Boyolali-Siapa yang tidak kenal dengan Habiburrahman El Shirazy? Hampir semua orang Indonesia mengenalnya, terutama yang gila dengan karya-karya monomentalnya seperti Ayat-Ayat Cinta, dan Ketika Cinta Bertasbih, termasuk dengan film-filmya yang banyak diminati masyarakat muslim dunia.

Pada 16 Agustus 2009, saya berhasil bertemu dengan penulis terkenal itu di Boyolali, dan belajar langsung menulis novel. Satu hal yang saya ingat atas pelajaran berharganya adalah inspirasinya yang datang dari al-Quran saat membuat novel. Inspirasi yang jarang atau bahkan sama sekali belum diutarakan oleh penulis novel sebelumnya.

Bertemunya saya dengan para penulis di Boyolali, termasuk dengan Habibirrahman, tentu memberikan kekayaan spirit untuk menghasilkan karya tulis serupa, meski tidak sebagus mereka. Upaya saya mendekatkan psikologis, termasuk upaya bertemu mereka, tak lain untuk membakar kebekuan semangat yang membuat saya bodoh. Dan, ternyata pertemuan saya dengan Habiburrahman berhasil membakar ketumpulan hati dan pikiran saya. Maka, kesimpulan saya sementara, bahwa pertemuan dengan seseorang yang punya power akan memberikan efek tertentu bagi orang itu. Sejak itu, saya selalu berupaya bertemu dengan beberapa penulis, untuk meletupkan semangat saya, agar kuat, lebih bermutu, tidak mati, dan akhirnya saya juga bisa melakukannya.

Di Boyolali saya tidak hanya bertemu dengan Habiburrahman, tetapi juga berjumpa juga dengan Asma Nadia yang baru saja novelnya "Assalamualaikum Beijing" di filmkan, juga bertemu dengan Maimon Herawati pendiri Forum Lingkar Pena, Sakti Wibowo penulis beberapa novel, Intan Savitri ketua FLP, dan Sinta Yudisia penulis novel Takhta Awan dan novel-novel lainnya. Namun, saya gagal bertemu dengan Helvy Tiana Rosa yang sangat saya idamkan, gara-gara novelnya "Ketika Mas Gagah Pergi" berhasil menghipnosis saya.

Pertemuan saya dengan tokoh-tokoh Forum Lingkar Pena, termasuk Ahmad Fuadi (yang juga dibesarkan FLP) di PP. di al-Amin pada 5 April 2012 menjadi suntikan spirit yang membuat saya terobati dari kesulitan merangkai kata. Bertemu mereka membuat saya ingin minta tanda tangannya, berfoto bersama, bahkan jika berkenan memintanya untuk bermalam di rumah saya. Lebih dari itu, pertemuan saya dengan mereka mampu memecahkan teka-teki teori yang didapatkan selama di kampus. Teori-toeri menulis yang saya pelajari tiba-tiba dengan mudahnya terurai dan memberikan jawaban-jawabn cerdas yang tak terduga.

Saran saya, bagi mereka yang punya keinginan kuat untuk menulis, jangan segan-segan untuk bertemu para penulis, meski hanya sekadar berfoto dan sekadar minta tanda tangannya. Kedekatan dengan mereka akan mengalirkan semangat baru, meski sangat samar dirasakan.

Selain tokoh-tokoh FLP yang menjadi inspirasi pertama, saya juga bertemu dengan Bapak Hernowo yang berhasil menulis hampir 45 judul buku dalam rentang waktu 4 tahun. Bertemu dengan Bapak Akbar Zainudin penulis buku Man Jadda Wajada. Bertemu dengan K. Faizi penulis antologi puisi Sareang, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Menulis tidak cukup hanya berkutat dengan ribuan teori yang didapat di kampus. Ribuan teori tidak membuat saya berdaya menulis seperti mereka. Tetapi, penulis perlu bersentuhan dengan kata-kata para penulis yang dikehendakinya, bertemu, berbicara, dan diam-diam menyimpan bara semangat yang memantul dari mereka. Ini bukan resep baru, tetapi berdasarkan pengalaman yang saya rasakan sendiri selama berproses menjadi penulis.Saya ingin menyamai mereka, atau bahkan 'mengalahkannya', tentu dengan kualitas yang lebih bermutu.

Penulis-penulis yang berhasil saya jumpai, meski hanya sekadar berfoto adalah guru-guru berharga yang harus saya hormati. Semoga mereka diberikan kekuatan dan menjadi cahaya bagi yang lainnya. Mari berbagi kebaikan lewat tulisan, sebulum umur kita habis disita waktu. Tulislah puisi, tulislah cerpen, tulislan novel, tulislah catatan harian, dan bukukan. 


Nun