Novel "Anak-Anak Revolusi" yang saya tulis pada awal Januari 2013 dan masuk 10 besar di penerbit Alif Gemilang, lalu menjadi juara 1, yang diumumkan pada 27 Agustus 20013, kini menemukan "jodohnya", atau malah bisa disebut menemukan saingannya. Budiman Sudjatmiko, pendiri Partai Rakyat Demoktratik (PRD) juga menulis novel dengan judul yang sama dan terbit pada bulan Oktober lalu di Gramedia, dan tentu saja menjadi "kemelut" dalam marketnya. Tapi, biarlah sastra itu sendiri yang bicara.

Publikasi kemenangan novel saya terjadi pada 27 Agustus 2013 dan publikasi penerbitannya baru terjadi bulan November 2013. Jadi, karya saya kalah satu langkah dengan karya politikus Budiman Sudjatmiko, meski publikasi  judul novel saya mendahului karyanya.

Tulisan ini tidak dimaksudkan "menggugat" siapa yang lebih dahulu menggunakan judul tersebut. Kalau saya "menggugat", karena judul novel saya dipublikasikan sebelum terbitnya karya Bang Budiman, boleh jadi saya kalah menghadapi anggota DPR itu, selain karena dia lebih cerdas, dia juga lebih berpengalaman dan berpendidikan tinggi.

Fenomena ini adalah hal langka dalam dunia kesusastraan tanah air, dan membutuhkan perhatian dari para pengamat sastra yang kompeten. Karya sastra dengan judul sama dan isi berbeda layak untuk dibedah bersama, bahkan kalau perlu digugat bersama, atau malah bersama-sama disatukan agar Anak-Anak Revolusi semakin kuat untuk dilahirkan saat negera ini tengah sengsara.

Bagi saya, ini adalah sebuah "kehormatan" bisa memiliki persepsi yang sama tentang realitas yang dikomparasikan ke dalam sebuah novel yang bernilai sastra, meski (mungkin) Bang Budiman  mengahadirkan Anak-Anak Revolusi versi kota, dan saya versi desa. Saya rasa, kedua karya tersebut sangat unik bila latar dan karakternya dipertemukan. Siapa tahu, revolusi adalah kesepakatan antara desa dan kota, yang tanpa kita duga memang "dikehendaki?"

Kelak, saya ingin membandingkan karya Bang Budiman dengan Anak-Anak Revolusi yang saya lahirkan; apakah, ada nilai yang sama atau malah bertolak belakang? Rasanya, membedah kedua novel itu (bagi saya) cukup menggembirakan, karena disatu sisi saya bisa bertemu dengan orang hebat, dan disisi lain, saya bisa mempertemukan kemampuan kreativiatas saya dengan aktivis yang saya kagumi itu.

Wal hasil, persamaan judul kedua novel itu "tidak penting" untuk dibenturkan, tetapi sangat signifikan jika  disatukan, karena saya yakin, isinya tidak akan jauh berbeda; sama-sama melawan kebiadaban penguasa lewat karya tulis. Penasaran? Silahkan baca keduanya. Bandingkan, lalu jelaskan, apa sesungguhnya yang dikehendaki oleh kedua penulisnya, dan soal mutu, terserah pembaca. Tentunya, setelah membandingkan isinya, bukan membandingkan kapasitas pengarangnya.

Selamat membaca, Kawan! Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh!