Boyolali-Musyawarah Nasional Forum Lingkar Pena (FLP) ke-2, pada 2009 di Solo dan berlanjut di asrama haji Boyolali meninggal kesan tersendiri dalam benak saya. Sebagai penulis pemula, peristiwa itu saya jadikan momen bersejarah untuk diingat, dikenang, yang akhirnya mencuapkan semangat baru dalam perjalanan menulis saya.Sebuah proses panjang yang terlalu terjal bagi orang macam saya yang lahir dari orang tua buta huruf, miskin, dan awam dalam banyak hal. 


Sebagai ketua FLP Cabang Sumenep waktu itu (2008-2009), saya dan tiga teman saya, Kurdianto, Aisyah, mampu menempuh Solo-Boyolali, dan menjelang sore baru bisa melepas penat di asrama yang disediakan panitia. Sebuah usaha yang kelak saya harapkan menjadi bagian dari hidup saya, dan lamat-lamat sudah saya dengar bisikan-bisikan indahnya. Bisikan menjadi penulis.

Boleh dibilang, organisasi yang eksis di tanah air pada waktu itu adalah Forum Lingkar Pena, sebuah organisasi yang paling banyak dihuni oleh kaum hawa, bahkan ada selenting kata terdengar bahwa FLP kepanjangan dari Forum Lingkar Perempuan. Tapi, itu hanya guyonan, dan menjadi romantika tersendiri bagi santri-santri FLP.

MUNAS dimulai sejak tanggal 14-16 Agustus 2009 dan cukup memeras otak ketika rapat AD/ART berlarut hingga pagi. Saya melihat rapat itu tak kalah seru dengan rapat-rapat anggota dewan di senayan, dan sekali lagi, tak ada rapat forum kepenulisan seperti itu. Rapat macam itu baru pertama di tanah air dan pantas masuk MURI.

Saat pemilihan ketua FLP pereode berikutnya, muncul nama-nama baru seperti Rakhmadianti Rusdi, Habiburrahman El Shirazy, Intan Savitri, Maimon Herawati, Adam Muhammad, untuk menakhodai FLP menjadi lebih maju, lebih berarti, dan lebih banyak melahirkan penulis-penulis baru. Terpilih menjadi ketua FLP 5 tahun ke depan adalah Intan Savitri, menggantikan Irfan Hidayatullah.


Sebelum era tekhnologi maju seperti ini, dan sebelum organisasi kepenulisan menjamur, FLP-lah yang mejadi ikon kemunculan para penulis Indonesia. Itu tidak bisa dinafikan dan tidak bisa dipungkiri. Bahkan, alumni-alumni FLP sudah berkembang biak dengan mendirikan organisasi lain untuk menyalurkan kreativitas menulisnya. Tentu saja, oraganisasi yang mereka dirikan masih ada ikatan emosional dengan FLP sendiri.

Jika ada sebagian orang berkata miring tentang karya-karya FLP, atau berkata tidak elok tentang FLP itu sendiri, mereka pasti belum tahu sejarah kepenulisan di tanah air, yaitu sejarah yang membuat nama FLP tak bisa dihapus dari almanak para penggemarnya, atau ada orang iri hati atas kebesarannya dan bukti karyanya.

Di Boyolali, saya bertemu denga penulis-penulis se-tanah air, bahkan dari manca negara, seperti FLP Hongkong, Arab Saudi, Mesir, dan sebagainya. Tidak hanya itu, saya berjumpa dengan berbagai oraganisasi keagamaan, mulai dari orang-orang NU, Muhammadiyah, PKS, Jamaah Tabligh, dan organisasi lainnya. Semua menjadi damai dalam FLP. Hal itu menjadi motivasi kuat di dalam diri saya untuk berkompetisi dengan mereka. Pertemuan yang berhasil membakar semangat saya. Terima kasih FLP. 

Saya berharap, Forum Lingkar Pena tetap jaya dan mampu berkontribusi bagi agama, bangsa dan negara. SELAMAT BERJUANG!



Nun.