Sumenep-Kiai M. Faizi yang lahir pada 27 Juli 1975 punya segudang nama, di antaranya M. Faizi, M. Faizi Parawisata, M. Faizi Elkaelan, dan sebagainya. M. Faizi lebih dikenal sebagai penyair daripada seorang kiai yang luntang-luntung mengisi pengajian ke pelosok-pelosok desa.

Karya tulisnya yang berupa sajak, ternyata lebih kuat untuk menegaskan eksistensi dirinya hingga ke manca negara. Sungguh luar biasa, bukan? Saya tidak sedang bermaksud memuja-muji yang berlebihan. Saya hanya menyampaikan segala yang saya tahu dengan subyektivitasnya. Jadi, tidak perlu kaget dan menuduh saya yang bukan-bukan, biar antum tidak kualat. Pembaca harap tenang. Saya akan membedahnya dengan khusuk. 

Kiai M. Faizi sangat sederhana, merakyat, dan tak banyak basa-basi untuk berdekatan dengan siapa pun. Kesederhanaanya bisa disaksikan dari penampilannya, misalnya cara berpakaiannya yang ke mana-mana nyaris memakai sarung dengan kopiah yang sedikit miring. 

Alas kakinya lebih suka memakai sandal jepit daripada sepatu mengilat. Kendaraannya tak perlu mewah, meski sesekali terlihat menyetir mobil istimewa itu dengan toa kecil di atasnya. Kiai M. Faizi sesekali membunyikan klaksonnya saat lewat di Bookstore Menara Cling (BMC), yang angker itu. Tentu saja, bunyi klakson itu untuk saya, dan mungkin pula untuk segerombolan jin yang menghuninya. 

Kadang pula, saya hanya melihat kancing bajunya yang hanya dipasang pada bagian atas, saat pergi undangan. Kumisnya yang bisa dihitung dengan jari, juga sangat sedap dipandang mata. Rupanya, Kiai Faizi pandai sekali menyesuaikan jumlah kumis dengan keadaan wajahnya. 

Saya berkesimpulan, bahwa beliaulah salah satu kiai nyentrik yang memisahkan sekat-sekat kasta dan punya prestasi yang inspiratif. Bukankah jarang sekali kiai yang punya karya tulis macam dirinya? Ya, meski belakangan banyak kiai yang akhirya tercerahkan.

Beberapa kali Kiai Faizi mampir ke Bookstore Menara Cling (BMC) saat tengah malam, meski hanya mengantar senyum khasnya yang ramah, dan sesekali menanyakan kuota internet saya. Kehadirannya cukup menghibur kesepian di BMC yang sangat angker. Sekaligus, saya bisa menikmati aura kekuatan penanya untuk menambah inspirasi tulisan-tulisan saya. 

Tahun 2010, saya tak bisa melupakan belas kasihnya ketika bermurah hati meminjamkan meja-mejanya untuk pameran buku. Waktu itu, saya lesehan bikin pameran buku dan sangat tak layak disebut pameran. Saya bingung, pada siapa harus meminjam meja-meja untuk etalase buku. Saya masih asing di lingkungan Annuqayah, dan tak seorang pun saya kenal, Tiba-tiba, saya teringat Kiai Faizi yang saya kenal hanya lewat buku-bukunya. Saya sowan, dan tak panjang kata, ia meminjamkan beberapa etalasenya.

Kebaikannya, hingga kini sudah menjadi prasasti dan saya menulisnya dalam catatan yang tak panjang ini. Semoga kebaikannya mendapat limpahan rahmat-Nya.

Kiai Faizi selalu merakyat. Ia bisa bergaul dengan siapa pun, tanpa pandang bulu. Mulai santrinya sendiri, orang-orang besar, ilmuwan, pejabat, penjahat, petani, penulis, mahasiswa, orang-orang yang beda aliran, apalagi dengan para penyair, semua menjadi damai bersamanya.

Kesan kiai 'angker' tak ditemukan pada diri beliau. Semuanya dirangkul dalam kebersamaan tanpa menonjolkan perbedaan warna kulit, warna pikiran, warna mobil, warna songkok, dan warna-warna lainnya. Bersatu bersama M. Faizi, lakar cocok ongghu, tretan.

Beberapa kali saya memintanya menjadi pembicara kepenulisan, termasuk di FLP Cabang Sumenep pada 2009 silam dan di PP. Banyuanyar Pamekasan pada 2013. Penyampaiannya enjoy, santai, tapi mantap alias mudah dimengerti. Maklum, jebolan UGM, gito loh. Maka, amatlah rugi jika orang Guluk-Guluk wabilkhusus santri Annuqayah sendiri tak bisa melihat kelebihan dan keunikannya. Saya yakin, beliau lebih hebat dari orang-orang nun jauh di sana, yang hanya kelihatannyan super hebat tapi tak ada apa-apanya. Bergurulah kepada Kiai Faizi, Inyas Allah akan dapat mutiara berharga.

Karya tulisnya sudah 'gentayangan' di mana-mana dan nyangkut di banyak pikiran manusia. Termasuk di dalam pikiran saya sendiri. Pernah saat saya membaca catatan perjalanannya "Merentang Sajak Madura-Jerman", hingga terbawa ke alam mimpi. Saya seolah ada di Jerman dan menyaksikan pagelaran yang beliau ceritakan dalam bukunya. Artinya, saya langsung tersihir dengan gaya penceritaannya. Padahal, saya kebal sihir. Luar biasa, bukan? Penasaran dengan karyanya? Silakan pesan sekarang juga pada penulis dan penerbitnya.

Karya-karya beliau di antaranya: “18+” (Diva Press, Jogjakarta, 2003), “Sareyang” (Pustaka Jaya, Jakarta, 2005), “Rumah Bersama” (Diva Press, 2007), “Permaisuri Malamku (Diva Press, 2011), "Merentang Sajak Madura Jerman 2013 (KomodoBooks), "Kopiana (Ganding Pustaka, 2014), dan sedang menyiapkan buku berikutnya. Sungguh Produktif, dan sepertinya banyak yang terinpirasi. 

Jika saya punya kekuasaan di Sumenep, semisal menjadi Bupate (istilah Kiai Faizi), maka akan saya buatkan patung dan gedung museum, agar generasi mendatang dapat memetik inspirasi dari kehebatan para pendahulunya. Ini bukan berlebihan, bukan pula pengultusan, tetapi ikhtiar untuk membangun peradaban serupa Mesir, Prancis, Jerman, dan negara-negara maju lainnya.

Kapan bangsa ini akan maju, jika bikin patungnya Kiai Faizi yang prestasinya sudah Go Internasinal saja, tidak sanggup? Tapi sudahlah, yang penting Kiai Faizi yang sederhana tetap sehat, panjang umur, tak perlu bersepatu seperti mereka. Cukup sandal jepitnya yang akan bercerita tentang dirinya, dan bagi saya dia adalah Penyair Sandal Jepit. Penyair yang ke mana-mana memaki sandal jepit.




Guluk-guluk-Menara Cling, 30 Januari 2014. 



Catatan, Nun Urnoto El Banbary
dari sudut Bookstore Menara Cling, 
atau sudut Tanjung Kodok.