Data Buku:
Judul: Revolusi dari Desa
Penulis: Dr. Yansen, TP., M. Si.
Penerbit: Elex Media Komputindo
Cetakan: 1, 2014
Tebal: xxviii + 180 halaman
ISBN: 978-602-02-5099-1

Tanah Malinau menjadi hamparan kitab resolusi dari seorang intelektual bernama Yansen, yang menghendaki perubahan signifikan di wilayah yang dipimpinnya. Gagasan-gagasan cerdas nan inovatif yang tertuang di dalamnya telah melalui proses kajian intelektual yang sangat rumit hingga mampu mengimplementasikannya di tanah itu. Tentunya, gagasannya tidak hanya mengapung di udara, tetapi telah mengakar kuat di tanah Malinau melalui kerja-kerja nyata yang hampir tidak diketahui riwayat prestasinya, karena bupatinya tidak pernah berambisi mencitrakan diri sebelum ada bukti nyata yang dirasakan masyarakatnya.

Beberapa gambar dan data yang menjadi sumber nyata dalam buku Revolusi dari Desa menjadi bukti kongkrit, bahwa Dr. Yansen adalah pekerja keras, sekaligus seorang revolusioner yang serius memikirkan nasib rakyatnya. Lelaki kelahiran 14 Januari 1960 datang dengan konsep brilliantnya untuk menjadikan desa-desa sebagai pusat aktivitas, pusat kebangkitan, pusat perdamaian, pusat peradaban, dan sebagainya. Ini dituangkan secara serius dalam kitab revolusi ini yang sekaligus sebagai visinya memimpin Malinau, bahwa ia punya keingian untuk “terwujudnya kabupaten Malinau yang aman, nyaman, dan damai melalui gerakan desa membangun.” (Halaman 19).

Bagi Dr. Yansen ini, desa menjadi fokus kebangkitan, karena desa adalah kekuatan besar yang selama ini banyak diabaikan oleh pemerintah. Melihat keberadaan desa, Dr. Yansen memiliki cara paradigma lain tentang pemerintahan desa yang sering termarjinal. Itulah sebab, bupati jebolan Universitas Brawijaya Malang ini membuat gerakan ekstrim yang disebut GERDEMA, Gerakan Desa Membangun yang melibatkan semua potensi di dalamnya. Bahkan, kitabnya mengklaim telah berhasil menyejahterakan 109 desa di tanah Malinau.

Konsep GERDEMA yang disajikan secara transparan dan sistemik dalam kitab revolusi ini, telah melewati uji materi sebelum akhirnya diimplementasikan dan menjadi kitab rujukan yang dipromosikan kepada masyarakat Malinau, dan kepada publik yang lebih luas. Dr. Yansen TP, tidak main-main menulisnya. Penulisannya melalui pemikiran berbelit, ujicoba dan perunangan panjang sehingga menjadi kitab setebal ini.

Biasaya, karya monumental selalu diawali oleh perenungan panjang, riset kontinu dan pelaksanaan yang terintegrasi dengan konsep. Maka, rugilah orang-orang yang tidak memercayai Kitab Revolusi ini. Kitab ini—boleh jadi—sebagai kitab resolusi terbaik yang ditulis pejabat sekelas bupati untuk menciptakan masyarakat yang government state di tengah arus demokratisasi yang melanda tanah air.
Selama ini hampir semua pemerintah melakukan dikotomi kesejahteraan, yaitu menjadikan kota sebagai pusat kemajuan peradaban, sementara desa dimarjinalkan dan disengsarakan. Faktanya, sudah dimafhum secara berjamaah, dan hasilnya sangat mengenaskan.

Lain halnya yang tersaji dalam kita revolusi ini, masyarakat desa menjadi pilar utama pembangunan di Tanah Malinau dengan cara memberdayakan semua komponen anak bangsa, mulai dari Balita hingga Manula. Bupati Malinau dengan lantang berkata dalam kitabnya, bahwa “Pemerintah Kabupaten Malinau membangun dan membentuk sumber daya manusia desa, menyerahkan berbagai urusan kepada desa dan menyediakan dana untuk dikelola desa dengan nominal sebesar Rp1,2 miliar pada 2014. Pemda juga memberikan kesempatan secara luas kepada desa untuk menggali sumber pendapatan asli desa untuk kepentingan desa mereka. (Halaman 57).

Menggiurkan pula paradigma Dr. Yansen yang konon tulus melayani rakyatnya, dan tentu sangat mungkin dilaksanakan oleh bupati-bupati lain yang bernyali untuk mengikuti jejak juangnya yang berbeda dengan pejabat pemerintah lainnya.
Gagasan Bupati kedua yang dileburkan dalam GERDEMA sudah terbukti di wilayah kekuasaannya dan bisa dicek langsung di TKP, lalu bisa dijadikan rujukan pembangunan di daerah lain.
Kitab revolusi ini dengan lantang mewartakan dan menawarkan resolusi dari kemelut yang selama ini menjadi kegagalan berulangkali dalam setiap pemerintahan. Misalnya, cara mengentaskan kemiskinan. Ibaratnya, kitab ini adalah pesinden cantik yang belum pernah naik panggung kehormatan, dan tentu akan membuat banyak orang terksima.

Lebih lanjut mantan Camat Peso menjelaskan bahwa, masyarakat desa dimotivasi dan diarahkan agar dapat berkreasi dan berinovasi untuk mewujudkan pemerintahan desa yang mandiri (local self government) dalam membangun. Tidak berhenti sampai di sini, masyarakat desa bersama pemerintah desa dan pemerintah daerah juga diberikan kepercayaan untuk mewujudkan keberdayaannya (empower) dalam pembangunan melalui program-program pemberdayaan (empowerment program). Melalui langkah-langkah seperti inilah pembangunan di Kabupaten Malinau menemukan titik-titik terang keberhasilan” (Halaman 12).

Sekali lagi, konsep Gerakan Desa Membangun sebelum akhirnya membumi, terlebih dahulu telah diimplementasikan kepada semua pihak yang bersangkut-paut. Bahkan, wajib hukumnya direnungi, dipelajari, dan diterapkan serta menjadi bagian visi yang mampu menggerakkan pembangunan di seluruh desa-desa Malinau. Sebuah konsep yang jarang sekali diperlakukan begitu istimewa di daerah lain.

Pengakuan mantan Komandan Balion Resimen Mahasiswa itu tersebut, bukanlah main-main dalam kitab ini, karena pengakuannya ditulis bukan sekadar di atas teori, tapi di bawah realita yang direalisasikan, dan terbukti. Maka, layak jika karya ini disebut sebagai Kitab Resolusi dari Tanah Malinau yang bisa menjadi pegangan bagi warganya dan para stake holder yang berurusan dengan nasib rakyat.

Selain di atas, secara simultan GERDEMA menyematkan semangat dan nilai-nilai charakter building. Tiga belas nilai yang terselip dalam kitab ini, yaitu Kepemimpinan, Demokrasi, Keterbukaan, Keberpihakan, Toleransi, Efsien, Efektif, Partisipasi, Swadaya, Pertanggungjawaban, Pemberdayaan, Inovasi, Produktivitas (Halaman 97) sangat cocok dengan budaya anak-anak bangsa yang majemuk.

Rupanya, selain promosi konsep gratis, substansi dari kitab revolusi ini adalah pembentukan karakter yang secara sadar berkausalitas dengan semangat kerja yang dilakasanakan oleh stake holder bangsa Indonesia. Keterlibatan komponen dari desa berarti telah memberdayakan masyarakat paling bawah yang selama ini marjinal. Sehingga, sangat wajar jika Dr. Yansen menamai karyanya ini, “Revolusi Dari Desa.”

Di tengah-tengah kesibukannya sebagai pejabat dan intelektual, maka sangat mungkin ide-idenya diramu secara konsisten melalui pergumulan intelegensinya. Efek dua aktivitasnya sangat mendominasi dalam kitab ‘sucinya’ ini—yang tentu saja jarang dilakukan oleh pejabat lain.

Sisi lain, kitab ini layak dicurigai karena isinya telah melibatkan kebaikan-kebaikan Tuhan yang biasanya menginspirasi orang-orang baik, dan bahkan mungkin akan memberi inspirasi kepada para pejabat yang tersesat hatinya. Namun, sesesat apapun jika membaca kitab revolusi dari tanah Malinau ini, akan mendapatkan secercah cahaya untuk dijajaki konsep-konsep geniusnya.

Diakhir karya munomentalnya ini, Yansen berusaha meyakinkan orang baik, bahwa GERDEMA terbukti berdampak besar terhadap terjadinya perubahan perilaku yang positif dan bermanfaat dalam membentuk kemampuan penyelenggaraan pemerintahan desa. Syaratnya, dengan memberi kepercayaan sepenuhnya, melakukan pembinaan, dan pendampingan yang konsisten dan terus menerus kepada pemerintah desa, masyarakat desa dan pelaku ekonomi di desa. Kemampuan penyelenggaraan pemerintahan desa inilah yang menjadi tujuan utama suksesnya Gerakan Desa Membangun (Halaman 178).

Karya santri Brawijaya yang sudah malang-melintang dari kota Malang hingga kembali pulang ini, menjadi jimat ampuh jika dipelajari, dan diimplementasikan secara sungguh-sungguh bagi semua stake holder.