudah tentu perbuatan setan. Perbuatan setan kok dilestarikan? 

Ah, kan darurat!

Darurat boleh jadi alasan, tapi jika seperti gambar di atas, rasanya alasan darurat tak bisa dijadikan dalil untuk menjustifikasi kesalahannya. Jika ketahuan polisi sudah pasti ditilang dan bayar denda. Polisi tak akan memberikan ampun, kecuali membayar. Artinya, darurat tidak berlaku bukan? Aturan harus ditegakkan, meski tak ada polisi. 

Orang Indonesia tak boleh jadul lagi. Tak boleh barbar lagi. Jika mengakui negara ini sebagai tempat tinggalnya, maka semua aturan negara harus dipatuhi. Jika tidak mau, maka segera hengkang saja dari negeri ini. Kira-kira begitu konsekwensinya. 

Masyarakat kan belum sadar hukum?

Hukum memang harus ditegakkan, tetapi jika masyarakat tidak tahu tentang hukum itu, lalu siapa yang layak disalahkan? Misal, hukum berlalu lintas. Banyak masyarakat yang tidak tahu tata aturan berlalu lintas. Misal, tidak tahu berapa denda tidak pakai helm, tidak tahu denda tidak punya SIM, malah tahu-tahu ditilang dan masuk pengadilan. Kapan para penegak hukum sosialisasi aturan, kok malah langsung main tilang? Seperti tersebut juga menjadi masalah. Sebaiknya, misal hukum lalu lintas, polisi harus memberikan sosialisasi kepada masyarakat termasuk ke sekolah-sekolah. Sosialisasi tersebut diharapkan memberikan penyadaran sepenuhnya kepada masyarakat. Jadi, jika sudah disampaikan, lalu masih ada yang melanggar, hukumlah. Jika masih belum, lepaskanlah dan jangan ditilang.

Hukum tak bisa seenaknya menggeneralisir semua orang sudah tahu hukum, sudah cerdas, sudah mendengar di TV-TV. Hal itu tidak bisa dijadikan hujjah. Masyarakat masih banyak yang bodoh, masih jadul, dan tak suka mencari informasi untuk keselamatannya sendiri. Jadi, harap maklum jika masyarakat tidak cerdas. Kapan cerdasnya? Saat penegak hukum melakukan sosialisasi secara sungguh-sungguh. Maka, masyarakat akan tahu meski belum bisa cerdas.

Biarkan masyarakat merasakan keadilan dengan mendapatkan informasi yang proporsional, sehingga bisa taat hukum, dan tak ada lagi bonceng dua orang, yang mengancam keselamatan diri sendiri dan orang lain.


(nun)