Literasi sastra bukan sesuatu yang baru di panggung pendidikan kita, bahkan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, sastra menjadi pelajaran penting yang wajib diajarkan kepada seluruh umat manusia, karena sastra menjadi wilayah intelektual yang menyenangkan dan senantiasa menyenandungkan keindahan. Sastra menjadi alternatif di tengah keputusan hitam-putih, halal-haram, salah-benar, atau pro-kontra dengan (mungkin) menampilkan wilayah abu-abu yang membuat stagnasi bisa menemukan kemungkinan lain atas solusi yang tengah dicarinya



Sastra lahir dari rahim intelektual manusia yang murni sebelum akhirnya pendidikan formal mengeksekusinya sebagai sebuah metodologi yang kaku dan skeptis. Bukti kaku dan skeptisnya ditandai oleh gagalnya para peserta didik yang amat sangat sulit melahirkan karya sastra, apalagi sastra yang lahir dari kemurnian intelektualnya. Ditambah lagi oleh gagalnya para suhu yang memaksan diri menyampaikan metodologi sastra pada pendidikan formal tanpa punya prestasi akademik yang mumpuni apalagi melahirkan karya sastra itu sendiri.

 

Literasi sastra sepanjang perjalanan pendidikan kita telah gagal menjadikan manusia atau peserta didik berwujud lain  atau menjadi manusia lain yang paripurna sebagaimana yang ditawarkan oleh kekuatan sastra itu sendiri. Akibatnya, mereka menjadi hitam-putih dalam menyelesaikan kemelut-kemelut sosialnya, demonstrasi, anarkisme, pembantai, dan segala hal yang sama sekali jauh dari nilai-nilai dasar sastra yang adiluhung, yaitu keindahan.

 

Literasi sastra tidak melulu soal membuat puisi, cerpen, dongeng, atau novel, tetapi ejawantah atas keindahan jiwa siapa saja dalam mengarungi hidup, sebagaimana (mungkin) keindahan yang disematkan para pengarang di dalam karya-karyanya. Literasi keindahan inilah yang harusnya terus dimunculkan hingga lebur-lenyap segala sarkasme ucapan dan tindakan.

 

Literasi sastra akan sulit lahir dalam bentuk karangan macam genre puisi, cerpen, dongeng, novel, dan lainnya jika di dalam kepala kita keindahan itu telah lenyap, atau keberadaannya tak pernah diasuh dan diasah. Maka, keindahan adalah esensi dari proses kesusastraan itu sendiri. Keindahan-keindahan itu seringkali lahir dari keterbacaan teks, atau nonteks melalui kontemplasi berkempanjangan, bukan yang instan.

 

Orang-orang yang gemar membaca buku, gemar membaca segala gejala, dan mampu merekonstruksinya, maka akan mudah menerjemahkannya kedalam genre sastra baik puisi, cerpen, dongeng, atau bahkan menjadi karya sastra novel, dan menjadi mustahil jika kebalikannya.  

 

Membuat puisi misalnya, akan menjadi gampang jika sudah memiliki kekayaan informasi dan kekayaan kosa kata, ditambah lagi oleh keindahan-keindahan jiwanya yang didapat melalui proses keterbacaan teks dan nonteks, tadi. Puisi pun bisa dicipta di ruang mana saja dan tak melulu di depan layar laptop yang mungkin bagi sebagian orang adalah tempat yang menyebalkan.

 



Orang-orang yang menggemari keindahan seringkali meluapkannya lewat bahasa-bahasa sastra, musik, atau ritual-ritual spiritual puja dan puji, serta hal lain yang memungkinkan keterwakilannya. Mereka disebut sastrawan, pujangga, musikus, atau nama-nama lain yang memuliakan diri mereka.

 

Orang-orang yang menggemari keindahan akan jauh dari arogansi, tidak sudi menjadi rentenir bagi saudaranya sendiri, tak sudi menjadi politisi busuk, tidak tega membiarkan tetangganya kelaparan apalagi memfitnahnya.

 

Menguatnya keindadahan di dalam diri akan meledakkan karya yang juga akan digandrungi oleh keindahan-keindahan lain di sekelilingnya. Bagi yang tak menyukai keindahan, maka dia adalah iblis berjenggot. Dan, iblis yang tak berjenggot, masih punya peluang untuk menyukainya.

 

 

 

 

Disampaikan pada acara:

Workshop Jurnalistik dan Kepenulisan

STIDAR Ganding 27 Februari 2022.