Mahasuci Allah yang telah menciptakan
segala sesuatu tidak sia-sia, termasuk imajinasi yang diciptakan-Nya.
Imajinasi boleh disebut sebagai makhluk abstrak yang keberadaannya tak
terjamah kamera, namun terlihat mata jelmaannya dalam kehidupan nyata.
Sebut saja gedung-gedung pencakar langit, bangunan-bangunan unik, antik,
dan sebagainya, semua itu lahir dari imajinasi. Namun, tidak semua
orang mampu memberdayakan imajinasinya yang super hebat itu. Mereka yang
memberdayakan imajinasi hanyalah orang-orang "pilihan" yang sudah
melalui tahapan yang saya sebut pembelajar jungkir balik, alias belajar
sungguh-sungguh tanpa selingan pacaran. Maka, berkaitan dengan kehebatan
imajinasi, saya ingin menyebut para novelis termasuk orang-orang
pilihan itu. Saya tegaskan: TERMASUK. Berarti selain novelis masih
banyak yang memanfaatkan imajinasi kepada karya-karya lain, dan novelis
termasuk menjadi bagiannya.
Novelis banyak bergelut
dengan imajinasinya sendiri, karena imajinasi adalah kekuatan utamanya
untuk merancang semua peristiwa dan "takdir" atas tokoh-tokoh
khayalannya. Tanpa kekuatan imajinasi yang super hebat itu, penulis yang
bermaksud menulis novel tak ubahnya macan ompong yang hanya bisa
mengaum tanpa bisa menerkam. Novelis tak bisa dibandingan dengan seorang
profesor(ampun, sudah bawa-bawa profesor). Meski profesor berkepala
botak akibat memikirkan temuannya dan teorinya, tetapi imajinasinya
tetaplah tak ada apa-apanya dibanding si novelis. Daya jelajah
imajinasinya sangatlah terbatas pada hal-hal teoretis yang kaku dan
mengikat. Novelis bisa melakukan seperti yang dilakukan oleh seorang
profesor tadi, semisal melakukan penelitian untuk menemukan mazhab baru
dibidang pengetahuan dengan teori-teorinya, karena novelis sejatinya
adalah seorang pembelajar, yang memungkin untuk mancapai maqomnya si
profesor tadi. Tetapi, (untuk tidak mengatakan sama sekali) profesor
tidak bisa membuat novel, karena imajinasinya sudah digadai oleh
batasan-batasan teorinya. Imajinasi (jangan-jangan) tidak bisa
berkembang biak serupa novelis tadi.
Begitulah kira-kira analogi
perbandingannya, bahwa imajinasi menjadi power nomor satu bagi penulis
fiksi panjang; novel. Sedangkan yang lain-lain, semisal penggalian data
untuk naskah-naskahnya, penempatan unsur-unsur ekstrinsik dan
intrinsiknya hanya urutan yang tidak terlalu penting (ini saking
hebatnya imajinasi). Imajinasi gagal, rangkaian cerita buyar. Maka,
sebelum mengikrarkan diri menjadi novelis, sebaiknya latihlah
imajinasinya agar tidak mentok saat mencipta alur-alur ceritanya. Syarat
muthlak itu menjadi fardu ain bagi novelis, khususnya saya sendiri.
Silakan, barangkali ada profesor yang ingin adu tanding bikin novel
dalam sehari, saya tunggu. (hehe. guyon).
Bagimana supaya
imajinasi bisa diasah dan menjadi senjata ampuh menulis fiksi? Boleh
dengan cara membaca banyak karya fiksi atau seperti yang saya alami
sejak kecil, memperbanyak mendengar cerita-cerita seperti sandiwara
radio atau dongeng dari ibu guru. Sandiwara radio era 90-an sangat
berpengaruh besar terhadap perkembangan imajinasi saya, ketika bahan
bacaan sangat jarang dijumpai di tanah kelahiran yang terpencil itu.
Narasi dan deskripsi cerita-ceritanya membuat imajinasi saya berkembang
biak terus menurus, bahkan lebih liar dari yang saya dengar. Hampir tiap
malam saya mendengar sandiwara Tutur Tinular, Nene Pelet, Saur Sepuh,
Ayu Hambar Wati, dan lain sebagainya. Kontribusi sandiwara sangat besar
sekali bagi perkembangan imajinasi saya, (sekali lagi) setelah bahan
bacaan jarang dijumpai. Artinya, membaca masih tetap menjadi urutan
pertama bagi perkembangan imajinasi, meski profesor yang banyak baca itu
tak bisa membuat novel. Novelis (sekali lagi) adalah orang-orang yang
"diistimewakan" oleh Tuhan dari penulis-penulis lain yang mudah ditiru
jejaknya.
Mau menjadi penulis novel, maka kekuatan imajinasi
modalnya, dan modal-modal yang lain terserah Anda. Anda harus belajar
untuk membantu imajinasi Anda yang super dahsyat itu. Lalu, nikmat
Tuhanmu yang manakah yang akan didustakan oleh pemilik imajinasi hebat
itu? Selamat berimajinasi. Manfaatkan imajinasi Anda untuk membangun
peradaban akhirat Anda sendiri.
(Nun, menulis tapi malas ngeditnya.hehe)
0 Comments